Sabtu, 02 April 2011

Pengamat: Jaringan Teroris di Indonesia Sudah Rapuh

Jakarta, Jumat
Pengamat politik Islam dari Universitas Indonesia (UI), Dr Yon Machmudi, berpendapat, saat ini jaringan teroris di Indonesia sudah sangat rapuh sehingga yang mereka lakukan adalah mencoba menciptakan berita untuk menjadi pusat perhatian publik.
"Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan sasaran terorisme kepada kepala negara," kata Dosen Gerakan Islam Modern Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu di Jakarta, Jumat (21/8).
Karena jaringannya sudah rapuh, kata Yon sebagaimana dikutip Antara, seharusnya kelompok teroris di Indonesia itu dapat segera dilumpuhkan.
Menurut dia, hal itu bisa dilakukan apabila ada sinergi yang baik antara Desk Anti-Terorisme Kementerian Koordinator Bidang Polkam, Densus 88 Antiteror Polri, dan Badan Intelijen Negara.
"Jangan sampai upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak berwenang justru membesarkan eksistensi para teroris yang sudah terjepit," kata penyandang gelar PhD (doktor) dari The Australian National University (ANU) itu.
Yon menjelaskan, secara umum pelaku terorisme, termasuk pelaku bom bunuh diri, berdasarkan motivasi dapat dibedakan dalam empat kategori.
Kategori pertama, berkaitan dengan idologi dan keyakinan, yakni kelompok teroris yang dimotivasi oleh ajaran agama biasanya dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dalam waktu yang lama dan dipersiapkan untuk aktifitas terorisme.
"Kelompok ini biasanya memiliki ciri-ciri keagamaan tertentu. Melihat tren pengeboman di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini dapat disimpulkan bahwa terorisme dengan motivasi ajaran agama secara murni hampir dipastikan telah hilang," katanya.
Hal itu, lanjutnya, karena komunitas agama di Indonesia tidak menoleransi segala bentuk aksi terorisme. Bahkan kelompok-kelompok yang mendapatkan label keras sekalipun, seperti Ustaz Abu Bakar Baasyir dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), secara tegas menolak cara-cara model terorisme.
Kategori kedua, kelompok yang tereksploitasi. "Kelompok inilah yang mendominasi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Walaupun pelaku ini mendapatkan indoktrinasi dan sekaligus proyeknya dari salah satu anggota teroris di Indonesia, tapi sebagian besar tidak mengenal baik orang yang melakukan brainwashing (cuci otak) terhadapnya," ujar Yon yang juga Koordinator Bidang Kajian, Publikasi dan Penelitian Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia.
Mereka, katanya, dapat dieksploitasi menjadi suicide boomers (pelaku bom bunuh diri) karena perasaan bersalah atau merasa hidupnya tak bermakna. Sebagian besar dari mereka berasal dari segmen pemuda yang bermasalah secara psikologis dan sosial, serta bukan berasal dari kelompok religius.
"Ciri-cirinya pun berbeda dengan kategori pertama. Mereka tidak direkrut di masjid tapi di jalan. Tentu mengeksploitasi segmen masyarakat seperti ini sangat mudah dan inilah yang menjadi fenomena terorisme di Indonesia," ujarnya.
Kategori ketiga, dimotivasi oleh balas dendam atas kekerasan oleh rezim Orde Baru terhadap anggota keluarga mereka.
"Kelompok ini dapat berasal dari keluarga Darul Islam (DI). Hanya saja untuk saat ini tentu sangat susah mendapatkan keluarga DI yang masih mengalami trauma kekerasan yang diterima oleh keluarga mereka," katanya.
Sedangkan kategori keempat, kelompok separatis yang berkembang di Indonesia.
Pada kenyataannya, kata Yon, kelompok itu telah melakukan transformasi kepada gerakan politik dan berdamai dengan pemerintah Indonesia.
"Karena itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memutus hubungan antara teroris dan segmen yang mudah dieksploitasi itu

Menangkal Terorisme di Indonesia dengan Soft Approach

This struggle is an ideological and religious struggle and the clash of civilizations.” (Osama bin Laden, 1998). “This is not American fight. And what is at stake is not just Americas freedom. This is the world fight. This is civilizations fight”. (George Walker Bush, 2001)
Bak gayung bersambut semenjak tragedi ultimate sudden attack pada tanggal 11 September 2001, perang melawan terorisme terus-menerus dikumandangkan oleh Amerika dengan memulai penyerbuannya ke Afghanistan pada Oktober 2001, disusul invasinya ke Irak pada Maret 2003, kemudian dilanjutkan dengan pengejaran Osama Bin Laden.
Bahkan, sampai sekarangpun Amerika “klenger” menghadapi para pelaku pengeboman WTC tersebut. Dalam perang asimetris ini, yang terlibat bukan hanya Amerika dan teroris, tapi juga rakyat sipil yang setiap saat bisa menjadi korbannya. Peperangan melawan terorisme ini juga telah menjelma menjadi isu global yang berdampak pada ranah kebijakan politik di seluruh penjuru dunia.
Apa yang Terjadi di Indonesia?
Berakhirnya pemerintahan Soeharto diikuti dengan kembalinya para alumni Afghanistan dan Mindanao Selatan ke tanah air. Untuk menghindari penangkapan pada masa pemerintahan Soeharto, kebanyakan dari mereka tinggal di Malaysia maupun Filipina Selatan. Dalam konflik di Poso pada Desember 1998 dan di Ambon pada pertengahan Januari 1999, para alumni tersebut kembali membangun jaringan di Indonesia bahkan juga membuka camp pelatihan militer di Poso maupun Maluku.
Sejak peristiwa ultimate sudden attack di atas, jaringan teroris di Indonesia yang tadinya aktif memprovokasi konflik antaragama akhirnya putar haluan. Kegiatan menyebarkan kebencian terhadap Amerika dan sekutunya menjadi semacam prime goal. Sejak itu, hingga saat ini serangan teroris tidak terkait langsung dengan isu dalam negeri, melainkan lebih merupakan bagian dari perang jihad universal Osama bin Laden melawan Amerika dan sekutunya.
Tragedi Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tercatat sebagai salah satu insiden teror yang menelan korban sipil terbesar di Indonesia, menewaskan 184 orang serta menyebabkan 300 orang lebih luka-luka. Tertembaknya Dr.Azahari Husin dalam operasi pemberantasan terorisme oleh Densus 88 di Jawa Timur, menandai babak baru perkembangan aksi teror di negeri ini. Masyarakat mendapatkan bukti yang konkret bahwa "Teroris" itu betul-betul ada. Azahari maupun Noordin M. Top merupakan model utuh manusia dalam definisi teroris yang dikeluarkan Amerika Serikat. Azahari tokoh yang memiliki kecerdasan, ekstremis, pelaku pengeboman, dan terkait jaringan terorisme global.
Dan sekarang apa yang terjadi di Aceh sebagai ladang Moronya indonesia, telah terbentuk opini bahwa perburuan teroris di Indonesia berkembang dari gerakan individu menjadi gerakan kelompok dalam jumlah besar. Pertanyaan yang timbul sekarang, kenapa terjadi di Indonesia?
Yes. Indonesia, the world’s most populous Muslim country, is a vast archipelago with porous maritime borders, a weak central government, separatist movements, corrupt officials, a floundering economy, and a loosely regulated financial system— all characteristics which make it fertile ground for terrorist groups. While Indonesia is known as a secular, tolerant society that practices a moderate form of Islam, radical Islamists have gained momentum. U.S. officials and terrorism experts worry about al-Qaeda using Indonesia as a base for a Southeast Asian front in its campaign against “infidels” Jews, and the United States. Indonesia resisted international pressure to crack down on local militants suspected of al-Qaeda ties until a devastating October 2002 attack on a Bali nightclub— and the simultaneous bombing of a U.S. consular office on the island— which killed more than 200 people, most of them foreign tourists. To its credit, since October 2002 the Indonesian government has cooperated with U.S. and Australian officials in their attempts to disrupt terrorist networks in Southeast Asia.
(Source: http://www.cfr.org/publication/9361/ )
Begitulah salah satu jawaban dari orang asing, lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia sendiri?
Ketika saat ini dikumandangkan ke seluruh dunia bahwa terorisme merupakan tindakan jahat yang bertentangan dengan norma agama manapun, termasuk Islam di Indonesia, sebagian masyarakat mengumandangkan takbir saat menyambut kedatangan jenazah beberapa teroris yang ditembak mati oleh tim Densus 88, seperti halnya menyambut pahlawan yang gugur di medan perang. Bahkan ketika melihat salah satu teroris terbunuh di rumahnya terpasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Islam”, dan sebagian pelayat juga menyebut-nyebut bahwa si jenazah telah mati syahid.
Jihad dan Teroris
Fenomena tersebut di atas membuktikan masih terdapat masalah yang cukup krusial dalam upaya pemberantasan terorisme, antara lain menyangkut soal definisi dan persepsi mengenai jihad dan terorisme. Masyarakat dunia menganggap bahwa teroris melakukan tindak kejahatan, namun sebagian kalangan secara tegas meyakini teroris sebagai mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah). Kenyataan inilah yang terjadi di negeri kita sekarang. Kedua pendapat ini tak akan pernah bertemu karena keduanya jelas saling berseberangan arti, yang satu menganggap teroris, namun satunya lagi mengganggap jihad. Sedangkan jihad sendiri mengandung pengertian berperang di jalan Allah yang sama artinya dengan perang melawan keadilan.
Makna jihad yang relatif disepakati adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk melawan penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan – kapanpun dan dimanapun — demi membela / melindungi orang-orang yang tertindas – siapa pun mereka (Chaiwat Satha Anand, "Islam tanpa Kekerasan", 1998:12).
Sedang pengertian terorisme dari berbagai sumber lebih dari 100 macam arti dan di antaranya adalah terorisme merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak-banyaknya.
Dalam sebuah buku "Fatwa on Suicide Bombings and Terrorism" yang dikeluarkan oleh Minhaj ul Quran United Kingdom 2010, seorang ulama Pakistan Shaykh ul Islam Dr. Muhammad Tahir Ul Qadri yang menetap di Inggris mengatakan bahwa, barangsiapa yang melakukan bom bunuh diri dan penyerangan terhadap warga sipil maka ia telah keluar dari Islam atau menjadi kufur: “Suicide bombings and attack againts civilian targets are not only condemned by Islam but render prepetators totally out of the fold of islam, in other words, to be unbelievers”.
Menangkal Teroris di Indonesia
Tidak semua kekerasan dapat dipadamkan melalui tindak kekerasan seperti halnya penangkalan terhadap teroris dimana gerakan jihad bom para teroris tersebut seakan "mati satu, tumbuh seribu, patah tumbuh, hilang berganti".
Ketika tulisan ini saya buat pada malam hari sambil menonton acara televisi tentang perburuan teroris di Aceh, saya sempat beradu argumen dengan pimpinan perburuan di sana, seorang kolega saya, yang kita sebut saja bernama Jo. Inilah kutipannya:
Saya: Jo, apa yang bisa mencegah berkembangnya teroris di Indonesia?
Jo: Program deradikalisasi itu yang perlu diteruskan oleh Pemerintah. Baca bukunya Kombes Pol Dr.Drs Petrus Golose, MM tentang deradikalisasi dan bukunya Kombes Pol Tito Karnavian MM tentang Poso di situ tergambar jelas dan gamblang tentang terorisme di Indonesia dan upaya-upaya penanggulangannya.
Terus saya lanjutkan dengan bertanya,
Saya: Jadi kita harus memiliki semacam kebijakan politik yang bersifat Counter Terrorism itu?
Jo: Counter terrorism itu hanya di gunakan untuk unit-unit taktikal, tidak tepat kalau digunakan untuk kebijakan politik.
Saya: Lalu apa dong istilahnya untuk kebijakan politik?
Jo: Menangkal terorisme dengan soft approach.
Diskusi di atas saya lanjutkan dengan pemikiran bahwa penanganan legal formal yang selama ini dilakukan oleh Polri terhadap tindak pidana teroris telah mengangkat citra Polri tidak hanya di tingkat nasional tetapi tetapi juga internasional. Majalah Newsweek pun menyatakan bahwa Amerika Serikat harus belajar dari Indonesia karena sampai saat ini dalam memburu pelaku WTC saja Amerika dibikin kewalahan. Banyak orang beranggapan bahwa teroris identik dengan Islam, dan ini pernyataan yang salah karena hanya kebetulan pelaku-pelakunya di Indonesia adalah kebanyakan orang Islam. Agama manapun tidak ada yang mengajarkan tentang kekerasan, membunuh dengan seenaknya.
Penanganan teroris di Indonesia lebih Soft dibanding dengan Amerika tersebut juga dikatakan oleh Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones yang mengatakan bahwa: "Indonesia lebih baik dalam me-manage terorisme dan dampak-dampaknya ketimbang negara lain, termasuk Amerika sekalipun."(kapanlagi.com)
Perbedaannya dengan Amerika adalah bahwa Indonesia mampu mengadili para pelaku terorisme lebih terbuka dibandingkan dengan Amerika yang menerapkan pengadilan tertutup. Seperti halnya sekarang di Guantanamo sampai saat ini masih ada korban penangkapan akibat terorisme yang sudah enam tahun di sana tanpa diadili.
Menangkal teroris dengan pendekatan Soft Approach ternyata akan membawah dampak yang lebih baik dari pada dengan kekerasan. Tindakan soft approach ini dimulai dengan memeriksa para pejuang dari Afghanistan maupun dari negara lain yang akan memasuki wilayah Indonesia. Kerjasama aparat Kepolisian dengan aparat terkait perlu ditingkatkan sehingga tidak ada kesan bahwa mudah sekali para teroris memasuki wilayah Indonesia baik melalui darat, laut dan udara.
Pemerintah harus mampu merangkul Pondok Pesantren maupun ormas Islam dalam mengontrol masuknya ideologi yang keliru dalam memaknai jihad dan menghalalkan cara untuk membunuh orang lain dengan alasan tertentu. Diperlukan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah melalui Departemen Agama, bahwa para teroris bukanlah produk agama karena semua agama mengajarkan kebaikan.
Penangkalan dini yang lebih penting adalah kepedulian setiap warga negara akan dampak yang ditimbulkan oleh terorisme tersebut. Kerjasama ini diperlukan antara lain dengan tokoh masyarakat, Kepolisian dan Majelis Ulama. Dengan mengingat korban yang masih hidup dan juga terhadap keluarga korban terutama yang telah dieksekusi khususnya anak-anak dan keluarganya, berbagai cara harus dilakukan untuk menyadarkan bahwa tindakan teroris itu tidak dibenarkan oleh agama manapun, sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan, warga sipil maupun bangsa lain.
Penilaian negatif dan kecurigaan terhadap kinerja Kepolisian maupun instansi terkait perlu segera dicarikan solusi dan tidak perlu dibesar-besarkan. Apabila dibiarkan, hubungan aparat dengan sebagian umat Islam akan semakin meruncing. Untuk menciptakan dan mewujudkan perdamain tidak hanya tugas aparat namun seluruh instrumen komponen bangsa termasuk umat Islam
Kesimpulan
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melaksanakan Soft Approach dengan pendekatan komprehensif dalam mencegah dan menuntaskan terorisme itu. Soft Approach merupakan suatu pendekatan yang mungkin akan bisa menjawab pertanyaan mengapa terorisme itu muncul di Indonesia dan bagaimana cara untuk menghadapinya.
Soft Approach tidak akan bisa dijalankan oleh aparat Kepolisian saja yang berada pada Combat Area yang berhadapan langsung dengan teroris namun perlunya kerja sama dengan instansi lain, seperti: tokoh masyarakat, ormas Islam, pondok pesantren, Lembaga Pemasyarakatan, Majelis Ulama, Kementrian Sosial, Bank dan lembaga keuangan yang lainnya serta TNI.
Diperlukan suatu proses untuk memahami pengalaman yang membentuk pola pikir mereka. Back Mind mereka yang berkaitan dengan perlawanan kekerasan diperoleh dari pengalaman di wilayah konflik. Oleh karena itu dengan adanya pengalaman baru yang didapat bukan dari medan perang, tetapi dari Social Life tempat manusia dapat berinteraksi secara terbuka dan inklusif, mereka bisa mendapatkan pemahaman yang benar tentang jihad dan terorisme.

FENOMENA TERORISME DI INDONESIA BAGIAN III

Toleransi, sebuah kata yang gampang diucapkan namun sulit untuk dilaksanakan. Toleransi juga sering disalahartikan sebagai suatu bentuk “ keharusan “, karena toleransi bukan berarti untuk mau saling menerima dituntut agar masing masing melepaskan agama yang mereka yakini. Toleransi sejati bukan sikap acuh tak acuh, atau menyamakan semua aliran yang berbeda, tanpa menghormati atau mencari kebenaran. Toleransi sejati didasarkan pada sikap hormat terhadap manusia, hati nurani serta keyakinan dan keikhlasan sesama terserah apapun agamanya.
Toleransi berasal dari kata latin ; tolerare ( menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, berhati lapang terhadap orang orang yang berlainan aliran ). Menurut Derrida toleransi merupakan salah satu konsep globalisasi. Diajukan sebagai sebuah anjuran moral dan politis dan netral, untuk kesanggrahan dan sikap bersahabat diantara orang orang , suku suku, tradisi tradisi dan kepercayaan kepercayaan keagamaan yang berbeda beda . Sementara Kant memahami toleransi sebagai emansipatoris ( pelepasan perbudakan ) pada jaman modern.

Ukuran beradab adalah terwujudnya solidaritas sosial yang universal, tanpa memandang agama dan etnik. Dapat terwujud jika umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan siapa yang paling benar , melainkan di sisi lain umat beragama harus berani meninggalkan egoisme menjadi “ toleransi “ dengan cara membangun nilai nilai moral – spiritual.

Budi Munawar (pengajar sejarah agama agama serta filsafat Islam) menyampaikan perlunya mengembangkan paham pluralisme dalam membangun hubungan antar agama - membentuk toleransi ; pertama , menuntut pemahaman benar mengenai keberadaan agama lain . Kedua , komitmen kepada iman sendiri . Perpaduan kedua hal ini menjadikan kita seorang beragama yang terbuka dan memang seperti adagium (keadilan ) beragama secara sosial, berarti antar – agama . maka ketiga adagium ini menjadi dasar untuk usaha toleransi.

Toleransi berbeda dengan pengampunan, karena toleransi adalah upaya untuk mencegah aksi dari perbedaan pemahaman. Pengampunan lebih ditujukan terhadap suatu tindakan yang sudah dilakukan. Pengampunan bagi Derrida ada dibagi dua ; pertama, pengampunan bersyarat – termasuk ke dalam tatanan hukum dan politik, negosiasi negosiasi pragmatis ( hal yang menyangkut tentang kepercayaan kebenaran suatu ajaran ) dan hutang hutang yang dapat diperhitungkan. Pengampunan bersyarat sesuai dengan hukum dan politik dapat dihitung bersesuaian dengan siapa atau apa yang diampuni. Dalam perkembangannya pengampunan bersyarat dapat menghasilkan– tereduksi menjadi “ rekonsiliasi“. Yang kedua , pengampunan tanpa syarat – yang merupakan tindakan mengampuni apa yang tidak dapat diampuni. Dalam prinsip ini merupakan sesuatu hal yang mokal ( tidak masuk akal ), tidak terbayangkan mengampuni apa yang tidak dapat diampuni. Namun Derrida meyakini tanpa pengalaman pengampunan tanpa syarat tak akan ada pengampunan sama sekali. Selanjutnya , apakah ada toleransi bersyarat dan tanpa syarat ?

Sesungguhnya toleransi telah menimbulkan syarat syarat tersendiri, dengan menjadi toleran kita mengakui orang lain di bawah syarat syarat yang kita tetapkan, bisa jadi di bawah hukum dan otoritas kita. Permasalahannya syarat syarat yang diajukan dalam batas toleransi cenderung tidak sesuai bagi kelompok yang diharuskan menerima persyaratan tersebut. Haruskah ada toleransi tanpa syarat ? Karena hal ini juga bisa mengakibatkan pertentangan, manakala kebebasan / toleransi yang dijalankan bersinggungan dengan “keyakinan “ yang dianut oleh sekelompok orang maupun norma norma yang berlaku di masyarakat.

Penulis mencari jalan tengah dengan memaknai toleransi adalah “ tidak menuntut agar kita semua menjadi sama yang lebih penting kita dapat saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan agama mereka “. Toleransi bukan asimilasi, melainkan hormat penuh, identitas masing masing yang tidak sama, oleh karena itu bagi orang yang benar-benar beriman ; kebebasan, kasih sayang kepada sesama, pengamalan iman yang rohani dan mendalam lebih penting daripada besarnya dan “ kekuatan “ organisasi keagamaan.

