Sabtu, 02 April 2011

FENOMENA TERORISME DI INDONESIA BAGIAN III

Toleransi, sebuah kata yang gampang diucapkan namun sulit untuk dilaksanakan. Toleransi juga sering disalahartikan sebagai suatu bentuk “ keharusan “, karena toleransi bukan berarti untuk mau saling menerima dituntut agar masing masing melepaskan agama yang mereka yakini. Toleransi sejati bukan sikap acuh tak acuh, atau menyamakan semua aliran yang berbeda, tanpa menghormati atau mencari kebenaran. Toleransi sejati didasarkan pada sikap hormat terhadap manusia, hati nurani serta keyakinan dan keikhlasan sesama terserah apapun agamanya.
Toleransi berasal dari kata latin ; tolerare ( menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, berhati lapang terhadap orang orang yang berlainan aliran ). Menurut Derrida toleransi merupakan salah satu konsep globalisasi. Diajukan sebagai sebuah anjuran moral dan politis dan netral, untuk kesanggrahan dan sikap bersahabat diantara orang orang , suku suku, tradisi tradisi dan kepercayaan kepercayaan keagamaan yang berbeda beda . Sementara Kant memahami toleransi sebagai emansipatoris ( pelepasan perbudakan ) pada jaman modern.

Ukuran beradab adalah terwujudnya solidaritas sosial yang universal, tanpa memandang agama dan etnik. Dapat terwujud jika umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan siapa yang paling benar , melainkan di sisi lain umat beragama harus berani meninggalkan egoisme menjadi “ toleransi “ dengan cara membangun nilai nilai moral – spiritual.

Budi Munawar (pengajar sejarah agama agama serta filsafat Islam) menyampaikan perlunya mengembangkan paham pluralisme dalam membangun hubungan antar agama - membentuk toleransi ; pertama , menuntut pemahaman benar mengenai keberadaan agama lain . Kedua , komitmen kepada iman sendiri . Perpaduan kedua hal ini menjadikan kita seorang beragama yang terbuka dan memang seperti adagium (keadilan ) beragama secara sosial, berarti antar – agama . maka ketiga adagium ini menjadi dasar untuk usaha toleransi.

Toleransi berbeda dengan pengampunan, karena toleransi adalah upaya untuk mencegah aksi dari perbedaan pemahaman. Pengampunan lebih ditujukan terhadap suatu tindakan yang sudah dilakukan. Pengampunan bagi Derrida ada dibagi dua ; pertama, pengampunan bersyarat – termasuk ke dalam tatanan hukum dan politik, negosiasi negosiasi pragmatis ( hal yang menyangkut tentang kepercayaan kebenaran suatu ajaran ) dan hutang hutang yang dapat diperhitungkan. Pengampunan bersyarat sesuai dengan hukum dan politik dapat dihitung bersesuaian dengan siapa atau apa yang diampuni. Dalam perkembangannya pengampunan bersyarat dapat menghasilkan– tereduksi menjadi “ rekonsiliasi“. Yang kedua , pengampunan tanpa syarat – yang merupakan tindakan mengampuni apa yang tidak dapat diampuni. Dalam prinsip ini merupakan sesuatu hal yang mokal ( tidak masuk akal ), tidak terbayangkan mengampuni apa yang tidak dapat diampuni. Namun Derrida meyakini tanpa pengalaman pengampunan tanpa syarat tak akan ada pengampunan sama sekali. Selanjutnya , apakah ada toleransi bersyarat dan tanpa syarat ?

Sesungguhnya toleransi telah menimbulkan syarat syarat tersendiri, dengan menjadi toleran kita mengakui orang lain di bawah syarat syarat yang kita tetapkan, bisa jadi di bawah hukum dan otoritas kita. Permasalahannya syarat syarat yang diajukan dalam batas toleransi cenderung tidak sesuai bagi kelompok yang diharuskan menerima persyaratan tersebut. Haruskah ada toleransi tanpa syarat ? Karena hal ini juga bisa mengakibatkan pertentangan, manakala kebebasan / toleransi yang dijalankan bersinggungan dengan “keyakinan “ yang dianut oleh sekelompok orang maupun norma norma yang berlaku di masyarakat.

Penulis mencari jalan tengah dengan memaknai toleransi adalah “ tidak menuntut agar kita semua menjadi sama yang lebih penting kita dapat saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan agama mereka “. Toleransi bukan asimilasi, melainkan hormat penuh, identitas masing masing yang tidak sama, oleh karena itu bagi orang yang benar-benar beriman ; kebebasan, kasih sayang kepada sesama, pengamalan iman yang rohani dan mendalam lebih penting daripada besarnya dan “ kekuatan “ organisasi keagamaan.