Dalam tatanan negara, pemerintah dan lembaganya memiliki otoritas besar dalam memaknai toleransi di tengah tengah masyarakat. Sehingga jika batas toleransi sudah bersinggungan pada keyakinan, pemerintah segera turun tangan untuk memberi “ pencerahan ” pada semua pihak yang terkait. Ini merupakan realitas yang harus dicari solusi terbaik untuk menghindari aksi aksi anarkis.

Sebuah tantangan kembali hadir bagi para pemimpin agama / umat, karena timbul tanda tanya kenapa saat ini umat berpaling untuk mengikuti ajaran ajaran baru dan bersinggungan dengan keyakinan sebelumnya ? Lembaga lembaga agama setidaknya dapat memberi “ pencerahan “ bagi para tokoh tokoh agama menyikapi fenomena ini , diharapkan penyelesaian terhadap perbedaan tersebut tetap menggunakan toleransi, sekalipun bersyarat – untuk menghindari kekerasan.
Era pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad 18( Wafatnya Imanuel Kant ; 1804 ) dianggap oleh para filsuf Barat sebagai puncak era pencerahan. Era pencerahan sendiri merupakan puncak gelombang perubahan besar – revolusi dalam bidang sains ( pengetahuan ) , renaisans ( seni dan filsafat ) , dan reformasi agama yang terjadi pada abad 15 dan 16. Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa ( intelektual dan filsuf ) berusaha mewujudkan sebuah sistim pengetahuan ,etika , dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan “ rasionalitas yang tercerahkan ” . Ilmu pengetahuan dan pendidikan diyakini sebagai cara terbaik mengatasi keyakinan keyakinan akan mitos , takhayul , dan kebodohan. Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan lebih baik .

Imanuel Kant mendefinisikan pencerahan adalah “ keluarnya manusia dari ketidak matangan yang diciptakannya sendiri “ . ketidak matangan bukan berarti karena kurangnya daya pikir , tetapi karena kurangnya determinasi ( ketetapan hati ) dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri.

Ibn Rusyd ( tokoh pencerahan umat muslim abad 12 ) adalah seorang pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam pengertian, yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di Eropa. Ia juga menjadi model bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga dalam institusi agama. Gagasan Ibn Rusyd yang memberi inspirasi bagi dunia akan pentingnya pemisahan wilayah agama dengan wilayah ilmu pengetahuan atau dalam dunia politik, yaitu ; “ Jika kebenaran bisa diperoleh lewat wahyu ( gereja ) , ia juga bisa diperoleh lewat agen agen pemikiran yang independen ( akademi ).

Dalam uraian tulisan ini terdapat cukup banyak nilai nilai filsafat ( ilmu pengetahuan ) , penegasannya adalah penulis bukan penganut paham “ ateis “ (tidak mengakui Tuhan ). Secara umum filsafat didasarkan pada kebenaran ilmiah yang berlandaskan akal , ilmu pengetahuan dan metoda ilmiah. Filsafat tidak mencakup bidang di luar pengalaman manusia, seperti neraka dan sorga. Sementara agama mempunyai kebenaran kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun melalui doktrin dan ajarannya. Terdapat pembatasan dalam hal tersebut yang oleh penulis sebutkan adalah “ Iman “ .

Tuhan pada semua agama bukan objek empiris ( kenyataan kenyataan ) , bukan Tuhan seperti yang dibayangkan oleh seorang penyair atau Tuhan yang ada dalam benak para filsuf / pemikir sebagai puncak persoalan persoalan metafisika ( ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal hal non fisik ). Tetapi ada banyak hal dalam filsafat yang berjalan paralel dengan nilai nilai moral keagamaan terutama filsafat moral , dan bisa jadi sebagai “pencerahan “. Pencerahan menuntut kecerdasan akal pikiran sendiri maupun kecerdasan keberanian serta kecerdasan emosional.

Berikutnya beberapa gambaran pencerahan yang semoga bermanfaat untuk mewujudkan suatu hubungan antar agama dan antar iman yang akan membawa agama agama bisa memberi rahmat kepada kehidupan bersama di Indonesia ;

Dialog Teologis , Mengembangkan teologi dalam konteks agama agama, untuk suatu tujuan pemahaman tentang rencana rencana Tuhan. Dapat dibahas tentang teologi Kristen mengenai Islam atau sebaliknya, dikembangkan melalui pendekatan “ pluralis ”. Sehingga umat beragama tidak terus menerus mengikat diri secara kaku dengan tradisinya, dan dapat mengembangkan kepemimpinan agamawan dalam membina kerukunan umat beragama.

Forum Kerjasama Lintas Agama , program program kerjasama sosial kemasyarakatan – diakonia , seperti ; penanggulangan kebodohan , kemiskinan , dan kesehatan sedapat mungkin ada yang dilakukan bersama sama lintas agama, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas umat dan mempererat hubungan dan toleransi antar umat beragama.

Hubungan Agama dan Ideologi – politik dalam Membangun Bangsa , perlu dirumuskan ke arah yang baru, agama harus memposisikan diri pada tujuan kemakmuran untuk rakyat yang dicapai melalui kekeritisan terhadap kebijakan untuk mensejahterakan dan mendamaikan. Hubungan baru ini ditransformasikan oleh para pemimpin agama agama maupun lembaga lembaga agama lainnya. Agama tidak digunakan untuk politik praktis, yang dimanfaatkan politikus dalam nation building ( membangun bangsa ). Hubungan tersebut dititikberatkan ke arah yang etis , teratur, dan logis serta saling mengisi / memaknai, untuk sebuah tujuan mulia kemaslahatan umat. Karena itu pemerintah harus mencermati gerakan politik yang seperti ini, bukan sebaliknya kembali meramaikan kooptasi idiologi , politik, dan agama.

Desakralisasi Pemahaman Agama , diperlukan kecerdasan emosional untuk memaknai konteks ini, karena pemahaman mengenai ketaatan beragama terkadang menciptakan sikap agresif pengikutnya dalam pencarian otensitas ( kebenaran ) dan cenderung mengakibatkan negasi ( penghilangan ) fakta kemajemukan agama / pluralisme. Perlu digagas sebuah format bagaimana pemahaman kesalehan keagamaan menjadi sebuah fungsi sosial kemanusiaan, tanpa mengesampingkan kebenaran menurut keyakinan masing masing. Hal ini harus dimulai oleh umat beragama untuk mengadakan “ revolusi tehadap diri sendiri “ ; dalam arti tidak terus menerus menafsirkan teks secara “ harfiah “, teks teks keagamaan harus ditafsirkan dalam pelbagai konteks untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga perspektif tentang agama yang mengandung nilai nilai moral spiritual semakin luas sehingga meyentuh nilai nilai kemanusiaan secara universal.

Memanusiawikan Kekerasan , kita harus keluar dari mistik kekerasan, karena kita mengakui ketidakmanusiawian yang dihasilkan oleh kekerasan. Kekerasan bersumber dari ketidak adilan, sehingga kita bersedia untuk memerangi ketidakadilan, membela kelompok yang dianiaya, menghadapi kelompok penindas. Untuk melakukannya kita harus memilih meggunakan cara cara yang menunjukkan lebih mulianya kehidupan daripada kematian, dan cinta kasih daripada kebencian. Bagi orang beriman, sudah jelas bahwa dunia kita tidak pernah sempurna, dan hanya dengan iman kita dapat melihat semua ancaman kekerasan dengan tenang.

Menumbuhkan Militansi Agama Tanpa Kekerasan, semua agama mengandung unsur militansi yang dapat memanipulasi identitas agama menggunakan kekerasan. Faktor yang mempengaruhi diantaranya , internal ( tekstualisasi absolute yang ada di agama ) dan eksternal ( manusia yang mengalami kekecewaan terhadap penyelenggara pemerintahan, carut marut perekonomian dan penegakan hukum ). Militansi agama yang dibangun adalah toleransi yang beradab dan tanpa kekerasan. Komitmen keagamaan yang memuat pesan pesan memerangi kejahatan sebagai kewajiban agama dapat menggunakan saluran politik yang sah, berorientasi pada kekuasaan negara, karena negara sebagai satu satunya institusi yang mendapat legitimasi – pengakuan untuk melakukan “ kekerasan ”melalui sistim politik dan law enforcement – penegakan hukum. Militansi agama tanpa kekerasan menghasilkan kedamaian dan persahabatan. Kekerasan dan teror tidak akan pernah melindungi identitas agama, justru menghancurkannya.

Tindakan moral mesti dilaksanakan tidak hanya menurut hukum melainkan karena tugas, karena tugas murni, karena saya harus melakukan begitu, karena saya terikat oleh kewajiban terhadapnya.

PLURALITAS ADALAH REALITAS


Pluralisme adalah rahmat dan kehendak Tuhan, sesuatu yang diberikan untuk perdamaian bukan untuk peperangan. Prolog ini disampaikan karena ada yang mendasari, yaitu awal dari lahirnya agama. Agama “ samawi “ ( langit ) yaitu ; Jahudi, Nasrani, Islam merupakan fakta dari pluralisme yang tidak bisa dipungkiri, selanjutnya agama tersebut mengajarkan perdamaian yang lahir dari perbedaan.

Pluralisme menurut Mahatma Ghandi ( Tokoh perdamaian dan pernah memimpin Bangsa India ) adalah “ ibarat seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many ) tetapi berasal dari satu akar ( the one ), akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama agama. Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila , pluralisme merupakan suatu ajaran atau sistim yang menerima beberapa atau banyak ( plural ) prinsip yang tidak tergantung satu sama lain .

Dalam masyarakat modern kemajemukan pandangan, cara hidup dan kebiasaan, antara lain ; berakar pada terbukanya pergaulan yang luas, perpindahan tempat tinggal, media massa yang beraliran berbeda beda, interaksi antara lingkungan lingkungan kebudayaan, dan pendidikan yang membuat orang semakin kritis. Jika terdapat pandangan pandangan yang berbeda dimungkinkan karena keterbatasan manusia terhadap pengetahuan dan pengertian terhadap realitas, oleh karenanya manusia dapat keliru dalam pemahaman, ini adalah hal yang manusiawi dan wajar. Sedangkan memaksakan suatu pandangan yang totaliter adalah “ tidak manusiawi “.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mendefinisikan Pluralisme Agama ( PA ) sebagai ; suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama relatif, oleh karena itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di surga.

Sementara Almarhum Nurcholish Majid ( Cak Nur – tokoh umat Muslim Indonesia , Rektor Universitas Paradima ) mengemukakan ; pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk , beraneka ragam , terdiri dari berbagai suku bangsa suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan Fragmentasi ( penyekatan / pencuplikan ) , bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sebagai “ kebaikan negatif “ , hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “ pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan ikatan keadaban “ . Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan manusia.

Seiring dengan hawa reformasi semakin menjamur organisasi organisasi non pemerintah ( Non Government Organizations - NGO ), baik yang bersifat keagamaan maupun non keagamaan. Merekat dalam sebuah kelompok karena memiliki persamaan etnis, agama, gender- jenis kelamin, ideologi dan politik maupun nilai nilai universal dan inklusif yang mengikat seperti keadilan, persamaan kebebasan individu, dan hak hak azasi manusia. Mereka membentuk wadah menampung para relawan untuk mengaktualisasikan diri mendukung tercapainya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi khalayak, serta memposisikan sebagai asosiasi sukarela dan mandiri dari pemerintah ( civil society ).

Terasa bahwa elemen civil society terkadang menjadi ancaman terhadap pluralisme pada masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pergeseran peran civil society dari kegiatan sosial menjadi kegiatan kegiatan sektarian yang penuh dengan persaingan dan mengukuhkan kemandirian dengan alasan kesukarelaan, sehingga rawan terhadap “ tirani “( kekuasaan yang sewenang wenang ) dari masyarakat sendiri. Mengapa bisa terjadi pergeseran peran problem solving ( solusi masalah ) menjadi problem makers ( pembuat masalah ) ?

Semuanya bertolak dari nafsu manusia sendiri yang tidak pernah merasa puas, cenderung pada keserakahan. Segelintir orang sering mengatas namakan mayoritas padahal mereka hanya mewakili kelompok tertentu berteriak vokal dan memaksakan kehendak untuk meraup sumber daya bagi kepentingan pribadi, maupun kepanjangan dari entrepreneur politik untuk sebuah nafsu posisi strategis lainnya. Sementara kaum mayoritas yang sesungguhnya massa mengambang, sering tidak tahu, tidak peduli, tidak mampu, terlibat untuk menyuarakan aspirasi, apalagi perdebatan publik dalam tatanan keberadaban dan jalur hukum, mereka hanya mampu mengikuti kemauan dan cara cara yang digariskan oleh pihak yang “ menggerakkan “ mereka. Ini menunjukkan tidak selamanya civil society selalu baik bagi demokrasi, karena masyarakat belum memahami bentuk partisipasi dalam konteks konsolidasi demokrasi, dan bisa mengancam pluralitas.

Intisari yang ada pada setiap agama adalah kebajikan dan kehidupan kekal, namun dalam konteks kehidupan masyarakat pluralisme dapat menjadi persoalan sosial , jika berlarut dapat mengancam integritas masyarakat / bangsa. Pemahaman tentang “ semua agama sama “ disalah tafsirkan menjadi “ semua agama harus menjadi satu / sama ” terdapat pada sekelompok orang. Lebih parah lagi jika ada “larangan terhadap pluralisme“, hal ini cukup riskan karena dapat memberikan interpretasi beragam serta bisa menimbulkan dampak negatif.

Belakangan ini terjadi pembakaran tempat tempat ibadah, pelarangan ibadah yang dilakukan oleh kelompok kelompok tertentu dengan menutup tempat tempat ibadah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya ;
• Pemahaman / kepentingan keagamaan yang sempit.
• Supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu.
• Komunikasi yang terdistorsi ( merujuk kepada akar timbulnya kekerasan ).

Dalam rangka membangun makna beragama interpretasi adalah hal yang lumrah / kebutuhan. Persoalan akan muncul jika interpretasi mengarah kepada “ claim of truth “ ( klaim kebenaran ) dengan menyalahkan kelompok lain dan berujung pada “claim of salvation “ ( klaim penyelamatan ) yang lebih banyak dikumandangkan daripada nilai nilai moral yang ada dalam agama karena adanya pertarungan kepentingan yang berbeda ( biasanya dalam rangka menarik umat ).

Di samping itu dalam kultur budaya di Indonesia acap kali terdapat suatu kelompok yang menganggap merekalah lebih berhak untuk melakukan “ justifikasi “ ( penghakiman ) daripada lembaga peradilan yang ada. Mereka cenderung mengeksklusifkan diri sebagai pemegang supremasi, mungkin karena pemahaman yang kurang tentang hukum yang berlaku. Biasanya ini muncul pada wilayah yang terdapat perbedaan jumlah komunitas yang signifikan ( mayoritas – minoritas ). Kelompok mayoritas yang memiliki budaya supremasi akan merasa berhak untuk menentukan sesuatu hal yang diberlakukan menyeluruh, menunjukkan kuasa bahwa orang lain harus “ tunduk “ kepada mereka. Sebagai contoh ; pada tahun 1990 – an terjadi perusakan gereja gereja di daerah mayoritas Islam, kemudian pada tahun 1999 terjadi lagi perusakan mesjid mesjid di Kupang yang daerahnya mayoritas Kristen. Berbeda dengan konflik komunal, yang cenderung terjadi jika ada dua kekuatan komunitas, yang hampir berimbang di suatu wilayah.

Persoalan sosial pluralisme yang melahirkan tindak kekerasan tidak muncul seketika, sebab ada rangkaian komunikasi yang mengawalinya. Jika saat rangkaian komunikasi ini tidak ada yang menengahi, mengakomodir, memberi pencerahan aspek hukum, yang menuntut peran aktif aparat pemerintah / keamanan serta semua elemen masyarakat yang ada, maka komunikasi akan terputus dan melahirkan aksi dari pihak yang merasa memiliki “ otoritas semu “ tadi.

Uraian di atas menegaskan bahwa “ realitas “ bukan solusi utama dalam penyelesaian implikasi ( dampak ) negatif dari pluralisme, sebaliknya sebagian publik menganggapnya sebagai upaya untuk menciptakan “ hegemonitas “ ( pengaruh kekuasaan ) tiap sisi kehidupan masyarakat. Inilah kenyataannya dan untuk mencegah implikasi negatif pluralisme dapat dilakukan beberapa cara seperti yang sudah disinggung pada pembahasan “ pencerahan “ sebelumnya.

Alexander Zulkarnain ( pemerhati masalah sosial keagamaan) menawarkan sebuah konsep “ Segi Tiga Sama Sisi Teologi – Info Baru 12-8-2005. Dalam artikelnya disampaikan segi tiga sama sisi Jahudi – Nasrani – Islam atau Musa – Yesus – Muhammad atau Taurat – Injil – Al Quran. Ajaran ini semua terfokus dalam titik pusat agama samawi, bapak teologis , Abraham / Ibrahim, sebab tiga agamawi ditakdirkan untuk hidup dalam satu masa di bumi, berbeda pendapat tetapi semua berasal dari Adam, Abraham / Ibrahim menuju ke Musa, Yesus, dan Muhammad, demikian pendapatnya. Selain itu setidaknya kita harus bersikap arif dalam menerima pluralisme, sekaligus mengembangkan pluralisme sebagai kekuatan sinergis di tengah tengah masyarakat di masa akan datang.

Dalam hal ini agama memiliki peranan yang utama, harus ditegaskan sikap agama yang tidak menolak terhadap pluralisme, bahkan agama memberi sikap yang berkenaan dengan norma hidup yang berlaku di masyarakat ( keanekaragaman ). Dan ini dapat terwujud jika umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan “ perbedaan ajaran “ karena masih banyak “ persamaan “ yang bersifat membangun komitmen kemanusiaan.

Diperlukan pendekatan dialog antar agama melalui pendekatan persuasif dan dialogis bukan bertujuan untuk menyamakan keyakinan semua agama melainkan pengakuan tiap tiap orang beragama mempunyai keyakinan yang teguh dan mutlak terhadap ajaran agamanya. Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat ditolak , pluralitas adalah bagian dari hukum alam yang harus dilaksanakan – ikhlas atau tidak, juga merupakan sebuah rahmat yang harus diterima karena merupakan kehendak Tuhan.Satu hal yang menjadi“ kecemasan “ adalah manakala pluralisme tidak mendapat tempat di negara ini akan memugkinkan untuk terjadinya “ disintegrasi “.



PENANGGULANGAN TERORISME


Terorisme dapat terjadi dimana saja, sasarannya bisa siapa saja tanpa mengenal berasal dari komunitas mana. Di wilayah wilayah konflik ( horizonal, vertikal ) terorisme acapkali terjadi, tetapi di daerah aman konflik, aksi teror juga muncul dan menelan korban yang tidak sedikit. Terorisme juga beroperasi di negara negara yang berada dalam kondisi lemah – state Authority, karena kejahatan transnasional ( lintas negara ) menikmati lingkungan dengan penegakan hukum yang rendah, korupsi, dan juga memungkinkan cara cara kekerasan – Indonesia termasuk negara state authority. Namun pada negara negara kuat – adidaya, terorisme bisa terjadi apabila negara tersebut dinilai tidak adil dan melakukan atau mendukung penindasan terhadap bangsa lain, seperti Amerika, Inggris, dan Israel.

Kesimpulan kecil adalah ; sesungguhnya tidak ada tempat yang aman dari tindak terorisme, sehingga diperlukan suatu “penanggulangan terorisme “. Dalam kesempatan ini penulis lebih tertarik menggunakan kata menanggulangi, sebab mengandung makna upaya yang dilakukan sebelum, saat terjadi, maupun sesudahnya.

Secara displin ilmu ,“ gerilya “ dihadapi dengan “ lawan gerilya “, namun terorisme tidak bisa dihadapi dengan lawan / anti terorisme yang identik dengan konsep yang terdapat dalam gerilya lawan gerilya. Di dalam negeri terdapat pasukan yang memiliki spesialisasi spesifik / kekhususan dibandingkan pasukan pada umumnya yang dikembangkan di tiap tiap matra ( AD , AL , AU , dan Polri ).

Pasukan khusus ini rata-rata memiliki standar kemampuan kemampuan hampir sama yaitu ; pasukan udara ( para ) , komando, terjun bebas tempur ( combat free fall ), selam tempur ( scuba diver ), perang kota, pertempuran jarak dekat ( close quarter combat ), perang hutan, intelijen, klandesten, pembebasan sandera, dan anti teror.Karena tuntutan tugas yang tinggi, perekrutan dilakukan secara selektif, dan latihan dilakukan secara khusus serta intensitas yang tinggi, untuk selalu siap setiap saat melaksanakan tugas tugas khusus.

Kelebihan dibanding pasukan lainnya adalah mobilitas tinggi, persenjataan khusus, dan organisasi spesifik yang ramping. Satuan -81 penanggulangan teror ( Sat – 81 Gultor ) ada di matra AD, Detasemen Jala mangkara ( Denjaka ) terdapat di AL, Detasemen Bravo 90 ( Den Bravo 90 ) ada di AU, dan di kepolisian pada kepemimpinan Kapolri Da’i Bachtiar telah dibentuk Detasemen khusus -88 Anti Teror ( Densus -88 Anti Teror ).

Melihat perkembangan saat ini , kita melihat aksi terorisme terus berlangsung di negara kita, peran satuan anti teror “ belum bisa terasa “ karena tugas mereka lebih difokuskan untuk mengatasi suatu aksi teror ( pembajakan , penyanderaan, sabotase, dan lain lain ), sehingga lebih diperlukan suatu upaya pencegahan mengantisipasitindakan terorisme dengan melakukan pendeteksian dini dan pencegahan dini melalui “ perspektif intelijen” maupun penyelesaian terhadap “ akar permasalahan “. Sebab teror tidak bisa hanya diatasi melalui lawan / anti teror.

PERSPEKTIF INTELIJEN
James Douglas Clayton yang diperankan oleh Colin Farrel adalah seorang ahli komputer pencipta program teknologi tanpa kabel - Spartacus , menyampaikan asumsinya tentang Badan Intelijen Amerika ( CIA ) ketika dirinya mau direkrut oleh Walter Burke ( Al Pacino ) - seorang ahli perekrutan CIA. Berikut dialog mereka dalam filem “ Recruit “ yang diproduksi oleh Touchstone Picture and Spyglass Entertainment ;
James Clayton ; “ Yang kutahu tentang CIA adalah mereka cuma sekelompok pria kulit putih gemuk yang tertidur saat kita memerlukan mereka “.
Walter Burke ; “ Apa yang sama sekali kamu tahu, bahwa kamu tidak tahu, apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang tampak seperti kenyataannya ”.

Dari dialog tersebut penulis ingin memberi gambaran tentang aparat intelijen dan tugas tugasnya. Cukup sering masyarakat memberi penilaian negatif terhadap kinerja aparat intelijen ; intelijen tidur , intelijen kecolongan , intelijen impoten / lemah , bahkan intelijen dianggap “ biang “ jika terjadi tindak terorisme. Sebagai petugas intelijen hal tersebut adalah lumrah adanya, karena jika menghayati ” moto intelijen ” ( Berhasil tidak dipuji , Gagal dicaci maki – bahkan bisa diinterogasi , Hilang tidak dicari , Mati tidak diakui ) , sesungguhnya dalam pelaksanaan tugas tidak akan pernah ada pujian. Kiranya moto tersebut tidak membuat pesimis malah sebaliknya semakin memacu untuk memilih kebenaran, karena kejahatan / musuh ada di mana mana.

Seperti pada diktat diktat pelajaran intelijen maupun buku buku intelijen lainnya, pada umumnya pengertian intelijen ada tiga perspektif yaitu ; Intelijen sebagai organisasi , Intelijen sebagai kegiatan , Intelijen sebagai pengetahuan / produk intel , berikut ini sekilas penggambaran tentang intelijen yang sebagian besar diambil dari buku Intelijen Teori, Aplikasi, dan Modernisasi yang ditulis oleh Y. Wahyu Saronto dkk.

Sejak manusia melangkahkan kakinya di muka bumi, manusia telah melakukan usaha usaha untuk menjaga keamanan diri dan kehidupannya. Usaha usaha itu dapat dikatakan telah mempelajari teknik intelijen. Pengambilan keputusan oleh seseorang mengenai gerakan langkah dan kegiatannya telah didahului oleh pertimbangan yang baik dan buruk , menguntungkan atau merugikan , dan pemilihan alternatif yang paling baik dengan resiko sekecil kecilnya.

Dalam pertimbangan pemilihan alternatif yang paling baik itulah terlebih dahulu perlu ada informasi tentang lingkungan sekitar atau informasi tentang tujuan yang ingin dicapai dan kemauan sendiri. Selanjutnya segala macam informasi itu dinilai tentang kuantitas maupun kualitasnya, dikaitkan dengan kepentingan / tujuan yang ingin dicapai. Bisa saja informasi yang didapat kurang sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya , bahkan mungkin juga informasi itu menjerumuskan / jebakan.

Oleh karena itu informasi yang ada perlu dipilah pilah , dikelompokkan dan selanjutnya dinilai untuk dijadikan alternatif pengambilan keputusan dengan tindakan yang dilakukan. Dalam lingkup yang lebih besar, misalnya perusahaan organisasi maupun negara pasti memiliki tujuan tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan perencanaan yang baik agar usaha mencapai tujuan tersebut dapat terlaksana dengan cepat dan tepat. Perencanaan meliputi siapa yang melakukan , bagaimana cara melakukan , apa alat atau sarana yang digunakan, berapa biaya yang dibutuhkan dan target apa yang diinginkan, yang pada akhirnya melahirkan keputusan. Dalam menyusun perencanaan diperlukan informasi yang cukup untuk diolah , dinilai, ditetapkan sebagai alternatif dan kemudian memilih alternatif yang terbaik guna disusun menjadi rencana yang akan dilaksanakan.

Melihat hal tersebut dapat disimpulkan , intelijen sebetulnya “ telah dilakukan orang dalam kegiatannya sehari hari “ dan sudah dilakukan sejak manusia ada di bumi. Hanya saja , manusia umumnya tidak menyadari bahwa kegiatan yang seperti diuraikan di atas didasari pada kegiatan intelijen. Kemudian tidak banyak pula orang yang mau melakukan evaluasi mengenai keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatannya sehari hari , sehingga banyak orang berulang ulang melakukan kesalahan yang membuat kegagalan dalam hidupnya. Proses intelijen diperlukan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan , baik dalam aktivitas seseorang secara individu maupun kelompok.

Istilah intelijen berasal dari kata intelegensia yang artinya kecerdasan, bahwa pekerjaan intelijen membutukan kecerdasan pada banyak aspek ( emosional, pengetahuan, spiritual ). Selain itu intelijen diartikan juga sebagai informasi oleh sebagian orang. Kata intelijen terkadang dijumpai bergandengan dengan kata lainnya seperti ; taktik intelijen, intelijen ekonomi , strategi intelijen, intelijen ilmiah, intelijen taktis, intelijen strategis dan lain lain. Ini yang membuat definisi intelijen beragam pada perspektif intelijen, sehingga penggunaan kata intelijen terkadang berubah bisa berarti operasi intelijen, bisa berarti hasil dari operasi kemudian diproses – pemilahan, penilaian, pengidentifikasian dan penganalisaan sehingga menghasilkan informasi / produk intelijen, dan juga dapat diartikan organisasi yang melaksanakan operasi.

Terdapat beberapa definisi tentang intelijen. Ada yang mengartikan intelijen sebagai pengetahuan informasi yang harus dipenuhi oleh pejabat pemerintahan ( sipil , militer ) yang bertugas menjadikan keamanan nasional. Ada pula yang mengartikan ; intelijen adalah proses mendapatkan segala hal yang harus diketahui sebelum melakukan pekerjaan, dan itulah yang sebelumnya harus diketahui dalam rangka menyelesaikan semua masalah, untuk keperluan mengatur rencana pekerjaan. Definisi ini berasal dari Komite Penelitian Kegiatan Intelijen ( Komite Pengaturan administrasi Aparat Pemerintah ) yang dipimpin Herbert Haufer yang kemudian dikenal dengan nama Komite Haufer, komite ini didirikan Pemerintah AS pada tahun 1955.

Arhur Redford, seorang pejabat Pentagon ( Departemen Pertahanan AS ) menambahkan ; penyampaian keputusan atau bentuk pekerjaan harus dilakukan oleh seorang yang bertanggung jawab. Ketika informasi itu tidak sempurna, hal itu tidak akan jelas. Sementara intelijen yang baik meminimalisasi sulitnya menyampaikan keputusan atau membuat keputusan.

Kamus militer AS mendefinisikan intelijen sebagai kumpulan; penilaian, analisis, penjelasan, dan penafsiran dari semua yang mungkin didapat dari informasi tentang berbagai macam hal dari negara asing atau kawasan operasi , dan merupakan keharusan dalam sebuah perencanaan.

Ladias Farago seorang wartawan asal Magar berpendapat ; intelijen berarti kemampuan memahami dan menilai informasi yang didapat oleh manusia dengan cara cara wartawan. Definisi lainnya pada Kamus Besar Bahasa 1991 ; Intelijen adalah orang yang bertugas mencari keterangan ( mengamat amati ) seseorang ;dinas rahasia.

Washington Platt mendefinisikan intelijen sebagai suatu penjelasan mempunyai makna ,yang diambil dari informasi yang telah dipilih , dinilai dan ditafsirkan , yang pada akhirnya penjelasan tersebut dijadikan betul betul penting , khususnya dalam hal politik kenegaraan.

Sementara itu Ensiklopedia Britanica mengemukakan intelijen adalah mengumpulkan informasi tentang musuh , bahkan sampai koalisinya, atau tentang negara yang netral dan juga pengamanan rahasia yang khusus pada negara sendiri.

Kebalikan intelijen adalah suatu pengamanan rahasia yang khusus pada suatu negara itu sendiri . Meskipun intelijen selalu memperhatikan perang dan pembelaan saja, tetapi juga menghimpun informasi diplomasi, ekonomi, industri dan pengamanan informasi tersebut.

Dari sisi pengertian , intelijen terbagi menjadi dua tingkatan; pertama , makna umum ialah mencakup kemampuan mempelajari dan memanfaatkan eksprimen , dan bereaksi secara tepat terhadap situasi. Kedua , makna khusus ( secara profesi ) ialah tugas dan kewajiban kewajibannya telah terbatasi secara jelas, karena intelijen merupakan suatu bentuk operasi dan aktivitas. Intelijen adalah aktivitas yang berkesinambungan guna mengeliminir semua hambatan sehingga dapat menggambarkan langkah langkah yang dimungkinkan untuk yang akan datang ( intelijen ramalan ) berdasarkan fakta fakta yang sebelumnya /ada ( intelijen dasar, aktual ).

Tugas intelijen meliputi upaya untuk menggagalkan hingga meniadakan ancaman terhadap kedaulatan negara , keselamatan bangsa, dan integrasi wilayah negara , melalui pengamatan secara terus menerus dan bersifat sistematik ( teratur ) terhadap potensi potensi yang bisa menimbulkan ancaman dalam bentuk dini. Intelijen dalam suatu negara dimaknai dalam tiga penampilan yaitu ;

• Intelijen sebagai organisasi – organization ; sifat keberadaan intelijen merupakan organisasi dinas rahasia, dalam pengertian berada di bawah permukaan dan sulit dilihat dengan mata biasa, tersembunyi dari pengamatan publik .

• Intelijen sebagai aktivitas – activity ; suatu aktivitas tertutup , suatu clandestine activity ( aktivitas tersembunyi ), atau covert action ( aksi menyamar ). Aktivitas ini mencakup kegiatan kegiatan sifat rutin dan operasi operasi intelijen yang bersifat temporer dan dibatasi waktu. Bentuk aktivitas intelijen dilakukan pada tiga pilar utama, penyelidikan , pengamanan , penggalangan. Penyelidikan merupakan ujung tombak aktivitas intelijen , karena hasil penyelidikan akan diakumulasikan menjadi sebuah intelijen sebagai pengetahuan ( produk intelijen ). Atas dasar pengetahuan intelijen yang ada , dilakukan upaya upaya pengamanan dan penggalangan untuk melakukan berbagai strategi preventif dan untuk mengeliminir ancaman. Pada waktu bersamaan, akumulasi pengetahuan intelijen dijadikan acuan bagi semua instansi dan pihak terkait di luar instansi intelijen , baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka melakukan upaya eliminasi ancaman intelijen tentang pengetahuan ( produk suatu analisis ).


Intelijen sebagai pengetahuan ( produk suatu analisis ) – knowledge ; suatu pengetahuan yang spesifik , intelijen mengetahui hal hal yang terjadi mendahului orang lain dalam produk intelijen. Sebuah ungkapan yang sering disampaikan yaitu intelijen harus lebih dahulu mengetahui apa yang dipikirkan seseorang, dapat mendengar sesuatu sebelum orang mengucapkan , dapat melihat apa yang orang lain belum melakukan. Dengan demikian produk intelijen negara dapat mengantisipasi setiap kemungkinan adanya ancaman – to make better anticipation, mengambil langkah langkah strategis – to make better strategic , dan membuat perencanaan kebijakan nasional yang lebih baik – to get better planning.

Dari semua uraian di atas tidak terlihat sesuatu yang “ menakutkan “ dari makna maupun tugas tugas intelijen. Intelijen merupakan perencanaan yang teratur dan dipelajari dengan memanfaatkan segala sarana yang ada agar memperoleh aneka informasi dengan bantuan “ masyarakat “ lalu mengolahnya selanjutnya disusun laporan yang memuat perkiraan perkiraan yang akan terjadi, pada saat yang tepat demi menjamin keselamatan dan keamanan nasional , serta bekerja melawan intelijen lawan guna mencegah masuknya masuknya bahaya pada negara dalam bentuk apapun. Penulis ingin menegaskan bahwa nafas intelijen ada di “ informasi “ yang diperoleh dari masyarakat saat melaksanakan kegiatan intelijen - penyelidikan.

Manakala terjadi teror bom di suatu tempat , petugas intelijen melaksanakan investigasi, dan mencoba melaksanakan elisitasi – wawancara intelijen, terhadap masyarakat, ketika ditanya sebagian besar masyarakat menjawab “seng tahu bapa, seng ada bapa “ ( seng : tidak – Ambon ) sambil mengangkat kedua tangannya , padahal ada “ sesuatu “ yang disimpan di bawah ketiaknya. Intelijen akan mengalami kesulitan apabila masyarakat menyembunyikan sesuatu yang selayaknya tidak patut untuk disimpan.

Dalam kehidupan sehari hari masyarakat juga telah melakukan aktivitas yang berkaitan dengan intelijen, inilah yang sering disebut dengan “ intelijen minded “. Tergambar jelas bahwa kegiatan intelijen tidak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat, perspektif intelijen yang telah disampaikan semoga bermanfaat bagi masyarakat dalam mendukung tugas aparat intelijen.

UPAYA MENANGGULANGI

Sebuah moto yang digunakan oleh “ The Baku Bae Peace Movement “ ( Pergerakan Damai Baku Bae – koalisi LSM di Maluku) yaitu ; “ Kedamaian adalah hak dan Perdamaian adalah usaha yang tidak pernah berhenti “. Penulis merasa perlu menyampaikan penggambaran moto ini karena secara implisit mengandung makna yang dalam tentang keterlibatan semua pihak untuk mengantisipasi / mencegah terorisme. Kedamaian merupakan keadaan / kondisi damai sedangkan perdamaian adalah segala perbuatan dalam rangka mewujudkan kedamaian. Menunjukkan bahwa perdamaian adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat dalam mewujudkan kedamaian di seluruh wilayah NKRI .

Banyak kalangan menilai bahwa tindakan terorisme internasional merupakan reaksi terhadap moral double standar policy – standar ganda politik luar negeri AS dan sekutunya. Klaim Amerika sebagai tatanan dunia bersandar pada posisi yang lemah, sehingga berimplikasi terhadap negara negara yang berada di bawah naungan tatanan tersebut. Kebijakan global inilah yang memicu kejahatan transnasional – terorisme melakukan aksinya tidak hanya di negara AS dan sekutunya, tapi tejadi juga di negara negara lain yang terdapat kepentingan dan warga negara AS serta sekutunya, termasuk Indonesia.

Solusi yang ditawarkan yaitu mengajak masyarakat internasional untuk mendesak AS dan sekutunya untuk bertindak adil dalam menjalankan politik luar negerinya baik dalam hubungan internasional dan bilateral, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah layakkah negara Indonesia untuk melakukan hal tersebut, sementara kondisi perekonomian masih sangat labil, permasalahan kebangsaan yang tak kunjung selesai, diantaranya ; separatisme, konflik komunal, kesenjangan ekonomi, kesenjangan status sosial, serta percaturan politik yang penuh “ persaingan ”.

Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berkeinginan menyampaikan pandangannya tentang upaya yang “ dapat ” dilakukan oleh pemerintah beserta perangkatnya dan seluruh elemen masyarakat untuk meredam aksi aksi terorisme melalui penyelesaian akar permasalahan dan upaya penanggulangan lainnya, dalam rangka memperbaiki sedikit tiang tiang penyangga NKRI yang sudah “ rapuh “- atau mungkin juga ada yang patah. Pemikiran tersebut seperti yang dituangkan sebagai berikut ;

1. Pemberantasan Korupsi , munculnya separatisme berawal dari ketimpangan ekonomi, ini yang didengungkan oleh sekelompok orang yang cepat mendapat dukungan dari etniknya. Ketimpangan ekonomi terjadi karena banyak pejabat yang korupsi. Dana dana yang dikorupsi kala satu dolar masih dibawah Rp 2.000 mencapai jumlah triliunan rupiah ( Eddy Tansil, Dewi Tahir, Free Port – setelah 20 tahun melakukan eksplorasi baru terungkap jika menambang emas, dan lain lain ), itu baru sebagian kecil dari data yang diketahui publik – belum yang tidak diketahui. Setelah krisis moneter korupsi tetap berlanjut jumlahnya beragam, mencapai triliunan rupiah tetap ada. Konflik vertikal / separatisme yang berkepanjangan menjadi riskan untuk aksi teror, karena teror adalah kepanjangan dari perang yang tidak dilakukan secara terbuka. Semua elemen bangsa harus memiliki komitmen dan spirit untuk memberantas korupsi.

2. Mengkaji kembali perimbangan perekonomian antara pusat dan daerah ( UU No. 33 tahun 2004 ), untuk merespon “ Kesepakatan Helsinki “ yang banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, sangat bijak jika pemerintah melakukan kajian terhadap perimbangan perekonomian antara pusat dan daerah. Berbagai elemen mengkuatirkan dampak dari kesepakatan tersebut, karena dapat memicu wilayah wilayah lain yang memiliki potensi SDA akan meminta hak yang sama / menyerupai. Kapasitas penulis bukan sebagai pihak yang menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun dapat menjadi catatan keinginan dari daerah daerah untuk meningkatkan perekonomian dengan menggunakan potensi di wilayahnya merupakan sebuah realitas. Jika nantinya tidak bisa terakomodir mengakibatkan komunikasi yang terdistorsi, dan tidak menutup kemungkinan akan muncul fenomena baru “separatisme yang berujung untuk tidak memisahkan diri “ .

3. Pendekatan holistis ( sistim keseluruhan sebagai satu kesatuan) dan Kultural melalui Dialog , kelompok radikal yang minoritas, tidak dapat hanya dihadapi dengan pendekatan represif, dengan cara cara polisionil. Pada matriks pencerahan telah disinggung metoda dialog, tetapi dalam hal ini akan lebih efektif serta untuk menghindari “ ekses negatif “, kelompok radikal harus diisolasi pengaruhnya dari kalangan Islam sendiri, yang datang dari pemahaman dan tradisi yang berbeda. Pendekatan melalui cara cara polisionil dan represif belaka , sesungguhnya berimplikasi terhadap umat muslim yang mayoritas, karena akan muncul pemahaman yang beragam dari pendekatan tersebut yang bisa tidak bersesuaian dengan mereka.

4. Terobosan Bidang Hukum , perlu dilakukan beberapa amandemen terhadap hukum yang terkait terorisme dan rangkaian kegiatan yang mendukung aksi terorisme antara lain ; korupsi , kepemilikan senjata dan muhandak ilegal yang digunakan untuk terorisme , penyalahgunaan visa yang dilakukan orang asing di wilayah konflik / melakukan kegiatan intelijen, maupun aksi para pelaku terorisme . Hukuman yang diberikan terhadap para pelaku tersebut selama ini beragam, karena interpretasi aparat penegak hukum juga beragam. Di sini celah hukum yang dapat “dimanfaatkan ” karena yang ada hukuman maksimal, pada kesalahan yang sama dapat terjadi vonis yang berbeda. Penulis menggarisbawahi terobosannya yaitu ; hukuman maksimal yang diberikan adalah “ penjara seumur hidup “ dan minimal “ 60 tahun “ penjara. Jalannya persidangan tidak perlu berlarut larut karena bisa menjadi “ polemik “ di masyarakat, pada persidangan yang “ketiga “ sudah jatuh vonis. Untuk menghindari interpretasi beragam dari hakim pengadilan dapat menggunakan “ juri “ , diambil dari beberapa elemen masyarakat yang tidak cacat hukum. Penjatuhan vonis cukup pada pengadilan “ tingkat pertama “ ( Pengadilan Negeri ), tidak berlanjut ke pengadilan tingkat berikutnya. Serta tidak ada pemberian “ grasi “ sekalipun pucuk pimpinan negara mengalami pergantian. Terobosan ini mungkin dianggap terlalu muluk dan ruwet, tapi pada keyakinan, masih dapat dilakukan.