Dalam tatanan negara, pemerintah dan lembaganya memiliki otoritas besar dalam memaknai toleransi di tengah tengah masyarakat. Sehingga jika batas toleransi sudah bersinggungan pada keyakinan, pemerintah segera turun tangan untuk memberi “ pencerahan ” pada semua pihak yang terkait. Ini merupakan realitas yang harus dicari solusi terbaik untuk menghindari aksi aksi anarkis.

Sebuah tantangan kembali hadir bagi para pemimpin agama / umat, karena timbul tanda tanya kenapa saat ini umat berpaling untuk mengikuti ajaran ajaran baru dan bersinggungan dengan keyakinan sebelumnya ? Lembaga lembaga agama setidaknya dapat memberi “ pencerahan “ bagi para tokoh tokoh agama menyikapi fenomena ini , diharapkan penyelesaian terhadap perbedaan tersebut tetap menggunakan toleransi, sekalipun bersyarat – untuk menghindari kekerasan.
Era pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad 18( Wafatnya Imanuel Kant ; 1804 ) dianggap oleh para filsuf Barat sebagai puncak era pencerahan. Era pencerahan sendiri merupakan puncak gelombang perubahan besar – revolusi dalam bidang sains ( pengetahuan ) , renaisans ( seni dan filsafat ) , dan reformasi agama yang terjadi pada abad 15 dan 16. Era pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa ( intelektual dan filsuf ) berusaha mewujudkan sebuah sistim pengetahuan ,etika , dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan “ rasionalitas yang tercerahkan ” . Ilmu pengetahuan dan pendidikan diyakini sebagai cara terbaik mengatasi keyakinan keyakinan akan mitos , takhayul , dan kebodohan. Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan lebih baik .

Imanuel Kant mendefinisikan pencerahan adalah “ keluarnya manusia dari ketidak matangan yang diciptakannya sendiri “ . ketidak matangan bukan berarti karena kurangnya daya pikir , tetapi karena kurangnya determinasi ( ketetapan hati ) dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri.

Ibn Rusyd ( tokoh pencerahan umat muslim abad 12 ) adalah seorang pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam pengertian, yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di Eropa. Ia juga menjadi model bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga dalam institusi agama. Gagasan Ibn Rusyd yang memberi inspirasi bagi dunia akan pentingnya pemisahan wilayah agama dengan wilayah ilmu pengetahuan atau dalam dunia politik, yaitu ; “ Jika kebenaran bisa diperoleh lewat wahyu ( gereja ) , ia juga bisa diperoleh lewat agen agen pemikiran yang independen ( akademi ).

Dalam uraian tulisan ini terdapat cukup banyak nilai nilai filsafat ( ilmu pengetahuan ) , penegasannya adalah penulis bukan penganut paham “ ateis “ (tidak mengakui Tuhan ). Secara umum filsafat didasarkan pada kebenaran ilmiah yang berlandaskan akal , ilmu pengetahuan dan metoda ilmiah. Filsafat tidak mencakup bidang di luar pengalaman manusia, seperti neraka dan sorga. Sementara agama mempunyai kebenaran kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun melalui doktrin dan ajarannya. Terdapat pembatasan dalam hal tersebut yang oleh penulis sebutkan adalah “ Iman “ .

Tuhan pada semua agama bukan objek empiris ( kenyataan kenyataan ) , bukan Tuhan seperti yang dibayangkan oleh seorang penyair atau Tuhan yang ada dalam benak para filsuf / pemikir sebagai puncak persoalan persoalan metafisika ( ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal hal non fisik ). Tetapi ada banyak hal dalam filsafat yang berjalan paralel dengan nilai nilai moral keagamaan terutama filsafat moral , dan bisa jadi sebagai “pencerahan “. Pencerahan menuntut kecerdasan akal pikiran sendiri maupun kecerdasan keberanian serta kecerdasan emosional.

Berikutnya beberapa gambaran pencerahan yang semoga bermanfaat untuk mewujudkan suatu hubungan antar agama dan antar iman yang akan membawa agama agama bisa memberi rahmat kepada kehidupan bersama di Indonesia ;

Dialog Teologis , Mengembangkan teologi dalam konteks agama agama, untuk suatu tujuan pemahaman tentang rencana rencana Tuhan. Dapat dibahas tentang teologi Kristen mengenai Islam atau sebaliknya, dikembangkan melalui pendekatan “ pluralis ”. Sehingga umat beragama tidak terus menerus mengikat diri secara kaku dengan tradisinya, dan dapat mengembangkan kepemimpinan agamawan dalam membina kerukunan umat beragama.