5. Meninjau RUU Intelijen , di dalam negeri ada beberapa kalangan yang menganggap jika RUU intelijen disahkan muncul kekuatiran berimplikasi terhadap pelanggaran HAM. Secara halus dikuatirkan jika “dimanipulasi“ untuk kompetisi elit, maupun ketakutan ditangkapnya tokoh tokoh LSM garis keras. Adalah wajar jika muncul perbedaan pendapat, tetapi sangat disayangkan juga jika aksi terorisme masih berlanjut dan korban kembali berjatuhan karena tidak maksimalnya upaya deteksi dini maupun cegah dini. Penulis melihat terdapat indikasi bahwa ketakutan publik bukan terhadap undang undangnya , melainkan lebih kepada pelaksananya. Oleh sebab itu perlu dilakukan sosialisasi untuk memperoleh dukungan lebih dari segenap komponen bangsa ini. Sedikit gambaran tentang UU yang mengatur tugas tugas intelijen di negara luar antara lain ; Internal Security Act ( ISA ) – Malaysia ; Undang undang khusus keamanan dalam negeri yang membolehkan pihak berwajib menahan siapa saja yang dicurigai tanpa melalui prosedur resmi pengadilan dan pasca 11 September 2001 pemerintah Amerika mengeluarkan USA Patriot Act (UU aksi Patriot ). UU ini memberi kewenangan yang lebih besar bagi CIA , FBI untuk melaksanakan tugas intelijen. Aparat intelijen US memiliki akses besar untuk melakukan pengawasan lalu lintas berita melalui internet, penyadapan telepon, catatan kesehatan seseorang, bahkan dapat menginterogasi seseorang yang diketahui tidak memiliki komitmen untuk kejahatan sekalipun dalam batas pembicaraan ( wacana ).

6. Menghambat Konflik Komunal , awal konflik komunal adanya tindak pidana inter etnik yang tidak diselesaikan secara tuntas. Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan adalah “penegakan hukum yang netral “, dalam arti sanksi diterapkan kepada yang melanggar hukum oleh aparat yang berwenang. Konflik komunal harus segera ditangani agar tidak berkepanjangan, karena terorisme dan polemik lainnya hadir di konflik komunal yang berkepanjangan. Para pejabat pemerintah beserta instrumen pelaksana undang undang, hendaknya tidak perlu “ takut “ terhadap sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendak dengan cara cara inkonstitusional, karena negara memiliki perangkat yang berkompeten untuk mengatasi kelompok kelompok tersebut.

7. Koramil dan Polsek sebagai ujung tombak Aparat keamanan , Aparat Desa dan Pimpinan RT / RW ujung tombak di Pemerintahan , ditujukan pada kegiatan maupun sarana prasarana yang mendukung. Para pelaku teror melaksanakan perencanaan persiapan sebelum melakukan aksi berada di tengah tengah masyarakat , belum pernah terdengar dalam melakukan perencanaan di tengah hutan maupun di tengah laut. Bom yang tidak sengaja meledak, penangkapan para pelaku teror banyak terjadi di pemukiman padat penduduk. Diperlukan “sinergitas” antara aparat keamanan termasuk pemerintah, misalnya ; dalam pendataan pendatang baru, pembuatan KTP, dan pengawasan orang asing serta pendataan terhadap orang orang yang dicurigai. Di wilayah wilayah tertentu terutama desa / dusun terpencil, terdapat prekrutan prekrutan terhadap para pemuda desa yang selanjutnya dikirim ke luar daerah dengan dalih memperdalam ilmu agama, ini perlu pengawasan dengan mensinergikan peranan aparat terutama di tingkat desa / dusun. Memanfaatkan teknologi informasi ( I T ) perlu digagas sampai di tiap kecamatan, yang dapat digunakan bersama oleh aparat keamanan dan pemerintah, karena informasi begitu deras mengalir pada masa ini. Sangat disayangkan jika sebuah kejadian di wilayah terpencil, lebih dulu diketahui oleh para pengusaha di Jakarta daripada aparat yang ada di wilayah.

8. Memaksimalkan Peran Kominda / Bakorinda , beberapa waktu yang lalu Panglima TNI dimintai respon terhadap peran TNI dalam penanggulangan terorisme oleh Komisi I DPR – RI pada saat dengar pendapat. Terdapat solusi yang ditawarkan yaitu pembentukan “ task force “ ( satuan tugas ) sampai di tingkat kabupaten, karena selama ini TNI tidak mengambil peran langsung, terbatas memberi masukan di bidang intelijen saja. Terlalu naif jika muncul anggapan bahwa TNI mencoba mengambil kembali peran peran polisionil yang bukan lagi kewenangannya. Penekanan dari argumen ini adalah membuat batasan yang jelas dalam proses lanjut penyelesaian kasus terorisme. Kominda / Bakorinda dapat dimaksimalkan dengan membuat landasan hukum serta pembagian peran masing masing satuan kemudian mensinergikan pelaksanaan tugas (penyelidikan), agar “ tidak berjalan sendiri sendiri “. Dibutuhkan kerelaan hati untuk tidak “saling menutupi “ informasi yang perlu diketahui dan menghindari persaingan tidak sehat dalam melaksanakan penyelidikan. Secara sederhana penulis mencoba memberi gambaran bahwa ada banyak hal yang diketahui oleh intelijen kepolisian, namun tidak oleh intelijen TNI maupun aparat intelijen lain, demikian sebaliknya. Fenomena ini juga terjadi pada institusi intelijen yang lebih tinggi.

9. Tanggung Jawab Tokoh Informal , dalam masyarakat ketimuran faktor keteladanan / panutan masih memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat. Tokoh agama dimasyarakat memiliki nilai tersendiri karena memiliki karisma lebih daripada tokoh masyarakat biasa. Mereka adalah tokoh yang dianggap menyampaikan “ kebenaran Ilahi “ yang bersifat mutlak. Dalam masyarakat modern peran ulama /pemuka agama dalam membentuk wawasan dan sikap keberagaman umat masih sangat penting khususnya di Indonesia. Fungsi pencerdasan dari lembaga agama perlu segera dilaksanakan , karena tokoh tokoh agama tidak saja diharapkan untuk menyampaikan ajaran ajaran agama, lebih dari itu diharapkan mampu untuk menjabarkan ajaran tersebut menjadi sikap untuk menciptakan kedamaian dan keteduhan dalam umatnya, manakala bangsa ini disusupi wabah anti kemanusiaan – terorisme.

PENUTUP

Ketika bencana alam gempa tektonik dan gelombang tsunami melanda Aceh yang menelan korban kurang lebih 100.000 jiwa dan menghancurkan ribuan bangunan, seluruh rakyat Indonesia terkesima, haru, dan membuat banyak orang “ disadarkan “ untuk memaknai bahwa manusia sungguh tidak ada apa apanya untuk menentang kehendak Ilahi. Penulis mengambil hikmah yang selama ini mungkin tidak populer bahkan hampir tidak ada lagi yaitu Kesetiakawanan Sosial, seketika marak menyusup ke relung sukma semua anak bangsa tanpa memandang dia siapa. Bahkan negara negara luar yang selama ini dianggap memusuhi bangsa ini, menghaturkan bela sungkawa yang tiada terkira. Di mana mana bermunculan solidaritas dengan mengumpulkan berbagai bantuan materi maupun tenaga relawan untuk saudara saudara kita yang sedang dilanda musibah. Sedemikian hebatnya “virus” kesetiakawanan menyebar sampai orang yang selama ini dianggap “ fakir miskin “ juga tergerak hati untuk memberi bantuan. Mudah mudahan tidak berhenti, rasa kesetiakawanan, jangan hanya muncul karena “ melihat kuantitas “ jatuhnya korban.

Pada akhirnya, upaya untuk menanggulangi terorisme bukan semata mata tugas sekelompok orang yang secara penugasan bertanggung jawab untuk mengamankan negara. Menanggulangi terorisme merupakan tugas mulia seluruh warga negara tanpa terkecuali. Semua pihak harus mengambil peran, termasuk tokoh tokoh informal maupun kaum intelektual, karena kita tidak harus menunggu jatuh korban yang lebih besar dikala kita mampu untuk mencegahnya. Sebagai manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan selayaknya kita memahami kebaikan dan kejahatan. Kehadiran kita di tengah tengah masyarakat semata mata karena kita memilih sisi kebaikan. Jangan pernah mengatakan “ tidak bisa ” untuk mencegah terorisme, sebab yang ada hanya “ tidak ingin “. Keinginan ( Willing ) adalah kata kuncinya. Dimana ada kemauan maka terdapat 1001 macam jalan, dan ketika tidak ada keinginan maka akan hadir 1001 macam alasan.

HABIS

FENOMENA TERORISME DI INDONESIA BAGIAN II

Teror, terorisme, teroris sering menjadi suatu hal yang menakutkan bagi banyak orang. Namun tidak sedikit masyarakat yang ingin mengetahui apa pengertian terorisme, bagaimana teror terjadi , siapa yang melakukan , apa latar belakangnya , dan bagaimana aparat keamanan mengambil langkah untuk menghambat teror agak tidak meluas. Bahkan ada beberapa lembaga pendidikan yang memasukkan pelajaran teror dalam materi yang diberikan.


Pemberian materi pelajaran terorisme di beberapa lembaga pendidikan di negara Indonesia bukan untuk menciptakan para teroris , melainkan kursus tentang penanggulangan teror yang diberikan kepada aparat keamanan ( pasukan tempur / intelijen ) bertujuan untuk meredam aksi teror yang terjadi di wilayah NKRI. Berbeda dengan di luar negeri, banyak veteran perang Vietnam yang mendirikan sekolah sekolah untuk mendidik tentara bayaran dengan biaya yang cukup tinggi. Mereka meyangkal jika dianggap mendidik para teroris ( sekolah teroris ), dan mereka menyebut perkemahan militer yang digunakan untuk pelatihan adalah sekolah mempertahankan diri. Moto yang ditanamkan kepada peserta didik yaitu bunuhlah mereka sebelum mereka membunuhmu
.

Salah seorang pendiri sekolah semacam ini adalah Frank Camper, murid-muridnya dididik dan dilatih berbagai macam kemampuan layaknya pasukan Green Beretnya Amerika. Bahkan beberapa muridnya ada yang menjadi pasukan istimewa di Amerika Tengah dan Timur Dekat. Sekolah yang saya dirikan bukan untuk mendidik para teroris melainkan ahli perang menghadapi teroris, demikian menurut Frank Camper. Namun kenyataannya dia tidak bisa mengontrol tindak tanduk bekas muridnya yang dia anggap bukan menjadi tanggung jawabnya lagi.
Di Afganistan, Libya juga terdapat tempat tempat latihan yang banyak digunakan oleh para pejuang/gerilyawan untuk melawan pihak pihak lain yang mereka anggap sebagai musuh. Mereka dididik teknik teknik militer , penyusupan , eksfiltrasi , penyurupan , merakit bahan peledak termasuk penggalangan. Anehnya beberapa warga negara asing termasuk Indonesia ada yang pernah dididik di kamp latihan tersebut , dan Amerika menyebut tempat tempat tersebut sebagai kamp latihan teroris.


DEFINISI TERORISME

Istilah terorisme pertama kali tercantum di kosa kata formal dalam suplemen dictionnaire yang diterbitkan oleh Academie Francaise pada tahun 1798. Kata teror berasal dari bahasa Yunani, ’’ Terrereyang berarti menciptakan ketakutan.

Walter Laquer mengemukakan dalam bukuya yang berjudul The Age Of Terrorism ( 1987 ) bahwa “ No definition of terrorism can possibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history “ ( Tidak ada definisi terorisme yang mungkin dapat menjelaskan ragam terorisme yang muncul sepanjang sejarah ). Tidak pernah ada teks yang disepakati bersama di tingkat internasional mengenai definisi terorisme, bahkan di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada tahun 1937 Liga Bangsa-Bangsa pernah menggagas draf yang terkait dengan “ kriminal “ yang sayangnya tak pernah diwujudkan / dirujuk sebagai definisi terorisme ; “ All criminal acts directed against a State and intended or calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or a group of person or the general public “. ( Semua perbuatan kriminal diarahkan untuk melawan pemerintahan dan bermaksud untuk menghasut atau mendoktrin pikiran yang merongrong pemerintahan di dalam pikiran sebagian individu , kelompok maupun masyarakat secara umum ).

Tidak satupun 12 konvensi dan protokol yang terdapat dalam lingkup PBB mengenai terorisme dibahas secara komprehensif, akibatnya tidak tercapai konsensus mengenai definisi terorisme. Eqbal Ahmad ( seorang penulis, dan wartawan terkenal berkebangsaan India, pendiri universitas khaldunia di Pakistan, dan meninggal tahun 1999 di Islamabad ), berpendapat bahwa umumnya pejabat-pejabat penting negara enggan untuk mendefinisikan terorisme secara baku karena hal yang demikian akan mengikat mereka untuk berkomitmen pada analisis, pemahaman, dan norma-norma yang hingga level tertentu harus dijadikan rujukan secara konsisten.

Menurut DR. Henk Houwling (Pakar ilmu hubungan internasional dari Universiteid van Amsterdam), terorisme mengandung empat unsur strategis yaitu “ pelaku kejahatan, korban, penonton, sasaran“. Teror adalah “ digunakannya kekerasan sebagai alat komunikasi antara pelaku kejahatan dengan sasaran ( target ) di muka umum “.

Sedangkan menurut Federal Bureau Investigation ( FBI ) – Biro Investigasi Federal Amerika , terorisme adalah “ tindakan kekerasan melawan hukum atau kejahatan melawan orang orang atau perbuatan dengan mengintimidasi atau memaksa suatu pemerintah, warga sipil dan unsur masyarakat lainnya dengan tujuan mencapai ( target ) sosial dan politik politik tertentu “.

Definisi komprehensif terhadap terorisme yang disepakati secara akademis di PBB adalah definisi yang dikembangkan pakar terorisme, A.P.Schmid untuk United Nations Crime Branch ( Bagian Kriminal di PBB ) pada tahun 1992 dikemukakan ;

“ Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby - in contrast to assasination – the direct targets of violence are not the main targets.The immediate human victims of violence are generaly chosen randomly ( targets of opportunity ) or selectively ( representative or symbolic targets ) from a targets population, and serve as message generators. Threat and violence based communication processes between terrorist ( organization ),( imperiled ) victims, and main targets are used to manipulate the main targets ( audience (s)), turning it into a targets od terror, a targets of demands, or a targets of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought “.

( Terorisme adalah sebuah metoda menarik perhatian dengan aksi kekerasan secara terus terus, oleh perorangan - secara semi tertutup , kelompok atau negara untuk tujuan idologi, kriminal , maupun politik ,– terdapat perbedaan dengan pembunuhan tokoh tokoh utama – tindak kekerasan yang dialami sasaran bukan menjadi tujuan utama ( ada tujuan lanjutan ). Korban langsung aksi teror dipilih secara acak ( sasaran memungkinkan ), atau yang sudah ditetapkan ( mewakili atau sasaran simbolis ) pada populasi tertentu, dan korban bertindak sebagai pembawa pesan kaum teroris. Ancaman dan aksi kekerasan merupakan suatu proses komunikasi yaitu terorisme ( organisasi ) – korban (penduduk)– sasaran utama , yang digunakan untuk memanipulasi sasaran utama ( penduduk / pemirsa ) sehingga menjadi sasaran teror, sasaran pemerasan , dan sasaran untuk mencari perhatian, tergantung dari tujuan aksi teror , baik intimidasi , kekerasan atau propaganda ).

Seperti halnya dengan definisi terorisme, ditemui pula tipologi terorisme yang berbeda-beda. Eqbal Ahmad membagi terorisme ke dalam lima tipe ; terorisme negara, terorisme religius, terorisme kriminal, terorisme politik dan terorisme oposisional. Sementara Hoffman ( pengarang buku-buku yang memiliki misi pembaharuan, pernah menjadi wartawan di Biro Asosiasi Media New York ) mendefinisikan tiga tipe terorisme ; terorisme etno-nasionalis atau separatis, terorisme religius dan state sponsored terrorism.

Pembagian Kaum Teroris menurut Oemar Kader ( Konsultan Perencana Anti Teroris Pemerintah Federal AS ) yaitu :
• Jenis Etnonasionalis, dipersatukan oleh bahasa, agama, dan wawasan teritorial. Contoh : IRA ( Tentara Republik Irlandia ), PLO ( Pejuang Pembebasan Palestina ), ETA dan lain lain.

• Jenis Motivasi Idiologis , digerakkan oleh motivasi idiologi. Contoh :Brigade Merah, Pasukan maut sayap kanan di Amerika Latin, Tupamaros Uruguay.

Dewan Hubungan Luar Negeri – Council on Foreign Relation (organisasi nasional yang bekerja untuk kemakmuran dan perdamaian di Amerika dan menjalin hubungan dengan semua negara di dunia, bermarkas di Washington), membagi enam ragam terorisme, mencakup : terorisme nasionalis , terorisme religius, state sponsored terrorism , terorisme sayap kiri, terorisme sayap kanan dan terorisme anarkhis.

a. Terorisme nasionalis.

Terorisme nasionalis bercita-cita membentuk negara terpisah untuk bangsa mereka. Contoh pergerakan tipe ini, antara lain : IRA, LEHI, Irgun, EOKA.

b. Terorisme Religius.
Pergerakan terorisme religius mempergunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan yang mereka anggap diperintahkan oleh Tuhan. Terorisme tipe ini ditemui pada semua agama besar, juga pada sekte-sekte ( cult ) kecil. Bagi teroris religius, kekerasan adalah sebuah tindakan suci atau amanat/tugas dari Ilahi. Agama disini berperan sebagai sebuah kekuatan yang meligitimasi penggunaan kekerasan. Contoh pergerakan teroris tipe ini mencakup : Hamas di Palestina, Hisbullah di Lebanon, kelompok Yahudi yang terafiliasi dengan Rabbi Mei Kahane, ekstrimis-ekstrimis Yahudi seperti Barauch Goldstein ( yang menembaki jemaah muslim di Masjid Hebron tahun 1994 ) dan Yigal Amir ( yang membunuh PM Yitzhak Rabin tahun 1995 ) sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Hampir semua pakar yang mendalami terorisme sepakat bahwa tipe terorisme ini tengah tumbuh pesat. Hoffman mencatat bahwa pada tahun 1995, dari 56 kelompok teroris internasional yang diketahui aktif, setengahnya digerakkan oleh motivasi religius.

c. State Sponsored Terrorism.

Tipe terorisme ini mendapatkan dukungan yang aktif dan seringkali secara diam-diam ( clandestine support ) dari negara-negara tertentu. Amerika Serikat menuding Iran sebagai sponsor utama terorisme saat ini; disamping Kuba, Irak, Libya, Korea Utara, Sudan dan Syria. Contoh kelompok teroris yang dianggap disponsori negara mencakup Hizbullah (disponsori Iran), Abu Nidal Organization ( disponsori Irak ), Japanese Red Army ( yang disinyalir acap bekerja dalam basis kontrak untuk Libya ). Salah satu kasus awal terorisme tipe ini adalah ketika pemerintah Iran mempergunakan milisi independent dalam kasus penyanderaan di kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran pada tahun 1979.

d. Terorisme Sayap Kiri.
Tipe terorisme ini secara jelas menyasar kapitalisme dan berkeinginan untuk menggantinya dengan rezim komunis atau sosialis. Kebanyakan pengikut pergerakan teroris ini miskin dan terobsesi ; inspirasi mereka adalah keyakinan ideologis yang mendalam dan cenderung fanatis. Mereka melihat terorisme sebagai respon terhadap ketidakadilan sosial yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini biasanya mempersepsikan sipil sebagai entitas ( kelompok ) yang menderita dibawah eksploitasi kapitalis, karena seringkali mereka membatasi pemakaian kekerasan dan memfokuskan diri pada taktik-taktik seperti penculikan konglomerat atau pengeboman monumen sebagai tindak simbolis. Terorisme tipe ini banyak ditemui pada akhir dekade 1960-an dan sepanjang dasawarsa 1970-an ; mencakup kelompok-kelompok revolusioner yang tampil pada gelombang ketiga, seperti American Weather Underground, Baader-Meinhof Groups (German Red Army Faction), Italian Red Brigades, French Direct Action, dan 17 November Group.

e. Terorisme Sayap Kanan.
Dinilai sebagai tipe terorisme yang paling senseless ( tak berprikemausiaan) dan cenderung merujuk pada kekerasan jalanan. Umumnya yang menjadi target teror adalah imigran dan pengungsi dari negara berkembang. Terorisme tipe ini sarat dengan muatan rasisme, xenophobic (kebencian terhadap orang asing) . Banyak ditemui di Eropa, terutama Jerman Timur dan Negara-negara bekas anggota Blok Timur. Ideologi yang dianut mengarah ke fasisme dan mengimajinasikan Nazi sebagai model ideal. Biasanya teroris-teroris yang tercakup dalam kategori ini bersembunyi di balik slogan-slogan nasionalis. Terdapat kecenderungan bahwa terorisme sayap kanan meningkat dimasa kontemporer ( berbanding terbalik dengan terorisme sayap kiri yang justru mengalami penurunan tajam ).

f. Terorisme Anarkhis.

Tipe terorisme ini ditemui sebagai fenomena global pada gelombang pertama terorisme di mana kelompok revolusioner berupaya menjatuhkan pemerintah melalui rangkaian aksi pengeboman dan pembunuhan pejabat / kepala negara.


SATUKAN PEMAHAMAN
Untuk mendalami sebuah pembahasan ada baiknya dipahami terlebih dahulu tekstual tekstual yang terkait dengan isi dari pembahasan tersebut. Penulis mengajak untuk menyatukan beberapa pemahaman pada awal tulisan ini agar tidak terjadi interpretasi yang beragam tentang hal hal yang terkait dengan terorisme, dan beberapa pengertian lainnya yang perlu dipahami dimuat pada lampiran.

Hukum positif yang berlaku di wilayah NKRI juga memuat beberapa pengertian yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, yang terdapat pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Undang Undang No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme diantaranya :
  • Makar

: - Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden , atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah. ( pasal 104 )

- Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tangan musuh , atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dengan wilayah lain. ( pasal 106 )

- Makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan. ( pasal 107 )
  • Pemberontakan : Hukum pidana ; huru hara, gerakan gerakan, dan sebagainya yang melawan pemerintahan yang sah .pemberontakan disamakan dengan musuh ( pasal 108 ), yaitu ;

- Orang yang melawan pemerintah dengan senjata.
- Orang yang dengan maksud melawan pemerintah, menyerbu bersama sama dengan gerombolan yang melawan dengan senjata.
  • Terorisme : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara luas , menimbulkan korban yang bersifat massal , dengan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain , atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. ( pasal 6 )

Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2001 tertulis beberapa pengertian yang berhubungan dengan tindak kekerasan ;

Makar : - Tipu muslihat
- Perbuatan ( usaha ) dengan maksud hendak menyerang (membunuh orang)
- Perbuatan ( usaha ) menjatuhkan pemerintah yang sah

Pemberontakan : Proses, cara, perbuatan memberontak ; penentang terhadap kekuasaan yang sah

Pemberontak : Orang yang melawan / menentang kekuasaan yang sah

Separatis : Orang ( golongan ) yang menghendaki pemisahan dari suatu persatuan; golongan untuk mendapat dukungan

Separatisme : Paham atau gerakan untuk memisahkan diri ( mendirikan negara sendiri )

Subversi : Gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuatan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang

Teror : Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang/ golongan

Teroris : Orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik

Terorisme : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan ( terutama tujuan politik ) ; praktik tindakan teror

Sedangkan dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila beberapa pengertian yang perlu diketahui ;
Teror
Teror ( bhs latin ) berarti ketakutan, kengerian dan kegelisahaan. Sebagai cara untuk berkuasa teror digunakan oleh penguasa yang tidak mempunyai atau tidak memperdulikan legitimasi. Teror menimbulkan suasana ketakutan antar penduduk, karena hukum tidak berlaku atau bahkan dengan sengaja dan secara institusional dikesampingkan oleh polisi rahasia, pasukan khusus, organisasi semi resmi ( mis Tscheka, GBU, dan BKWB di rusia; SS dan Gestapo di Jerman waktu Hitler, polisi rahasia rezim-rezim diktator militer di Amerika Selatan, pasukan khusus Idi Amin, Qhadaffi, Khomeini, red – guards di RRT ( waktu Mao ) dsb ). Teror mencapai puncak kekejaman yang terorganisir oleh negara dibawah kekuasaan Hittler, Stalin, Mao Zedong dan Pol Pot.

Selain itu teror digunakan secara tak terduga dan dimana saja oleh organisasi ekstrem dengan maksud menakut-nakuti, memaksa dukungan dan menarik perhatian atau sebagai kegiatan utama kaum anarkis. Akhir-akhir ini lebih sering digunakan juga oleh kelompok pengungsi politis dan imigran melawan eksponen kekuasaan negara mereka di luar negeri. Kadang-kadang pemerintah tertentu mendukung secara diam-diam teror di luar negeri ( KGM – Sofia – Agra : Percobaan membunuh Paus Yohanes – Paulus II, 1981)

Di Indonesia dikenal a. I. Teror PKI Madiun, teror DI di Jawa Barat dan teror Kelompok Imran ( Cicendo dan pembajakan pesawat Garuda Woyla 1981 ).

Teror manapun juga yang digunakan oleh instansi negara maupun oleh kelompok ‘ pejuang ‘ manapun adalah suatu kejahatan, yang baik pelaku maupun perencananya harus dihukum berat. Sebab, teror jelas-jelas bertentangan dengan sila prikemanusiaan.

SEJARAH TERORISME


Ketahui dan pahami sejarah, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, demikian sering disampaikan oleh para guru di sekolah-sekolah dan beberapa literature-literatur yang ada. Dalam perspektif Hegel menyatakan bahwa akal terikat pada sejarah. Akal baginya bukan sebuah kemampuan abstrak yang memperlengkapi semua manusia dan dapat mengafirmasi ( menguat ) atas dasar dasar otonom. Jauh dari itu, akal tumbuh dari jalan individu memahami dirinya bagian dari komunitas. Jika kemampuan berpikir dibentuk secara tak terhapuskan oleh waktu dan budaya , hanya studi atas sejarah dapat menyingkap selubung alam dan tempat kita di dunia ini .

Fakta sederhana bahwa “ Generasi berikut tumbuh dari dalam suatu bentuk yang di dalamnya ia dimungkinkan ada, bentuk hidup kita dihubungkan kepada bentuk hidup orang tua , kakek kita melalui suatu jaringan tradisi tradisi kekeluargaan , lokal , politis , dan intelektual dan cukup sulit untuk diuraikan lebih detail karena banyak sekali suku bangsa, dan keyakinan yang ada”.

Sehingga cukup relevan jika kita mencoba untuk mencari tahu bagaimana terorisme dalam konteks historis dari beberapa pradaban yang pernah ada, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Beragam tipe, pola dan tujuan terorisme sepanjang sejarah setidaknya dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa sepanjang peradaban dan dengan adanya kepentingan salah satu pihak ( negara / kelompok ) untuk menggolkan tujuan mereka dapat mengggunakan berbagai cara , termasuk pemaksaan kehendak dengan menggunakan “ Violence “ - kekerasan ( teror ).

LUAR NEGERI
Sebuah sekte yang berjuang untuk kaum Zealot di Palestina dalam melawan kekuatan Romawi pada abad 66 – 73 Masehi telah menggunakan aksi teror sebagai strategi dalam perjuangannya. Sekte tersebut menamakan sebuah kelompok yaitu Sicarii. Pada abad 11 Masehi di wilayah Persia digunakan sebagai basis oleh sekte Assassins salah satu cabang dari kelompok Ismaili. Kelompok Assassins melakukan teror pembunuhan dengan menggunakan pisau belati, menjalankan operasi dengan rahasia dengan menyamar sebagai orang asing dan menganggap setiap pembunuhan yang dilakukan merupakan sebuah tindakan suci. Pada abad ke 13 kelompok ini dapat diredam dibawah pemerintahan Mongolia. Sepanjang sejarah, terorisme muncul dalam beragam bentuk dan pada umumnya tetap menggunakan cara kekerasan. Beragam alasan dikemukakan untuk menghalalkan kekerasan diantaranya ; mempertahankan wilayah ( negara ), menumpas pemberontak, menegakkan keyakinan ( agama ) dan lain lain .

Mikhail Bakunin,pemimpin kelompok Narodnaya Vodya di Rusia 1878 -1881,Emil Henry, pelaku kriminal/teror di Prancis1892 -1894, dan Ravachol pelaku kriminal/teror di Prancis 1892 -1894


Dalam pergerakannya sekitar abad 19 Masehi motivasi, strategi , dan persenjataan secara terus menerus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi hubungan antar negara ( kepentingan suatu negara terhadap negara lain ). Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh David C. Rapoport ( Departement of Political Science UCLA )yang dituangkan dalam artikel “ The Fourth Wave of RebelTerror and September 11 “, memberi gambaran tentang beberapa gelombang terorisme .

Gelombang terorisme pertama ditandai munculnya kelompok pemberontak Narodnaya Vodya ( perjuangan kita ) pimpinan Mikhail Bakunin di Rusia kurun waktu Januari 1878 – Maret 1881. Kelompok ini menyebut dirinya sebagai teroris , bukan gerilya karena mereka memilih target tidak khusus dari militer. Mereka memilih sasaran berdasarkan alasan simbolis, yaitu mentargetkan individu individu yang kematiannya dapat membangkitkan respon politik emosional. Senjata yang mereka gunakan adalah bom, karena ” bom membedakan teroris dari kriminal biasa “. Tujuan mereka adalah untuk “ meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya transfomasi yang radikal“, karena pelaksanaan reformasi ekonomi dan politik yang ditawarkan pemerintah ( Tsar Alexander II ) pada masa itu dalam realitasnya lebih banyak menimbulkan kekecewaan bagi rakyat , yang mengakibatkan maraknya pembunuhan pembunuhan terhadap para pejabat pemerintah.

Kelompok Social Revolutionary Party melakukan serangkaian pembunuhan terhadap pejabat pemerintah di Rusia kurun waktu 1902 – 1911 , diantaranya pembunuhan terhadap Plehve ( Menteri Dalam Negeri yang dibunuh di jalanan St. Petersburg pada tahun 1904 ). Aksi teror pembunuhan pejabat pemerintah menjadi tren tersendiri pada gelombang terorisme pertama dan terjadi di beberapa negara di luar Rusia. Pembunuhan Perdana Menteri Antonio Canovas pada tahun 1897 di Spanyol. Antara tahun 1892 – 1894 Prancis diguncang teroris individual yang melegenda ; Ravachol , Auguste Vaillant dan Emile Henry. Pembunuhan terhadap Presiden Carnot pada tahun 1894 di Perancis membuktikan bahwa pembunuhan terhadap kepala negara memiliki tradisi yang panjang di negara tersebut, terhitung sejak Napoleon dan Napoleon III.

Gelombang terorisme pertama tak jarang dipandang sebagai era terorisme idiologis dan beraliran sayap kiri, sekalipun tidak semua gelombang teroris pada saat itu mengikuti pola idiologi tersebut. Sebagaimana tampak pada perlawanan bangsa Armenia terhadap operasi Turki pada tahun 1890 dan gerakan teroris lainnya di Balkan mencakup Young Bosnia dan Serbian Black Hand. Gelombang terorisme pertama kemudian surut menyusul pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand yang memicu pecahnya Perang Dunia I .

Gerilyawan IRA


Gelombang terorisme kedua ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok yang memperjuangkan National Self Determination ( hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa bangsa ) yang mulai marak pada dekade 1920–an.Kelompok kelompok ini umumnya memposisikan diri sebagai Liberation Movement ( gerakan pembebasan ) yang berjuang melawan kekuatan kolonial , dan bercita cita untuk mendirikan negara baru. Gerakan perjuangan yang dikategorikan dalam gelombang ini antara lain mencakup nama nama berikut : Irish Republican Army ( IRA ) di Irlandia , Fighters for the Freedom of Israel ( LEHI ) di Israel, Irgun Tzvai Leumi , Front for National Liberation di Aljazair , National Organization of Cypriot Fighters ( Ethniki ) di Mesir, Organosis Kyprion Agoniston ( EOKA ) di Mesir. Sebagian kelompok ini menolak disebut sebagai teroris dan menganggap diri mereka sebagai Freedom Fighters ( pejuang pembebasan / kemerdekaan ).

Kelompok terakhir yang secara terbuka mendiskripsikan kegiatannya sebagai aktivitas teroris adalah LEHI ( Kelompok Zionis revisioner ( pembaharu) pimpinan Shamir yang dikenal dengan sebutan “SternGang “. Kelompok-kelompok dalam gelombang terorisme kedua lebih banyak mendapat simpati daripada gelombang yang lain . Pada umumnya mereka mendapat cadangan yang cukup besar dari dukungan Publik di tanah air mereka. Sebagai contoh IRA ( sayap militer ) dan EOKA ( mendapat dukungan dari Uskup Agung Makarios ). Mereka cenderung melakukan aksi teror terhadap kelompok bersenjata / militer, bahkan terkadang mereka memberi peringatan terlebih dahulu sebelum melancarkan teror untuk menghindari jatuhnya korban dari pihak sipil. Pada gelombang ini mengarah ke terorisme nasionalis. Seiring dengan hengkangnya kekuatan kolonial dan hadirnya negara negara baru yang merdeka dan berdaulat seperti Irlandia ,Israel, Siprus, Yaman , dan Aljazair maka gelombang terorisme kedua mereda pada tahun 1960–an.

Gelombang terorisme ketiga merupakan babak baru dalam sejarah yang ditandai dengan munculnya Perang Vietnam. Amerika yang memiliki sistem persenjataan dan teknologi yang lebih modern , cangggih dan personil yang telah terlatih ternyata tidak mampu menghadapi aksi teror yang dilancarkan oleh Vietkong yang didukung oleh kekuatan sistem sosial ( dukungan segenap lapisan masyarakat ). Karakteristik kelompok kelompok teroris yang muncul masa ini adalah idiologis kiri – revolusioner , seperti American Weather Underground di Amerika , German Red Army Faction di Jerman , Italian Red Brigades di Italia , French Direct Action di Perancis , dan 17 November Group di Yunani. Mereka memposisikan diri sebagai Vanguards for the masses of the Third World ( pembela kepentingan dunia ketiga ).

Ide ide revolusioner bersinggungan dengan usaha usaha separatisme dalam pergerakan terorisme gelombang ketiga. Dalam perkembangannya, isu separatisme umumnya lebih menarik perhatian konstituen ( pemilih ) sehingga pada akhirnya kelompok-kelompok ini didominasi oleh tujuan separatisme etnis seperti Euskadi Ta Askatanusa ( ETA ) di Spanyol, Armenian Secret Army for the Liberation of Armenia di Turki , Irish Republican Army ( IRA ) di Irlandia, Gerakan Macan Elam Tamil di Sri Lanka dan Palestine Liberation Organization ( PLO ) di Palestina.


Walaupun pada mulanya kelompok-kelompok teror bekerja sendirian dalam batas wilayah Negara masing masing , tetapi pada tahun 1970–an mereka mengembangkan kerja sama yang meliputi pertukaran intelijen, latihan, perlengkapan operasional bahkan sampai pada operasi bersama ( dalam arti sasaran operasi ).

Terorisme Internasional menjadi feature ( keistimewaan ) penting gelombang ketiga. Dimensi internasional pertama terlihat pada bagaimana etos revolusioner bisa menjalin keterikatan antar bangsa. PLO memberikan pelatihan untuk beragam orang dari berbagai belahan dunia dan memilih target yang memiliki signifikansi ( penunjukan ) internasional.

Pembantaian massa pada olimpiade Munich pada tahun 1972 dan penculikan-penculikan menteri-menteri OPEC di Wina pada tahun 1975 menunjukkan dimensi internasional kembali terlihat bagaimana tindak terorisme dijalankan di negara asing oleh kelompok-kelompok yang terdiri dari berbagai bangsa. Tindak terorisme di luar negeri digunakan sebagai instrumen kebijakan luar negeri ( Libya, Irak, Syria ). Gelombang terorisme ketiga mereda pada dekade 1980–an. Invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1980 mengakibatkan terhentinya kegiatan pelatihan kelompok kelompok teroris, karena hancurnya fasilitas fasilitas pelatihan yang ada.

Terorisme agama ( Islam ) dianggap sebagai primary example ( contoh pendahuluan ) dalam terorisme gelombang keempat. Revolusi Islam di Iran ( 1979 ) dan kekalahan Soviet di Afghanistan ( 1989 ) menyadarkan bahwa agama merupakan motivasi yang lebih kuat dan lebih mungkin berhasil daripada etos revolusioner ( semangat melaksanakan perubahan dengan cepat ). Revolusi Iran menguatkan persaudaraan antara sesama penganut Syi’ah di seluruh dunia. Di Lebanon teroris Syi’ah menjalankan taktik bom bunuh diri dalam melawan invasi Israel pada tahun 1982.

Bagi kelompok Sunni diyakini bahwa pemimpin baru akan muncul setiap pergantian abad, dan tahun 1979 menandakan dimulainya abad baru sesuai penanggalan Islam ( Hijrah ). Inilah tradisi yang menciptakan uprising ( pemberontakan ) dalam lingkup Sunni dari waktu ke waktu. Pengikut Sunni banyak yang ikut Perang Afghanistan pada dekade 1980–an . Populasi muslim Sunni cukup besar antara lain di Mesir , Syria, Tunisia, Maroko, Indonesia, dan Pilipina. Dalam perkembangannya teroris Sunni tampak lebih ambisius daripada teroris Syi’ah, hal ini secara signifikan terwakili oleh kasus Osama Bin Laden dan jaringan Al-Qaeda. Revivalisme ( kebangkitan ) agama dalam dalam tindakan teror juga tampak pada agama lain diantaranya kelompok Sikh di Punjab / India, Terorisme kelompok Yahudi ( kasus Hebron tahun 1994 dan pembunuhan Yitzhak Rabin tahun 1995 ), serta peristiwa Oklahoma tahun 1995 yang mengakibatkan tewasnya hampir 200 orang.


DALAM NEGERI
“ Kita adalah milisi bukan tentara regular .Setiap orang yang ada di sini bebas untuk datang dan bebas untuk pergi , tapi ketika kalian ikut dengan saya kamu harus mengikuti perintah saya atau saya akan menembak kamu “ demikian cuplikan dialog yang diucapkan oleh Captain Benjamin Martin ( Mel Gibson ) dalam film The Patriot. Jatuhnya beberapa Negara koloni Amerika di bagian utara kepada Kerajaan Inggris ( 1776 ) memaksa pemimpin militer dari Continental Army , Colonel Harry Burwell untuk meminta kesediaan masyarakat sipil di wilayah South Carolina menjadi militer sukarela untuk berperang melawan penjajah. Awalnya Captain Martin tidak menginginkan adanya levy (keputusan untuk mengumpulkan masyarakat menjadi tentara), sekalipun dirinya adalah seorang anggota militer yang banyak terlibat pertempuran hebat di masa mudanya.

Namun setelah anaknya dibunuh oleh Colonel William Tavington ( Jasoon Isaacs ) pemimpin British Green Dragon , akhirnya dia kembali menjadi seorang pejuang setelah melalui pertempuran yang tidak dia kehendaki / terpaksa. Dia menjadi pemimpin kelompok kecil ( milisi ) dan melaksanakan serangkaian aksi teror terhadap musuhnya ( para musuhnya bahkan menyebutnya sebagai Hantu ). Mereka sadar kelompoknya terlampau kecil untuk melaksanakan pertempuran secara terbuka. Akan tetapi kelompok kecil ini bisa menjadi senjata yang ampuh dalam menjalankan kampanye teror yang terencana dan sistematis .

Ada kemungkinan seperti itulah awal dari perkembangan terorisme di Indonesia , karena para pejuang kita terdahulu, tidak banyak yang melaksanakan pertempuran secara terbuka dengan penjajah ( Portugis , Belanda , dan Jepang ) dan tentara / militer yang terorganisir juga belum ada pada masa itu. Dalam buku buku sejarah, lebih populer menyebut tindakan yang dilakukan para pejuang tersebut sebagai Gerilya .