Forum Kerjasama Lintas Agama , program program kerjasama sosial kemasyarakatan – diakonia , seperti ; penanggulangan kebodohan , kemiskinan , dan kesehatan sedapat mungkin ada yang dilakukan bersama sama lintas agama, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas umat dan mempererat hubungan dan toleransi antar umat beragama.

Hubungan Agama dan Ideologi – politik dalam Membangun Bangsa , perlu dirumuskan ke arah yang baru, agama harus memposisikan diri pada tujuan kemakmuran untuk rakyat yang dicapai melalui kekeritisan terhadap kebijakan untuk mensejahterakan dan mendamaikan. Hubungan baru ini ditransformasikan oleh para pemimpin agama agama maupun lembaga lembaga agama lainnya. Agama tidak digunakan untuk politik praktis, yang dimanfaatkan politikus dalam nation building ( membangun bangsa ). Hubungan tersebut dititikberatkan ke arah yang etis , teratur, dan logis serta saling mengisi / memaknai, untuk sebuah tujuan mulia kemaslahatan umat. Karena itu pemerintah harus mencermati gerakan politik yang seperti ini, bukan sebaliknya kembali meramaikan kooptasi idiologi , politik, dan agama.

Desakralisasi Pemahaman Agama , diperlukan kecerdasan emosional untuk memaknai konteks ini, karena pemahaman mengenai ketaatan beragama terkadang menciptakan sikap agresif pengikutnya dalam pencarian otensitas ( kebenaran ) dan cenderung mengakibatkan negasi ( penghilangan ) fakta kemajemukan agama / pluralisme. Perlu digagas sebuah format bagaimana pemahaman kesalehan keagamaan menjadi sebuah fungsi sosial kemanusiaan, tanpa mengesampingkan kebenaran menurut keyakinan masing masing. Hal ini harus dimulai oleh umat beragama untuk mengadakan “ revolusi tehadap diri sendiri “ ; dalam arti tidak terus menerus menafsirkan teks secara “ harfiah “, teks teks keagamaan harus ditafsirkan dalam pelbagai konteks untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga perspektif tentang agama yang mengandung nilai nilai moral spiritual semakin luas sehingga meyentuh nilai nilai kemanusiaan secara universal.

Memanusiawikan Kekerasan , kita harus keluar dari mistik kekerasan, karena kita mengakui ketidakmanusiawian yang dihasilkan oleh kekerasan. Kekerasan bersumber dari ketidak adilan, sehingga kita bersedia untuk memerangi ketidakadilan, membela kelompok yang dianiaya, menghadapi kelompok penindas. Untuk melakukannya kita harus memilih meggunakan cara cara yang menunjukkan lebih mulianya kehidupan daripada kematian, dan cinta kasih daripada kebencian. Bagi orang beriman, sudah jelas bahwa dunia kita tidak pernah sempurna, dan hanya dengan iman kita dapat melihat semua ancaman kekerasan dengan tenang.

Menumbuhkan Militansi Agama Tanpa Kekerasan, semua agama mengandung unsur militansi yang dapat memanipulasi identitas agama menggunakan kekerasan. Faktor yang mempengaruhi diantaranya , internal ( tekstualisasi absolute yang ada di agama ) dan eksternal ( manusia yang mengalami kekecewaan terhadap penyelenggara pemerintahan, carut marut perekonomian dan penegakan hukum ). Militansi agama yang dibangun adalah toleransi yang beradab dan tanpa kekerasan. Komitmen keagamaan yang memuat pesan pesan memerangi kejahatan sebagai kewajiban agama dapat menggunakan saluran politik yang sah, berorientasi pada kekuasaan negara, karena negara sebagai satu satunya institusi yang mendapat legitimasi – pengakuan untuk melakukan “ kekerasan ”melalui sistim politik dan law enforcement – penegakan hukum. Militansi agama tanpa kekerasan menghasilkan kedamaian dan persahabatan. Kekerasan dan teror tidak akan pernah melindungi identitas agama, justru menghancurkannya.

Tindakan moral mesti dilaksanakan tidak hanya menurut hukum melainkan karena tugas, karena tugas murni, karena saya harus melakukan begitu, karena saya terikat oleh kewajiban terhadapnya.