Prasasti yang menandakan kerajaan yang tertua di Indonesia ditemukan di Kalimantan Timur yaitu kerajaan Kutai pada abad ke IV Masehi. Disusul dengan kerajaan Besar Sriwijaya di Palembang pada abad VII Masehi. Sampai dengan peradaban kerajaan Majapahit yang dimulai pada abad XIII Masehi belum ditemukan literature-literature yang memuat tentang aksi terorisme. Terjadi pembunuhan secara turun temurun dalam lintasan sejarah Kerajaan Singosari antara keturunan raja Tunggul Ametung dan Ken Arok , namun tidak bisa dikatakan sebagai aksi teror karena lebih merupakan dendam pribadi , tidak menimbulkan ketakutan yang lebih luas bagi masyarakat , dan tidak menjadi penekan terhadap kebijakan pemerintah saat itu, serta bukan menyangkut idiologi maupun religi . Ekspansi yang dilakukan oleh kerajaan kerajaan besar terhadap kerajaan kerajaan kecil dilakukan dengan penyerangan secara Sporadis ( menyeluruh ).

Sebelum VOC – Vereenidge Oost Indische Compagnie ( majelis perdagangan Belanda ) yang terbentuk pada tahun 1602 oleh Jan Pieterszoon Coen untuk memonopoli perdagangan di Indonesia ( Maluku ), Portugis telah terlebih dahulu mendarat di Ternate pada tahun 1512 yang pada awalnya melaksanakan perdagangan cengkeh. Dalam perkembangannya terjadi konflik dengan kesultanan Ternate akibat dari keinginan Portugis untuk campur tangan dalam pemerintahan . Perang turun temurun terjadi pada dekade 1531 - 1605 , Sampai pada akhirnya Portugis diusir dari Maluku oleh kesultanan Ternate yang bekerjasama dengan Belanda. Pada masa ini terdapat upaya menekan pemerintahan kesultanan Ternate yang dilakukan oleh Portugis dengan cara menculik / menangkap putra mahkota Boheyat karena sebelumnya terjadi pembunuhan terhadap pimpinan Portugis di Ternate , yang memicu kemarahan para Sultan yang tergabung dalam konfederasi Moluku Kie Raha ( persekutuan empat gunung / kerajaan ).

Seiring dengan meningkatnya perdagangan menjadi penguasaan hasil perdagangan Belanda kembali melaksanakan tindak kekerasan dengan menyerang daerah-daerah yang dinilai sebagai penghasil rempah-rempah dalam jumlah besar diantaranya ; penyerangan lontor di kepulauan Banda pada tahun 1621 , Penyerangan loji di Kambelo , Asahude , dan Lesside pada tahun 1651. Terdapat beberapa perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap VOC pada masa itu diantaranya penyerangan terhadap VOC di Hitu dipimpin oleh Kakiali pada tahun 1641, Perang Alaka di Haruku pada tahun 1625 – 1637 ,dan Perang Iha di Saparua pada tahun 1632 – 1651 .

Pada masa ini terdapat aksi teror (menimbulkan ketakutan) yang dilakukan Belanda terhadap rakyat Huamual karena tidak menjual hasil cengkeh mereka kepada VOC dengan melakukan Hongi Tochten ( penebangan pohon cengkeh ) pada tahun 1624. Belanda tidak ingin menyebut tindakan ini sebagai bentuk teror, melainkan sebuah hukuman kepada rakyat karena tidak mematuhi peraturan yang dibuat oleh VOC.

Pada tahun 1800–an semakin banyak pertempuran yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan dengan penjajah Belanda dan sudah menyebar di luar Pulau Maluku , yang masih bersifat kedaerahan , diantaranya Perang Waisisil tahun 1817 di Saparua , Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830 di Jawa Tengah , Perang Sunggal tahun 1872 – 1895 di Medan , Perang Aceh tahun 1873 – 1904 di NAD , Pemberontakan Cilegon tahun 1888 di Banten , Perang Puputan tahun 1894 di Bali, Perang Bonjol tahun 1824 – 1837 di Minangkabau dan lain lain.

Menjelang kemerdekaan yang dimulai tahun 1900–an perjuangan untuk melawan penjajah sudah menunjukkan pergerakan secara nasional , seiring dengan banyaknya putra putri Indonesia yang mendapat kesempatan disekolahkan oleh pemerintah Belanda ke luar negeri, dan berdirinya STOVIA ( School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen ), Technische Hoge School dan Recthts School di Pulau Jawa. Pada masa ini bermunculan cendikiawan bangsa Indonesia diantaranya Dr. Cipto Mangunkusumo , Suwardi Suryadiningrat dan Douwes Dekker- bangsa Belanda ( Tiga Serangkai ), Dr. sutomo ,Wahidin Sudirohusodo ,Ki Hajar Dewantara, R.A. Kartini , dan lain lain yang membuahkan hasil diikrarkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sampai kemerdekaan dapat direbut pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca kemerdekaan RI pada dekade 1945 - 1965 terlintas beberapa kelompok yang ingin memaksakan kehendak untuk mencapai tujuannya dengan cara cara yang di luar konstitusi ( undang-undang ).

Separatis RMS(Republik Maluku Selatan)

Sejarah mencatat beberapa kali muncul separatis di beberapa wilayah RI yang bertujuan untuk membentuk Negara Islam Indonesia maupun kelompok sayap kiri yang berkeinginan membentuk negara komunis. Terorisme sedikit mengemuka pada masa ini dan pemerintah RI mencap kelompok ini sebagai pemberontak yang harus ditumpas. Pada Pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Muso ( 18 September 1948 ), yaitu ingin membentuk negara Sovyet Republik Indonesia. Sebelum Muso dengan “bebas” memproklamirkan berdirinya PKI di Madiun, terdapat serangkaian pembunuhan dan kekacauan di luar wilayah Madiun yaitu di Solo dan Semarang. Namun pemberontakan ini tidak berlangsung lama, dapat diredam karena Muso ditembak mati dalam pelariannya di wilayah Ponorogo, Jawa Timur pada bulan Oktober 1948. Pemberontakan yang dilakukan beraliran kiri / komunis, tujuan separatis, dan ada dugaan state sponsored terrorism adalah negara Rusia walaupun tidak dikemukakan secara terbuka pada masa itu – Muso pernah tinggal di Moskow sejak tahun 1930 dan kembali ke Indonesia pada 3 Agustus 1948.

“ J.H. Manuhutu ( Presiden I RMS ) Pada tanggal 25 April 1950 memproklamirkan Republik Maluku Selatan ( RMS ) di kota Ambon dengan membacakan Surat dari Ratu Wilhemnia - Belanda. Berbagai upaya perundingan dilakukan oleh pemerintah RIS pada saat itu ( Misi Dr. J. Leimena – 14 juli 1950 ) namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya penyelesaian Pemberontakan RMS dilakukan dengan mengerahkan kekuatan bersenjata ( militer ) , dan Presiden I RMS , Perdana Menteri , dan beberapa tokoh RMS lainnya ditangkap lalu dipenjarakan di Nusa Kambangan. Sebelum ditangkap, pada tanggal 24 Juli Presiden I RMS J.H. Manuhutu mengeluarkan surat keputusan mengangkat dan menyerahkan Pemerintahan RMS kepada Dr. C. R. S. Soumokil ( Presiden RMS II ) dan Alexander Nanlohy ( Panglima Perang RMS ). Presiden RMS II kemudian membentuk kabinet RMS dalam masa peperangan untuk melakukan perjuangan baik dengan perlawanan bersenjata maupun diplomasi.

Pada tanggal 5 Desember 1950 pasukan RMS mengundurkan diri ke Pulau Seram karena kalah dalam pertempuran terbuka selanjutnya pasukan pasukan inilah yang masih terus bertahan dari waktu waktu melakukan perlawanan secara gerilya yang disasarkan kepada tentara dan aksi teror tidak terlalu mengemuka saat itu ( kemungkinan karena sumber daya manusia, perlengkapan yang tidak memadai dan informasi / komunikasi belum secanggih seperti saat ini ). Sehingga masa ini belum dikenal adanya terorisme nasionalis , namun embrio ( benih benih ) untuk mengarah kepada hal tersebut sangat mungkin berkembang karena selama 13 tahun kelompok Dr. Soumokil melaksanakan pemberontakan ( 3 Desember 1963 ditangkap dan diadili ) tentunya banyak memberikan pembelajaran kepada kelompok mereka bagaimana melakukan kegiatan perlawanan dalam bentuk lain yang dapat menjadi penekan terhadap kegiatan pemerintah .

Selain itu terjadi juga Pemberontakan Andi Aziz pada tahun 1950 oleh Kapten KNIL Andi Aziz di Makassar ( ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur dan menolak pasukan TNI ), Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA ) pada tahun 1950 oleh Raymond Piere Westerling yang ingin menjadikan Indonesia tetap sebagai jajahan Belanda degan menyerbu tentara APRIS di Bandung,( catatan ; Westerling pernah melakukan teror pembunuhan massal terhadap 40000 rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan pada 11Desember 1948 ) dan pemberontakan Permesta terjadi di Makassar pada tahun 1957 akibat ketidakpuasan terhadap APRIS , serta Pemberontakan PRRI pada tahun 1958 yang dilakukan oleh Maludin Simbolon dan Syarifudin Prawiranegara di Padang yang merasa pemerintah RI melakukan ketimpangan dalam melaksanakan pembangunan .

Setelah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo seorang imam yang sangat fanatik dan dogmatis berusaha mendirikan sebuah negara yang dijalankan dengan pemerintahan berdasarkan religi ( DI – TII Jawa Barat ) pada tahun 1949 , perjuangan yang memiliki tujuan yang “ menyerupai ” pemberontakan Kartosuwiryo seakan tidak pernah terputus. Pada tahun 1950–an ditengah tengah carut marutnya pemerintahan sehingga membuat Presiden untuk mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 bermunculan kembali kelompok-kelompok yang ingin membangun sebuah Negara yang dijalankan berdasarkan sebuah agama ( Negara Islam Indonesia – NII ).

Awal dari pemberontakan tersebut adalah karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah ( ketimpangan ekonomi, status daerah , organisasi APRIS ) yang dilancarkan oleh Ibnu Hajar ( DI – TII Kalimantan Selatan ) pada tahun 1950 di Kalimantan , Daud Ber’euh ( DI – TII Aceh ) pada tahun 1953 di Aceh , Kahar Muzakar ( DI – TII Sulawesi ) pada tahun 1953 di Sulawesi.

Namun pemberontakan tersebut tidak berlangsung lama karena kekuatan mereka belum begitu besar, dan organisasi yang tidak terlalu solid. Pemerintah menyelesaikan pemberontakan tersebut melalui pendekatan keamanan maupun jalur perundingan.

Kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh para pemberontak tidak terlalu berpengaruh terhadap kebijakan nasional, secara spesifik kegiatan perlawanan dalam bentuk teror tidak terlalu mengemuka, sehingga belum bisa dikatakan terorisme religi sudah ada pada masa ini, namun dapat menjadi cacatan dalam perkembangannya jaringan terorisme di Indonesia pada tahun 2000–an “ dikaitkan “ dengan para pengikut pengikut yang memiliki paham merupakan “warisan“ dari kelompok kelompok ini .

Pada dekade 1960 – an Belanda kembali mengambil peran untuk mencaplok wilayah Papua sehingga pemerintah Indonesia merubah cara perjuangan merebut Papua melalui Tri Komando Rakyat ( TRIKORA ) , yang membuat Pemerintah Belanda kalah dalam pertempuran maupun diplomasi ( persetujuan New York – kekuasaan Belanda secara formal berangsur angsur diberhentikan terhadap Papua sejak 1 Oktober 1962) . Namun Belanda tetap melakukan kegiatan penggalangan kepada penduduk lokal agar Papua memisahkan diri dari RI , dan membentuk Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) dengan memanfaatkan putra daerah Lodewijk Mandadan dan Ferri Awom sebagai Pemimpinnya sejak tahun 1964. Belum mengemuka kegiatan teror bersekala nasional pada masa ini, namun pemberontakan yang mereka lakukan tetap berlanjut sampai dengan sekarang.

( catatan ; untuk yang pertama kali muncul ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini diduga upaya pembunuhan Presiden pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 )


Sebuah catatan sejarah yang menggemparkan khalayak nasional maupun internasional terjadi pada tahun 1965 yaitu terdapat kelompok yang menamakan diri Partai Komunis Indonesia ( PKI ) melakukan kegiatan teror yang bertujuan untuk menggolkan cita cita mendirikan negara komunis di Indonesia dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa Perwira Tinggi ( Pahlawan Revolusi ), karena menganggap para petinggi militer tersebut merupakan penghalang bagi tercapainya tujuan mereka. Para tokoh PKI tersebut melakukan aksi teror secara terbuka dengan memanfaatkan pasukan TNI ( Cakrabirawa ) untuk menjalankan aksinya. Pada periode ini muncul terorisme Sayap Kiri ( ingin mengubah idiologi Pancasila dengan rejim komunis ) dan mengambil peran dalam sejarah terorisme di Indonesia. PKI cukup kuat pada saat itu karena mereka mendapat tempat di jajaran eksekutif , legislatif termasuk TNI diantaranya D.N. Aidit, A. Subandrio dan Letkol Untung. Gerakan 30 September PKI segera dibubarkan melalui Supersemar ( surat perintah sebelas maret ) yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.


Dalam perkembangannya kelompok teroris sayap kiri tidak populer di Indonesia , hal ini dimungkinkan karena terdesak oleh isu global yaitu demokratisasi , hak azasi manusia , dan lingkungan hidup serta kepemimpinan Presiden Soeharto yang “ ampuh “ dalam melakukan Pressure ( pengekangan ) terhadap orang orang yang terlibat G 30 S / PKI beserta keturunannya. Saat ini PKI sudah tidak ada lagi , namun ideologi komunis tetap dianggap sebagai bahaya latent ( bahaya tersembunyi ) yang sewaktu waktu dapat muncul .


Pada dekade 1970 – an muncul lagi pemberontakan baru yang membungkus isu religi , menggunakan historis DI – TII Aceh dan memanfaatkan karisma ( wibawa ) tokoh agama Tgk Daud Beureuh yang dilakukan oleh Tgk Hasan Tiro. Pada tanggal 4 Desember 1976 di Gunung Halimun , Pidie Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan bagi Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ). Para pengikutnya menyebut Hasan Tiro sebagai Wali Negara dan mengklaim dirinya sebagai keturunan ulama besar Di Tiro. Pertanyaannya apakah GAM pada saat ini termasuk dalam terorisme religi ?

Pada awalnya GAM membawa isu paham ashobiyah( paham kebangsaan ) dalam perjuangannya untuk membentuk Republik Islam Aceh (RIA ), namun dalam perkembangannnya banyak pembiasan yang tertuju kepada upaya pemisahan diri ( separatisme ). Hasan Tiro lebih memunculkan ashobiyah etnisitas ke - Acehan semata ( kekayaan alam melimpah, bangsa yang tidak pernah dijajah , memberi lebih kepada pemerintah RI namun rakyat aceh tetap menderita ) , yang bertujuan untuk mengusir orang orang non–Aceh yang dianggap memiliki paham ke – Indonesiaan.

Abu Jihad ( eks Kepala Staf Angkatan Perang GAM ) mengatakan Hasan Tiro ingin menyingkirkan keislaman bangsa Aceh dan menggantinya dengan paham Sekulerisme( bersifat keduniawian bukan keagamaan ) dengan mendirikan Aceh Sumatera Liberation Front ( ASNLF ) .

Gerakan Separatis GAM
Penyimpangan terhadap Syari’ah ( hukum agama ) dilakukan oleh GAM indikasinya yaitu , menetapkan bahwa hukum shalat tidak wajib dengan alasan kondisi dan situasi jihad ( perang ) .Lebih jauh ia berpendapat bahwa kewajiban shalat akan membuat bangsa Aceh menjadi pemalas yang selalu menggantungkan hidup dari doa saja. Selanjutnya ia juga melarang melaksanakan naik haji ke Mekkah dengan alasan bahwa ibadah haji bisa gugur bila dalam pelaksanaannya terdapat suatu syara ( halangan ) diantaranya ; keamanan tidak kondusif , terjadi hal hal bathil ( membatalkan ) dalam pelaksaan haji . Seperti pengelolaan haji dilakukan oleh orang orang kafir ( rejim pemerintah Jawa ). Hasan Tiro juga menghalalkan mencuri, merampok bahkan membunuh orang non Aceh dengan alasan untuk mendukung perjuangan GAM. Aksi teror yang dilakukan antara lain ;

a. Membakar sekolah dengan alasan rakyat Aceh yang sudah pernah bersekolah di sekolah milik pemerintah otaknya sudah dikotori dengan idiologi Pancasila / dan dianggap lebih ke - Indonesiaan.

b. Membakar kantor mass media dan menghambat penyebarannya jika terdapat pemberitaan mass media tersebut yang dianggap tidak memihak kepada GAM.

c. Membunuh para guru dan ulama ulama dayah ( pesantren ) karena dikuatirkan sebagai pengajar hal hal yang berbau Indonesia.

d. Melakukan pemerasan terhadap masyarakat agar menyetor uang kepada GAM dengan dalih sebagai Pajak Nanggroe ( pajak negara ).

Pada tahun 2001 Pemerintah RI memberlakukan Otonomi Khusus di Aceh yang menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan berlakunya Syari’at Islam ( UU NO. 18 tahun 2001 tentang Otsus NAD ). Jika tujuan akhir perjuangan Hasan Tiro menginginkan diberlakukan Syari’ah di Aceh seyogyanya pemberontakan bersenjata berhenti di Propinsi NAD. Namun yang terjadi justru kebalikannya, perlawanan melalui front bersenjata dan front politik justru semakin gencar. Terorisme yang lebih mengemuka adalah Terorisme Etnonasionalis yang bermuara kepada cita cita untuk membentuk sebuah negara sendiri ( separatis ).


(catatan;pada tanggal 15 Agustus 2005 telah ditandatangani kesepakatan damai antara pemerintah RI – GAM di Helsinki, Finlandia. Isi kesepakatan tersebut meliputi ; kepemerintahan Aceh , partisipasi politik , kompensasi ekonomi , bidang hukum dan HAM , amnesti reintegrasi , masalah keamanan , penyelesaian perselisihan ).

Peristiwa hijacked ( pembajakan ) pesawat pertama sekali terjadi pada tanggal 4 April 1971, yaitu pesawat Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines dibajak dalam penerbangan dari Surabaya menuju Jakarta, namun pesawat ini tidak dipaksa mendarat di luar negeri. Drama ini berakhir dengan tewasnya pembajak. Selanjutnya terjadi kembali pembajakan yang menarik perhatian dunia ketika Pesawat Garuda DC – 9 Woyla nomor penerbangan GA – 206 dibajak oleh kelompok Imran dalam penerbangan dari Palembang ke Medan dan kemudian dipaksa mendarat di Penang, Malaysia selanjutnya ke Bandara Don Muang Bangkok, Thailand pada tanggal 28 Maret 1981.


Pada era 1980–an juga terjadi teror bom dari kelompok yang memprotes pemerintah dalam menangani kasus Tanjung Priok - 1983. Diawali dari peledakan beberapa bank di Jakarta – 4 Oktober 1984 yaitu ; BCA di Jalan Pecenongan , BCA kompleks pertokoan Glodok dan BCA Jalan Gajah Mada selanjutnya candi peninggalan bersejarah yang dilindungi oleh seluruh dunia pun tidak luput dari sasaran teror bom.

Pada tanggal 20 Januari 1985 Candi Borobudur menjadi sasaran bom. Jika dikaitkan dengan tipologi terorisme menurut Eqbal Ahmad pada masa ini mengarah pada terorisme politik ( ditahannya beberapa tokoh Petisi – 50 ).

Di era tahun 1990–an masalah terorisme semakin tampak ke permukaan di Indonesia dan sampai dengan memasuki milenium ketiga terorisme menjadi sebuah trend ( gejala ) yang ampuh untuk menekan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Perkembangan global dan pengalaman melakukan perjuangan sejak tahun 1960 – an telah memberi pengalaman dan pelajaran bagi OPM untuk melakukan suatu perlawanan yang dapat memberi keuntungan secara politis ( eksistensi, menarik perhatian Internasional ) maupun bargaining ( kompensasi ) dari pemerintah RI. Pada Tahun 1996 OPM meyandera 26 orang warga sipil yang didalamnya terdapat 2 orang warga negara asing. Selanjutnya pada tahun 2001 OPM kembali melakukan penyanderaan terhadap 2 orang warga Negara Belgia ( Johan van Den dan Phillipe Simon ).


Keinginan OPM untuk menggugat keabsahan PEPERA ( penentuan pendapat rakyat ) yang bertujuan untuk memerdekakan Papua yang menjadi sasaran akhir , aksi teror ini hanya sebagai upaya menekan pemerintah dan mengambil keuntungan politis maupun bargaining yang nantinya akan diberikan. Semangat masyarakat Indonesia untuk tidak melakukan kompromi dengan teroris menjadi hal pokok keberhasilan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada tahun 1996 dilakukan oleh satuan Kopassus, Kostrad yang dibantu oleh warga Papua dan perjuangan diplomasi yang pantang menyerah membuat OPM melepaskan kedua sandera asal Belgia pada tanggal 16 Agustus 2001.



Aksi Teror juga dilakukan oleh kelompok separatis GAM baik di wilayah Aceh maupun di luar Aceh ( peledakan Graha Cijantung, BEJ ). Terorisme Etnonasionalis kembali hadir dalam sejarah terorisme Indonesia, karena masih terdapatnya masalah paham kebangsaan yang berujung pada pemisahan diri wilayah Papua dan Aceh.

Sejumlah kasus teror bom yang mengemuka sejak tahun 1984 (sumber ; tempointeraktif_com ) diantaranya ;

1. 4 Oktober 1984: Ledakan bom di BCA, Jalan Pecenongan, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Muhammad Jayadi, anggota Gerakan Pemuda Ka'bah (anak organisasi Partai Persatuan Pembangunan) lantaran protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Jayadi yang dikenal sebagai anggota Gerakan Pemuda Ka'bah kemudian dijatuhi hukuman penjara 15 tahun setelah mengaku menjadi pelaku peledakan. Saat bersamaan, juga terjadi ledakan di BCA dan Kompleks Pertokoan Glodok, Jakarta dengan pelaku Chairul Yunus alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin yang juga merupakan anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Mereka dijatuhi hukuman penjara dan dipecat dari keanggotaan Gerakan Pemuda Ka'bah. Selain itu, ledakan juga terjadi di BCA Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat dengan pelaku Edi Ramli, juga anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Siapa dalang pemboman, sebenarnya masih misterius, tapi Edi dijatuhi hukuman penjara. Rentetan kasus peledakan beberapa kantor BCA itu menyeret tokoh-tokoh Petisi 50, seperti H.M. Sanusi, A.M. Fatwa (keduanya dipenjara, saksi-saksi mengaku disiksa), dan H.R. Dharsono.

2. 24 Desember 1984: Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Jalan Margono, Malang, Jawa Timur. Tidak diketahui siapa pelakunya.

3. 20 Januari 1985: Candi Borobudur di Jawa Tengah tak luput dari sasaran ledakan bom. Pelakunya adalah seorang mubalig, Husein Ali Alhabsy yang juga dilatar-belakangi motif protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad, yang tidak tertangkap, sebagai dalangnya. Pada awalnya, Husein mendapat ganjaran penjara seumur hidup. Tapi kemudian mendapatkan grasi dari pemerintahan Habibie pada 23 Maret 1999.

4. 16 Maret 1985: Bus Pemudi Ekspress di Banyuwangi, Jawa Timur. Pelakunya adalah Abdulkadir Alhasby, anggota majelis taklim. Kasus ini juga dikaitkan dengan peledakan Candi Borobudur yang juga memprotes peristiwa Tanjungpriok 1983. Bahan peledak yang digunakan adalah TNT batangan PE 808/tipe Dahana.

5. 14 Mei 1986: Terjadi hampir bersamaan di Wisma Metropolitan di Jalan Sudirman, di Hotel President di Jalan Thamrin dan di Pekan Raya Jakarta. "Brigade Anti Imperialis Internasional“ di Jepang mengaku bertanggung jawab.

6. 18 Januari 1998: Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta. Walau bom meledak tidak disengaja, Agus Priyono, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) -salah satu jaringan Partai Rakyat
Demokrat-, dipenjara tujuh bulan lebih, karena dianggap mengetahui rencana pemboman tapi tidak melaporkannya ke pihak berwajib. Kasus ini sempat menyeret nama Sofjan dan Yusuf Wanandi serta Surya Paloh, yang semuanya membantah terlibat. Tapi, tidak ada dari tokoh itu yang diajukan ke pengadilan.

7. 11 Desember 1998: Atrium Plaza Senen, Jakarta. Pelaku tertangkap pada akhir 1999, sewaktu terjadi ledakan bom di Ramayana, Jalan Sabang. VM Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama disangka sebagai pelaku dengan motif usaha dagang. Bahan peledak berbau belerang.

8. 9 Februari 1999: Mal Kelapa Gading, Jakarta. Siapa pelaku dan apa motif bom yang berbahan peledak TNT itu, tidak diketahui.


9. 15 April 1999: Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rohadi, anggota kelompok yang disebut-sebut sebagai Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) pimpinan Eddy Ranto. Motif pemboman adalah kriminal (perampokan). Kelompok AMIN ini juga dituduh meledakkan Istiqlal. Anehnya, dalam kasus ini, motifnya diputuskan sebagai kriminal. Bahan peledak ramuan KCl03 (kalium klorat) dan TNT.

10. 19 April 1999: Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah Eddy Ranto alias Umar, 40 tahun yang juga diduga sebagai otak perampokan Bank BCA Taman Sari, Jakarta dan peledakan satu wartel di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, beberapa pekan sebelumnya. Sayangnya, kasus ini tetap menjadi misterius, lantaran belum tuntas. Bahan peledaknya sama dengan kasus Hayam Wuruk. Bahan peledaknya, TNT (trinitrotoluene) dan KCLO3 (kalium chlorat).

11. Sejak konflik Ambon pecah tanggal 19 Januari 1999, puluhan kali terjadi teor bom di wilayah Maluku sampai dengan tahun 2005.

12. 28 Mei 2000: Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Medan. Siapa pelaku dan apa motifnya tetap jadi misterius.

13. 29 Mei 2000: Gereja Katolik di Jalan Pemuda Medan. Siapa pelaku dan apa motifnya juga masih misterius.

14. 1 Juli 2000: Di Jalan Imam Bonjol, KPU Jakarta. Kasus peledakan bom ini juga masih belum tuntas

15. 4 Juli 2000: Di kamar kecil kantor Kejaksaan Agung, Jakarta. Siapa pelaku dan apa motif peledakan bom berkategori M-1 (Military One) buatan Pindad, itu masih misterius. Sampai sekarang, kasusnya belum terungkap jelas, padahal polisi sudah menyebar sketsa wajah yang diduga pelaku peledakan.

16. Agustus 2000: Kediaman Duta Besar Filipina untuk Indonesia, di Imam Bonjol, Jakarta. Ledakan bom itu menewaskan dua staf rumah tangga kediaman serta puluhan orang lainnya mengalami luka cukup serius. Bom yang dipakai adalah C-4 buatan Amerika Serikat. Pada 19 Oktober 2003, PN Jakarta Pusat menghukum Abdul Jabar bin Ahmad Kandai selama 20 tahun penjara. Abdul Jabar terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan Fatur Rahman Al- Ghozi dan Edi Setiono alias Usman, meledakkan bom di rumah Duta Besar Filipina itu. Dirinya juga dinyatakan terbukti bersalah turut serta melakukan aksi pemboman di sejumlah Gereja di Jakarta: Gereja Anglikan Menteng Jakarta Pusat dan Oikumene di Jalan Angkasa Halim Perdana Kusumah Jakarta Timur. Kedutaan besar Malaysia untuk Indonesia di Rasuna Said, Jakarta, juga mendapati ledakan bom. Tapi, tidak menimbulkan korban jiwa.

17. 27 Agustus 2000: Di Medan, satu di bengkel di depan rumah penduduk di Jalan Bahagia, dan satu lagi di pagar rumah pendeta J. Sitorus.

18. 13 September 2000: Bursa Efek Jakarta. Dengan bahan peledak TNT, ledakan bom Ledakan ini menelan korban 10 orang tewas, 15 orang luka, serta dua mobil hangus, 20 mobil rusak. Pelakunya adalah Teungku Ismuhadi yang kemudian dihukum penjara 20 tahun.

19. Desember 2000: Di berbagai tempat di Indonesia saat malam Natal: Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru, yang mengakibatkan belasan orang tewas, seratus lebih lainnya luka-luka dan puluhan mobil rusak. Tercatat hanya 16 dari 31 bom yang meledak. Bahan peledaknya, TNT yang ditambahkan supreme seal pot dengan wadah plastik ungu dan diisi 100 gotri.

20. Januari 2001: Bom rakitan di satu mobil di Pasar Minggu, Jakarta. Selain itu, Taman Mini Indonesia Indah juga sempat digegerkan ledakan bom yang dilakukan Elize M. Tuwahatu.

21. Maret 2001: Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta. Sementara itu, ledakan bom juga terjadi di jembatan kereta api Cisadane, Serpong, Tangerang.

22. 10 Mei 2001: Di bangunan Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, di Jalan Guntur, Jakarta Selatan. Tiga orang tewas, sebagian bangunan hancur.

23. Juli 2001: Gereja Santa Anna, Pondok Bambu, Jakarta. Ledakan mencederai puluhan orang. Hanya sehari berselang, ledakan bom kembali terjadi di Jalan Semarang, Menteng, Jakarta, dan melukai satu orang.

24. Agustus 2001: Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai enam orang. Kedua pelaku peledakan, Edi Setyono alias Abbas dan Taufik bin Abdul Halim dihukum hukuman mati oleh PN Jakarta Pusat.

25. 23 September 2001: Lantai parkir Atrium Plaza, Senen. Ledakan menghancurkan beberapa mobil, walau tidak ada korban jiwa.

26. 2001: Asrama haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan.

27. 2002: Restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) dan restoran McDonald’s di Sulawesi Selatan.

28. 1 Januari 2002: Di depan rumah makan ayam Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Seorang pelaku, Hasballah tewas seketika di tempat kejadian. Bahan peledak yang digunakan yang digunakan adalah granat manggis K75 buatan Korea.

29. 18 Januari 2002: Gardu PLN di depan bekas terminal Cililitan, Jakarta Timur. Sementara itu, di Palu, satu ledakan juga mengguncang tiga rumah ibadah. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Gereja Pantekosta di Indonesia dan Gereja Kristen Indonesia Sulawesi Selatan Jemaat Palu rusak akibat bom rakitan.

30. Maret 2002: Kantor Babinkum, Pulo Gebang, Jakarta.

31. 9 Juni 2002: Di lahan parkir Hotel Jayakarta dan Diskotik Eksotis, Kota, Jakarta Barat. Pelakunya, Dodi Prayoko berhasil ditangkap polisi.

32. 1 Juli 2002: Mal Graha Cijantung, Jakarta. Tujuh orang luka-luka dan tidak ada korban jiwa akibat ledakan itu. Polisi menangkap lima tersangka yang diyakini terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka yakni, Ramli. M. Nur, Mudawali, Muhamad Hasan Irsyadi dan Syahrul. Bom rakitan jenis low explosive itu terdiri dari campuran belerang, alumunium powder, potasium klorat, baterai, dan serpihan besi atau paku.

33. 12 Oktober 2002: Tiga ledakan bom mengguncang Bali. Ledakan pertama dan kedua mengguncang kawasan di Jalan Legian, Kuta. Sedangkan ledakan lainnya terjadi di dekat kantor konsulat AS, Denpasar. Di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan meledak di pintu gerbang masuk kantor Konjen Filipina. Tidak ada korban jiwa. Ledakan di Jalan Legian, mengakibatkan setidaknya 187 tewas dan 400-an lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan parah dalam radius 100 meter dari pusat ledakan. Polisi mengidentifikasikan bahwa ledakan berasal dari bom mobil yang diletakkan dalam Mitsubishi L300. Sebagai peracik bahan-bahan kimia bahan peledak, Sarjiyo alias Sawad, dihukum seumur hidup oleh majelis hakim PN Denpasar yang juga menghukum Saad alias Mat Ucang 20 tahun penjara lantaran menyembunyikan Mukhlas alias Ali Gufron saat dalam pelarian. Hernianto dihukum 12 tahun penjara. Selain itu, kelompok Kalimantan, seperti Mubarok dihukum seumur hidup, Sukastopo tiga tahun, Imam Susanto empat tahun delapan bulan, Mujarot lima tahun, Hamzah Baya enam tahun, Eko Hadi P empat tahun enam bulan, Puriyanto empat tahun enam bulan, Firmansyah empat tahun, Syamsul Arifin tiga tahun penjara, Sofyan Hadi enam tahun, Sirojul Munir lima tahun, Sukastopo tiga tahun, Muhammad Yunus enam tahun. Sementara itu, Ali Imron alias Ale -adik kandung Amrozi, dihukum seumur hidup. Imam Samudra dihukum hukuman mati lantaran secara bersama-sama dengan anggota kelompoknya melakukan aksi pemboman itu; secara bersama-sama menyiapkan dana untuk membiayai bom Bali. Ini berkaitan dengan perampokan toko emas 'Elita' di Serang, Banten, yang dananya digunakan untuk biaya bom Bali. Diantaranya, Rp. 20 juta yang diberikan kepada Amrozi untuk membeli bahan-bahan peledak, serta tambahan biaya membeli mobil Mitsubishi L-300; aktifitasnya sebagai tokoh penting dalam kasus bom Malam Natal di empat gereja di Batam 24 Desember 2000: Gereja Pante Kosta Pelita, Gereja GKPS Sei Panas, Gereja Betani May Mart, serta Gereja Beato Damian, di kawasan Bengkong Green; secara bersama-sama dan bersekutu atau masing-masing bertindak untuk dirinya sendiri dengan sengaja membakar atau menjadikan letusan yang dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang. Dalam peristiwa bom Batam, selain merusak gereja, juga menimbulkan korban manusia, 26 luka berat, serta 3 orang luka ringan. Di Manado, pada saat yang hampir bersamaan juga terjadi ledakan di depan kantor konsulat Filipina di Jalan Tikala. Pada peristiwa yang tidak menelan korban jiwa itu, polisi menangkap dua pelaku pemboman: Otje dan Idris.

34. 5 Desember 2002: Mal Ratu Indah Makassar pada malam Idul Fitri. Tiga orang tewas dalam peristiwa itu. Enam belas orang ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya, Agung Abdul Hamid, Mukhtar Daeng Lau, Usman, Masnur, Azhar Daeng Salam, Ilham, Hizbullah Rasyid, Dahlan, Lukman, Suryadi, Abdul Hamid, Iwal, Mirzal, Itang, Khaerul, dan Kahar Mustafa. Dua belas orang telah berhasil ditangkap polisi, empat orang lainnya yang masih buron adalah Agung Abdul Hamid, Dahlan, Mirzal dan Hizbullah Rasyid.

35. Januari 2003: Pangkalan bajaj di Jalan Jembatan Besi Raya Gang I, Tambora, Jakarta. Ledakan berasal dari bom Molotov yang dilemparkan ke pangkalan bajaj yang mengakibatkan sebuah bajaj terbakar. Bom itu terbuat dari botol bir isi bensin dan sumbu. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sementara itu, ledakan bom rakitan terjadi dan mengenai dua polisi di jembatan besi Jorong Silawai, Kecamatan Airbangis, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat.

36. 3 Februari 2003: Wisma Bhayangkari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Ledakan berasal dari sebuah bom rakitan yang dibuat dari pipa paralon sepanjang 11 cm dengan diameter 16 cm, ditutup dengan lempengan baja yang dilapisi dengan semen. Walau berkekuatan rendah, ledakan merusakan satu mobil dan menghancurkan bagian bagunan yang ada di Wisma Bhayangkari. Polisi menangkap tersangka pelaku pemboman, Ajun Komisaris Polisi Anang Sumpena. Tidak ada korban jiwa akibat ledakan itu.

37. 1 April 2003: Bom mengguncang Medan. Kali ini terjadi lagi di jalur pipa milik PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Diperkirakan bom meledak pukul 03.00 WIB. Tak ada korban jiwa.

38. 24 April 2003: Di jembatan Kali Cideng, belakang kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sasaran kemungkinan ditujukan ke kantor PBB. Bom rakitan itu terbuat dari besi yang panjangnya sekitar 33 sentimeter, dengan diameter sekitar 10 sentimeter, dan ketebalan pipanya sekitar 6,6 milimeter. Ledakan berkekuatan rendah. Tidak ada korban.

39. 27 April 2003: Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu, tujuh orang yang merupakan satu keluarga menjadi korban ledakan. Lima di antaranya dirawat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk PIK dan dua lainnya dirawat di RSU Tangerang. Ledakan berkekuatan rendah. Belum diketahui penyebab dan motif ledakan.

40. 30 Juni 2003 : Di Pasar Aceh, Kota Banda Aceh. Sementara itu, satu bom lainnya dapat dijinakkan di satu rumah sakit umum Kota Banda Aceh. Tiga pedagang menderita luka terkena serpihan bom.

41. 14 Juli 2003: Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta tidak ada korban jiwa.

42. 5 Agustus 2003: Hotel JW Marriott, Jakarta. Dengan bahan peledak, antar lain berupa CLO3, Almunium Powder, TNT, Detanator dan Detonating Cord (sumbu peledak), bom menewaskan 13 orang, melukai 74 orang dan menghancurkan 22 mobil. Menurut keterangan tersangka Amran Bin Mansur alias Andi Saputra, bahan peledak bom menggunakan sisa-sisa bom Malam Natal 2000 yang diselundupkan dari Fillipina Selatan sebelum 2000. Amran, pria kelahiran Pontian Johor Malaysia, merupakan anggota Jamaah Islamiyah yang berperan sebagai penyedia bahan peledak bom Malam Natal 2000. Amran mendistribusikan bahan peledak ke empat tempat pengeboman: gereja-gereja di Batam, Pekan Baru (Sumatera), Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Perintah tertinggi pengeboman Malam Natal itu ada di tangan Hambali alias Encep Nurjaman, pria Cianjur Jawa Barat yang ditangkap di Ayutthaha Thailand, 2003, oleh aparat intelijen Thailand. Hambali kemudian menunjuk penanggung-jawab eksekusi di empat tempat itu, dua di antaranya, Imam Samudera alias Kudama untuk Batam dan Idris alias Gembrot untuk Pekanbaru. Kepada para penanggung-jawab itulah, Amran menyerahkan bahan peledak. Selain bom, Amran juga menyerahkan enam senjata jenis revolver asal Malaysia: tiga untuk Batam dan tiga untuk Pekanbaru. Selepas itu, Amran kabur ke Malaysia, tapi kembali lagi ke Indonesia pada 2001. Lewat jalur ilegal, Amran dua kali keluar-masuk: Batam, Johor Malaysia, Nunukan Kalimantan Timur dan Manado, Sulawesi Utara. Selain Amran, ada penyedia dana bernama Jabfar -juga warga Malaysia- yang berhasil ditangkap tim anti teror Mabes Polri di Desa Grinsing, Batang, Jawa Tengah, 5 Februari 2004. Jabfar inilah yang menuntun aparat untuk menangkap Amran. Baik Amran maupun Jabfar sudah aktif dalam pengeboman di Indonesia sejak 1999. Tapi pada 2001, mereka sudah tidak aktif lagi. Jabfar adalah pengikut Pondok Pesantren Lukmanul Hakim milik Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar Baasyir di Malaysia yang sudah dibubarkan. Amran dan Jabfar juga bekerja-sama dalam pengeboman Malam Natal 2000. Tapi selepas tugas, mereka berpisah dan kabur. Terbukti terlibat dalam persiapan aksi pengeboman Hotel JW Marriott, Sardona Siliwangi bin Azwar, 23 tahun, dihukum sepuluh tahun penjara oleh majelis hakim PN Bengkulu. Sardona sendiri saat ini adalah mahasiwa semester satu Akademi Komputer swasta di Kota Bengkulu. Diperkirakan, sekitar 4 Januari hingga pelaksanaan pengeboman di Hotel JW Marriott 5 Agustus 2003, dirinya ikut bersama-sama menyimpan bahan peledak yang dibungkus enam kardus di kediamannya di Jalan Gedang Kilometer 6,5, Rt.1-Rw.01, nomor 43, Kecamatan Gading Cempaka, Bengkulu. Perbuatan terdakwa dilakukan bersama-sama dengan Asmar Latin Sani (pelaku bom bunuh diri), Noor Din Moh Top alias Isa, Dr. Azhari alias bahar, Moh. Rais alias Indra alias Iskandar alias Ryan Arifin, Toni Togar alias Indra Warman dan Mohammad Ihsan alias Idris alias Joni Hendrawan alias Gembrot alias Jo.

43. 7 Agustus 2003: Di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Akibat ledakkan, Bachtiar alias Manto, 20 tahun, yang diduga kuat sebagai perakit bom itu tewas. Selanjutnya masih terjadi puluhan kali teror bom sampai dengan tahun 2005.