PLURALITAS ADALAH REALITAS


Pluralisme adalah rahmat dan kehendak Tuhan, sesuatu yang diberikan untuk perdamaian bukan untuk peperangan. Prolog ini disampaikan karena ada yang mendasari, yaitu awal dari lahirnya agama. Agama “ samawi “ ( langit ) yaitu ; Jahudi, Nasrani, Islam merupakan fakta dari pluralisme yang tidak bisa dipungkiri, selanjutnya agama tersebut mengajarkan perdamaian yang lahir dari perbedaan.

Pluralisme menurut Mahatma Ghandi ( Tokoh perdamaian dan pernah memimpin Bangsa India ) adalah “ ibarat seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many ) tetapi berasal dari satu akar ( the one ), akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama agama. Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila , pluralisme merupakan suatu ajaran atau sistim yang menerima beberapa atau banyak ( plural ) prinsip yang tidak tergantung satu sama lain .

Dalam masyarakat modern kemajemukan pandangan, cara hidup dan kebiasaan, antara lain ; berakar pada terbukanya pergaulan yang luas, perpindahan tempat tinggal, media massa yang beraliran berbeda beda, interaksi antara lingkungan lingkungan kebudayaan, dan pendidikan yang membuat orang semakin kritis. Jika terdapat pandangan pandangan yang berbeda dimungkinkan karena keterbatasan manusia terhadap pengetahuan dan pengertian terhadap realitas, oleh karenanya manusia dapat keliru dalam pemahaman, ini adalah hal yang manusiawi dan wajar. Sedangkan memaksakan suatu pandangan yang totaliter adalah “ tidak manusiawi “.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mendefinisikan Pluralisme Agama ( PA ) sebagai ; suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama relatif, oleh karena itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di surga.

Sementara Almarhum Nurcholish Majid ( Cak Nur – tokoh umat Muslim Indonesia , Rektor Universitas Paradima ) mengemukakan ; pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk , beraneka ragam , terdiri dari berbagai suku bangsa suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan Fragmentasi ( penyekatan / pencuplikan ) , bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sebagai “ kebaikan negatif “ , hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “ pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan ikatan keadaban “ . Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan manusia.

Seiring dengan hawa reformasi semakin menjamur organisasi organisasi non pemerintah ( Non Government Organizations - NGO ), baik yang bersifat keagamaan maupun non keagamaan. Merekat dalam sebuah kelompok karena memiliki persamaan etnis, agama, gender- jenis kelamin, ideologi dan politik maupun nilai nilai universal dan inklusif yang mengikat seperti keadilan, persamaan kebebasan individu, dan hak hak azasi manusia. Mereka membentuk wadah menampung para relawan untuk mengaktualisasikan diri mendukung tercapainya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi khalayak, serta memposisikan sebagai asosiasi sukarela dan mandiri dari pemerintah ( civil society ).

Terasa bahwa elemen civil society terkadang menjadi ancaman terhadap pluralisme pada masyarakat majemuk seperti di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pergeseran peran civil society dari kegiatan sosial menjadi kegiatan kegiatan sektarian yang penuh dengan persaingan dan mengukuhkan kemandirian dengan alasan kesukarelaan, sehingga rawan terhadap “ tirani “( kekuasaan yang sewenang wenang ) dari masyarakat sendiri. Mengapa bisa terjadi pergeseran peran problem solving ( solusi masalah ) menjadi problem makers ( pembuat masalah ) ?

Semuanya bertolak dari nafsu manusia sendiri yang tidak pernah merasa puas, cenderung pada keserakahan. Segelintir orang sering mengatas namakan mayoritas padahal mereka hanya mewakili kelompok tertentu berteriak vokal dan memaksakan kehendak untuk meraup sumber daya bagi kepentingan pribadi, maupun kepanjangan dari entrepreneur politik untuk sebuah nafsu posisi strategis lainnya. Sementara kaum mayoritas yang sesungguhnya massa mengambang, sering tidak tahu, tidak peduli, tidak mampu, terlibat untuk menyuarakan aspirasi, apalagi perdebatan publik dalam tatanan keberadaban dan jalur hukum, mereka hanya mampu mengikuti kemauan dan cara cara yang digariskan oleh pihak yang “ menggerakkan “ mereka. Ini menunjukkan tidak selamanya civil society selalu baik bagi demokrasi, karena masyarakat belum memahami bentuk partisipasi dalam konteks konsolidasi demokrasi, dan bisa mengancam pluralitas.

Intisari yang ada pada setiap agama adalah kebajikan dan kehidupan kekal, namun dalam konteks kehidupan masyarakat pluralisme dapat menjadi persoalan sosial , jika berlarut dapat mengancam integritas masyarakat / bangsa. Pemahaman tentang “ semua agama sama “ disalah tafsirkan menjadi “ semua agama harus menjadi satu / sama ” terdapat pada sekelompok orang. Lebih parah lagi jika ada “larangan terhadap pluralisme“, hal ini cukup riskan karena dapat memberikan interpretasi beragam serta bisa menimbulkan dampak negatif.