44. 5 Desember 2003: Makassar, Sulawesi Selatan. Muhammad Tang alias Ittang (30) yang telah membantu pelarian otak bom Makassar, Agung Hamid, dihukum tujuh tahun penjara oleh PN Makassar, Sulawesi Selatan yang juga menghukum Suryadi Mas'ud (31) delapan tahun penjara. Selain itu, Khaerul alias Herul alias Mato (23) dihukum tujuh tahun penjara, Kaharuddin Mustafa lima tahun penjara lantaran ikut membantu dan memberikan kemudahan kepada tersanga Agung Hamid yang disebut-sebut sebagai otak peledakan. Imal Hamid, 35 tahun, dihukum enam tahun penjara lantaran menyembunyikan informasi pelaku tindak pidana terorisme, yaitu sudah tahu adanya bahan peledak berupa dua karung photasium dan satu karung TNT yang disimpan Agung Hamid (buron) di rumahnya, di Desa Garessi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru. Suriadi SPd, 32 tahun, dihukum tujuh tahun penjara.

45. Januari 2004: Di Medan, Sumatera Utara. Pelakunya adalah penjual mie Aceh dan anggota separatis Gerakan Aceh Merdeka: Sfd Bin Slm alias Fudin (30) dan AS alias Mamad (24), penduduk Samlantira dan Kecamatan Tanah, Aceh Utara. Sementara itu, bom juga meledak di Kafe Samfodo Indah di Kota Palopo, Sulawesi Selatan dan mengakibatkan empat tewas dan dua orang lagi mengalami luka-luka. Pelakunya, Arman, Idil, Ahmad Rizal, Jeddi, Benardi dan Jasmin. Enam orang lainnya yang masih buron adalah Aswandi alias Aco bin Kasim, Ishak, Nirwan, Kahar dan Agung Hamid. Disinyalir, Agung Hamid juga tokoh utama peledakan bom di Mal Ratu Indah Makassar, 5 Desember 2002.

46. 9 September 2004 : Di Jakarta, sebuah bom mobil meledak di depan Kedutaan Besar Australia di Kawasan Kuningan , pihak Indonesia mengidentifikasi 9 orang korban meninggal. Pelaku diduga ikut tewas an. Heri Kurniawan als Heri Golun. Satu orang pelaku an. Iwan Darmawan als Rois divonis hukuman mati oleh PN Jaksel pada tanggal 12-8-2005

Pada periode tahun 2000–an muncul pemain baru yang masih terkait dengan kelompok lama dan serangkaian aksi teror yang berskala nasional dilakukan oleh kelompok ini. Bahkan Amerika sempat memberikan tudingan Indonesia menjadi “sarang teroris” dan mengkait kaitkan jaringan terorisme di Indonesia dengan jaringan Al – Qaeda. Menurut berita berita yang ada serta investigasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian Jama’ah Islamiyah terlibat dalam serangkaian aksi teror yang terjadi. Aksi terorisme yang mengarah kepada Terorisme Religi lebih mengemuka pada masa ini.

Ali Ghufron als Muklas Amrozi dan Imam samudera Para tersangka yang terlibat dalam BOM Bali

Ansori als Abdul Fatah als Sogir,Apuy als Ipul,Iwan Darmawan als Rois beberapa tersangka yang terlibat kasus Bom Kuningan

Tohir ,Amran Bin Mansor,Joni Henderawan als Gembrot beberapa tersangka yang terlibat dalam Kasus Bom marriot


HAMBALI WN Indonesia yang ditangkap di Thailand, saat ini ditahan oleh pemerintah AS



Umar Faruk.WN Arab Saudi yang ditangkap di Bogor, saat ini ditahan oleh pemerintah AS.


TERORISME DALAM BENTUK BARU

“ Our nation was under attacked “ demikian sepenggal kalimat yang dibisikkan ketua staf George W. Bush ( Presiden Amerika Serikat ) sesaat setelah pesawat kedua yang ditabrakkan teroris ke gedung World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 yang ketika itu Bush sedang berada di salah satu sekolah dasar , Florida, membacakan sebuah cerita kepada anak anak. Tragedi itu disiarkan langsung ke seluruh penjuru dunia, beragam pendapat bermunculan, lebih hebat lagi beberapa jam setelah kejadian tersebut Federal Aviation Administration - FAA ( badan administrasi penerbangan US ) menghentikan seluruh penerbangan dari dan keluar Amerika, tapi ada sekelompok orang yang berasal dari keturunan keluarga Bin Laden dan Arab lainnya diusir keluar dari AS dan menjadi kelompok istimewa karena hanya mereka yang bisa melakukan penerbangan saat itu. Dalam film dokumenter Fahrenheit 9 / 11 yang disutradarai oleh Michael Moore dikisahkan 142 orang Arab Saudi yang 24 diantaranya dari keluarga Bin Laden diterbangkan keluar dari US pada tanggal 13 September 2001. Pemerintah Amerika dengan cepat menegaskan bahwa Osama Bin Laden sebagai tersangka utama yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Benarkah sebuah fenomena terorisme dalam bentuk baru telah hadir ? Selanjutnya masyarakat mulai mencari tahu siapa Bin Laden , popularitasnya semakin meningkat di penjuru bumi ; baju , poster, stiker , dan asesoris lain bergambar Osama Bin Laden merebak , bahkan ada orang tua yang memberi nama Osama pada anaknya di negara kita. Apa motif seorang Osama melakukan teror yang menelan 3972 korban jiwa dan melukai ribuan orang lainnya dari beragam bangsa dan agama ?

Berangkat dari paparan sebelumnya terorisme 11 September 2001 memunculkan beragam pendapat ditinjau dari tipologi yang ada. Dalam artikel Evolusi Terorisme yang ditulis oleh Avyanthi Azis, diungkapkan peristiwa 11 September 2001 sebagai primary example ( tindakan pendahuluan ) , tidak beridiologi kiri atau anarkis karena yang menjadi isu bukan ketimpangan sosial. Ia juga tidak beridiologi sayap kanan karena tidak bertujuan membangun negara fasis ( walaupun Bin Laden memiliki tujuan memurnikan ajaran Islam ). Ditinjau dari segi apakah ia merupakan state sponsored terrorism atau tidak , sepertinya Afghanistan di bawah kekuasaan kekuasaan Taliban lebih menyerupai sebuah “ terrorist – sponsored state “ daripada sebaliknya.

Penulis menambahkan bahwa Ia juga tidak bisa dikatakan sebagai terorisme etnonasionalis karena Bin Laden belum memiliki keinginan agar kelompok Arab di Amerika memisahkan diri untuk mendirikan sebuah negara, sekalipun investasi yang ditanamkan keluarga Bin Laden dan kelompok Arab lainnya memiliki peran yang besar dalam perekonomian Amerika. Meskipun banyak bangsa yang menilai ia seorang Jihadist ( pejuang muslim ) Bin Laden tidak bisa dikatakan sebagai Freedom Fighter / National Liberation Movement karena di Amerika tidak ada bangsa Arab yang dijajah, ( masalah masalah kebangsaan di Amerika Sudah tidak ada – separatisme ).

Muatan agama cukup kuat dalam terorisme ini, namun tidak juga dapat dikatakan sebagai terorisme religius karena Bin Laden sangat memahami pluralitas yang ada di Amerika, sehingga ia tidak ingin mengislamkan negara Amerika. Jika ingin mengarahkan kejadian ini ke terorisme politik ada baiknya kita mengkaji apa motivasi Osama Bin Laden melakukan terorisme tersebut dan tujuan nyata dari perjuangan yang dilakukannya. Sejauh yang diketahui Osama Bin Laden memiliki tujuan perjuangan sebagai berikut ;

• Menciptakan rejim fundamentalis dalam lingkup dunia Islam.

• Menghentikan pencemaran budaya Islam oleh Barat.

• Mengenyahkan Amerika Serikat dari Timur Tengah.

• Menghancurkan Israel.

Jika dilihat dari tujuannya, secara politis, Bin laden tidak ingin menggantikan posisi Prince Bandar Bin Sultan, Saudi Ambassador to US ( Duta besar Arab Saudi di AS ) maupun sebuah posisi istimewa lainnya di pemerintahan Amerika.

Sangat Beragam analisis muncul seperti yang diungkapkan Avyanthi Azis pada artikelnya, argumen Doran ; “ Bin Laden tak bertujuan untuk mengalahkan Amerika Serikat secara langsung, perang melawan Amerika Serikat lebih merupakan instrumen untuk menjadikan pandangan ekstremis sebagai paham yang populer dan mendorong terjadinya revolusi Islam pada masyarakat muslim di seluruh dunia “.


Faktanya tidak ada serangan susulan dalam rangka invasi ke AS pasca 9/11 karena Bin Laden meyakini kelompoknya tidak imbang melakukan perang secara terbuka, serangan ditujukan untuk menarik perhatian dunia sambil menyakiti Amerika tentang suatu hal yaitu “Labelling “ ( menanamkan kebencian bangsa bangsa dunia pada AS ). Di sini penulis memberi penekanan bahwa beberapa tipologi yang ada tetap mempengaruhi terorisme tersebut , karena agama tetap merupakan karakteristik utama “ senjata ampuh “ untuk membangun dukungan terhadap aksi yang dilakukan. Para eksekutor ( pelaku langsung ) adalah sekelompok orang memiliki fanatisme berlebihan, mungkin juga yang penuh rasa dendam ( motivasi agen ; idiologi, dendam, uang ).


Dampak dari semua ini telah menimbulkan aksi yang “ luar biasa “dari pemerintah Amerika dalam melakukan pembalasan yang pada akhirnya muncul lagi reaksi dari negara negara dunia, maupun dari warga negara AS sendiri yang menentang perang yang dikobarkan oleh pimpinan negara mereka.Maka disinilah kita bisa menemukan fenomena baru pada terorisme 11 September 2001.
Bersambung ke Bagian III









































Pasca tragedi tersebut secara eksplisit dunia melihat bagaimana Amerika menghancurkan rejim Taliban yang mengakibatkan korban sekitar 24.000 jiwa selanjutnya membombardir Irak untuk menggulingkan rejim Saddam Husein juga telah menelan korban setidaknya 37.000 jiwa. Presiden Bush mendapat dukungan mayoritas dari Kongres maupun rakyatnya atas kebijakan tersebut, meskipun tidak sedikit juga yang menentangnya. Faktanya Bush tetap bertahan memimpin Amerika, ditengah-tengah gencarnya gelombang protes di negara yang katanya “ sangat menjunjung demokrasi dan HAM“.

WTC yang Hancur akibat serangan teroro pada 9-11-2001


Di sisi lain umat Islam dirugikan dari aksi terorisme tersebut karena muncul tudingan bahwa umat dan negara negara Islam sebagai pelaku atau pendukung aksi aksi terorisme. Aksi yang dilancarkan bangsa bangsa di dunia juga beragam, dan paling mengemuka adalah reaksi dari umat Muslim dunia atas “aksi teror“ yang dilancarkan pemerintah Amerika dalam membalas aksi terorisme 11 September 2001. Pemerintah Amerika dianggap melakukan tindakan retaliasi ( pembalasan ) yang sangat tidak proporsional ( sebanding ) lebih ke destroyer ( pembumihangusan ). Mereka menghukum keseluruhan populasi dimana kelompok teroris diduga berada / menjadi bagian, yang akhirnya dunia melihat Amerika sebagai anti Islam, - melupakan bahwa Amerika juga berperan dalam membantu umat Muslim di Sarajevo dan Cechnya. Ketika Amerika mengidentikkan terorisme internasional dengan gerakan Islam Fundamental yang menentang dominasi barat, merupakan sebuah kesalahan yang fatal dimata umat Islam seluruh dunia.

Semakin meningkat pandangan dunia untuk melihat Amerika sebagai kelompok / negara radikal, imprelialis , dan muncul asumsi baru “ Bush is the Real Terrorist “, maka terpenuhilah sasaran Osama Bin Laden dari aksi terorisme 11 September 2001 yang dibuatnya. Itulah kenyataan yang terjadi , sekalipun ada tudingan tidak sedap bahwa umat Islam mendukung teroris, namun lebih besar dari itu meningkatnya persatuan umat muslim dunia untuk menentang negara adi daya – super power tersebut yang melakukan perang dan membuat kerusakan melebihi terorisme yang terjadi. Inikah yang disebut pilihan politik Osama Bin Laden, mungkin iya bisa juga tidak, namun bentuk baru terorisme ini juga tidak kalah “menyeramkan”.

Kembali lagi ke dalam negeri, tampak juga terorisme yang berbeda ditinjau dari sebuah sudut pandang, berdasar kepada motif dan tujuan terorisme yang diakui pelaku teror secara eksplisit ( terbuka ) di depan aparat kepolisian sebagai penyidik tunggal, penanggung jawab keamanan dalam negeri. Motif aksi teror yang dilakukan Dany ( pelaku Bom Atrium ) adalah terdorong konflik horizontal di Ambon dimana ia merasa umat Muslim Ambon didhalimi ( dianiaya ) meskipun korban terornya terdiri dari banyak komunitas.

Kapolda Maluku Brigjen Polisi Adityawarman ( Harian ambon Ekspress 20 Mei 2005 ) menegaskan pelaku serangkaian kegiatan teror bom , penembakan, penyerangan cafĂ© Vila dan pos Brimob ds Loki ,di wilayah Maluku periode Pebruari – Mei 2005 adalah kelompok Mujahidin, diantaranya Asep, Abdullah Umamyti, Ongen Pattimura, Zainudin, dkk. Mereka juga memberi pengakuan yang mirip bahwa tujuan teror yang dilakukan untuk membuat situasi kacau di Maluku. Tersirat bahwa pengungkapan kasus terorisme terasa “ terhambat “ karena terbatas pada pelaku lapangan saja. Para korban terorisme, masyarakat merasakan hal yang sama namun demikianlah realitas untuk diterima dengan lapang dada.

Selain itu, seiring dengan aksi teror yang terjadi, marak isu isu menyesatkan, memprovokasi yang bertujuan untuk mengadu domba serta lebih cepat menyebar dari biasanya, ini merupakan aksi lanjutan sebagai “ pendukung “ dalam memperlancar tujuan terorisme. Pergulatan terorisme di Poso juga tidak jauh berbeda sebagaimana kondisi wilayah konflik horizontal lainnya.

Penulis mencoba mencari jenis terorisme tersebut pada persfektif yang dikemukakan sebelumnya. Terlalu naif (berlebihan) jika dikatakan sebagai state sponsored terrorism meskipun diantaranya ada yang mengaku pernah mengikuti latihan militer di kemp Abubakar Moro, Philipina. Tidak juga terorisme etnonasionalis karena pelakunya beragam suku ( Ambon, Sunda, Padang, Jawa, Sulawesi ) dan mereka bukan separatis. Kelompoknya juga tidak beraliran kanan maupun kiri, dan bukan terorisme religi karena sesuai pengakuannya hanya ingin untuk membuat situasi kacau – tidak ada tuntutan untuk yang berkaitan dengan Syari’ah Islam. Apakah ada nuansa politis di dalamnya untuk dapat dikatakan sebagai terorisme politis ? Atau inikah yang dinamakan terorisme anarki ?

Seperti analisa sebelumnya , penulis mengajak khalayak untuk mencari “ dampak “ dari tindakan terorisme tersebut. Dampak yang ditimbulkan beragam , yang sudah pasti adalah ketakutan di sebagian masyarakat meski aktivitas warga berjalan normal. Tidak kalah serunya muncul polemik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan, ada pihak yang dipojokkan / dikambing hitamkan diantaranya separatis FKM / RMS , satuan non organik Kodam XVI/PTM, maupun aroma trauma konflik lama mulai menyebar. Terulangnya kerusuhan yang berakibat pada konflik antar etnik seperti pada tahun 2004 tidak terjadi pada tanggal 25 April 2005 - peringatan HUT 50 FKM / RMS.

Terdapat peningkatan terorisme periode Januari sampai dengan menjelang 25 April 2005 ( Penembakan; 6 kali, peledakan; 15 kali ) dibandingkan pasca 25 April 2005 hanya terdapat 2 kali aksi teror sampai dengan Agustus 2005 yaitu penyerangan pos Brimob ,ds Loki– 16 Mei 2005, dan peledakan bom pasar Mardika- 25 Agustus 2005 ( pelaku masih memiliki kaitan dengan para pelaku teror yang sudah ditangkap sebelumnya ) .

Dilihat dari tujuan terorisme yang dilakukan oleh kelompok Mujahidin tersebut sesungguhnya tidak tercapai / gagal. Situasi Maluku secara umum tetap kondusif, indikatornya aktivitas warga berjalan normal, pertikaian bernuansa SARA tidak terjadi, aktivitas pelayanan publik berjalan normal, demikian juga konflik antar institusi TNI /Polri tidak terwujud.

Yang mengemuka justru banyak pernyataan dari berbagai kalangan yang menyudutkan salah satu institusi dan maraknya polemik meskipun sebatas argumen di tengah tengah masyarakat. Kapolda Maluku menyampaikan bahwa “ Pelaku teror adalah orang orang terlatih di bidang kemiliteran “, ( Harian Ambon Ekspress 18 Pebruari 2005 )

Beberapa tokoh lintas agama dibawah pimpinan Walikota Ambon Albert Papilaya pada tanggal 12 Maret 2005 menghadap Wapres Jusuf Kalla dan meminta agar Wapres menarik satuan non organik karena terindikasi melakukan kegiatan yang “ meresahkan “ masyarakat. Hal itu terjadi dimungkinkan karena adanya “ pembiasan “ informasi yang disampaikan oleh masyarakat maupun aparat sendiri kepada pejabat yang ada maupun para tokoh agama / masyarakat lainnya , selanjutnya ada yang dikambinghitamkan.

Namun terdapat juga pejabat pemerintah yang mencoba menetralisir keresahan di masyarakat akibat isu-isu yang marak yaitu Gubenur Maluku Karel Albert Ralahalu memberi pernyataan “ Tidak Ada Pasukan Khusus “ ( Harian Siwalima 14 Maret 2005 ) – yang dimaksud pasukan liar / tidak terkendali karena berkembang isu munculnya ratusan prajurit pasukan khusus tanpa komando menjelang 25 April 2005.

Who is terorism and Whois Counter terorism

Faktanya, dampak yang paling menonjol akibat serangkaian aksi teror yang dilakukan adalah pengkambinghitaman. Menguatkan dugaan ini, setelah beberapa pelaku teror tertangkap, Kapolda Maluku mengatakan, bahwa dari hasil investigasi yang dilakukan, kelompok yang melakukan penyerangan Brimob di ds Loki, sempat meneriakkan slogan separatis FKM / RMS , namun keliru yaitu “ benang emas “ bukan “ benang raja ” ( Harian Ambon Ekspress 20 Mei 2005 ) .

Sasaran yang diharapkan oleh Osama Bin Laden dari teror 11 September juga pengkambinghitaman, akibat pembalasan berlebihan / penghancuran yang dilakukan Amerika maka Osama berhasil mengkambinghitamkan Bush / Amerika sebagai biang terorisme. Gelombang protes anti Bush marak di luar negeri maupun di negaranya sendiri, media banyak memuat artikel yang mengupas kebohongan Bush ; The High Priest of War ( Michael Collins Paper ), The Lies of George W Bush ( David Corn ), The Big Lie ( Thierry Meyssan ), 911 Synthetic terror Made In USA ( Webster G Tarpley ), Bahkan prajuritnya juga ada yang menentang kebijakan perang yang diambil.

Jika dibandingkan dampak terorisme September 11 dengan teror yang terjadi di wilayah Maluku, terdapat perbedaan yaitu; upaya pengkambinghitaman yang dilakukan tidak sukses dilakukan, sekalipun ada beberapa pihak yang sedikit terprovokasi. Disamping itu, para korban terorisme , separatis FKM / RMS , maupun satuan elit yang dituduhkan, tidak melakukan retaliasi / pembalasan atas semua yang terjadi, yang membuat gagalnya upaya pengkambinghitaman.

Kajian ini mungkin tidak terlalu “ tajam “ karena diambil dari satu sudut pandang ; pengakuan eksplisit para pelaku teror, atau mungkin juga karena tidak tuntasnya pengungkapan kasus teror tersebut sehingga fakta yang didapat tidak lengkap mengakibatkan analisa tidak begitu tajam. Mengutip pernyataan mantan Kepala BIN , AM Hendro Priyono – “ Temukan fakta baru buat analisa, analisa tanpa fakta lebih banyak bohongnya “.

Penulis kembali berkeinginan mengajak masyarakat untuk melihat hasil terorisme adalah korban yang tidak mengerti kenapa mereka yang disasarkan dan beragam komunitas. Segala bentuk terorisme (lama/baru ) dengan tujuan apapun tidak akan sejalan dengan nilai nilai kemanusiaan karena korban akan selalu berjatuhan.