Belakangan ini terjadi pembakaran tempat tempat ibadah, pelarangan ibadah yang dilakukan oleh kelompok kelompok tertentu dengan menutup tempat tempat ibadah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya ;
• Pemahaman / kepentingan keagamaan yang sempit.
• Supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu.
• Komunikasi yang terdistorsi ( merujuk kepada akar timbulnya kekerasan ).

Dalam rangka membangun makna beragama interpretasi adalah hal yang lumrah / kebutuhan. Persoalan akan muncul jika interpretasi mengarah kepada “ claim of truth “ ( klaim kebenaran ) dengan menyalahkan kelompok lain dan berujung pada “claim of salvation “ ( klaim penyelamatan ) yang lebih banyak dikumandangkan daripada nilai nilai moral yang ada dalam agama karena adanya pertarungan kepentingan yang berbeda ( biasanya dalam rangka menarik umat ).

Di samping itu dalam kultur budaya di Indonesia acap kali terdapat suatu kelompok yang menganggap merekalah lebih berhak untuk melakukan “ justifikasi “ ( penghakiman ) daripada lembaga peradilan yang ada. Mereka cenderung mengeksklusifkan diri sebagai pemegang supremasi, mungkin karena pemahaman yang kurang tentang hukum yang berlaku. Biasanya ini muncul pada wilayah yang terdapat perbedaan jumlah komunitas yang signifikan ( mayoritas – minoritas ). Kelompok mayoritas yang memiliki budaya supremasi akan merasa berhak untuk menentukan sesuatu hal yang diberlakukan menyeluruh, menunjukkan kuasa bahwa orang lain harus “ tunduk “ kepada mereka. Sebagai contoh ; pada tahun 1990 – an terjadi perusakan gereja gereja di daerah mayoritas Islam, kemudian pada tahun 1999 terjadi lagi perusakan mesjid mesjid di Kupang yang daerahnya mayoritas Kristen. Berbeda dengan konflik komunal, yang cenderung terjadi jika ada dua kekuatan komunitas, yang hampir berimbang di suatu wilayah.

Persoalan sosial pluralisme yang melahirkan tindak kekerasan tidak muncul seketika, sebab ada rangkaian komunikasi yang mengawalinya. Jika saat rangkaian komunikasi ini tidak ada yang menengahi, mengakomodir, memberi pencerahan aspek hukum, yang menuntut peran aktif aparat pemerintah / keamanan serta semua elemen masyarakat yang ada, maka komunikasi akan terputus dan melahirkan aksi dari pihak yang merasa memiliki “ otoritas semu “ tadi.

Uraian di atas menegaskan bahwa “ realitas “ bukan solusi utama dalam penyelesaian implikasi ( dampak ) negatif dari pluralisme, sebaliknya sebagian publik menganggapnya sebagai upaya untuk menciptakan “ hegemonitas “ ( pengaruh kekuasaan ) tiap sisi kehidupan masyarakat. Inilah kenyataannya dan untuk mencegah implikasi negatif pluralisme dapat dilakukan beberapa cara seperti yang sudah disinggung pada pembahasan “ pencerahan “ sebelumnya.

Alexander Zulkarnain ( pemerhati masalah sosial keagamaan) menawarkan sebuah konsep “ Segi Tiga Sama Sisi Teologi – Info Baru 12-8-2005. Dalam artikelnya disampaikan segi tiga sama sisi Jahudi – Nasrani – Islam atau Musa – Yesus – Muhammad atau Taurat – Injil – Al Quran. Ajaran ini semua terfokus dalam titik pusat agama samawi, bapak teologis , Abraham / Ibrahim, sebab tiga agamawi ditakdirkan untuk hidup dalam satu masa di bumi, berbeda pendapat tetapi semua berasal dari Adam, Abraham / Ibrahim menuju ke Musa, Yesus, dan Muhammad, demikian pendapatnya. Selain itu setidaknya kita harus bersikap arif dalam menerima pluralisme, sekaligus mengembangkan pluralisme sebagai kekuatan sinergis di tengah tengah masyarakat di masa akan datang.

Dalam hal ini agama memiliki peranan yang utama, harus ditegaskan sikap agama yang tidak menolak terhadap pluralisme, bahkan agama memberi sikap yang berkenaan dengan norma hidup yang berlaku di masyarakat ( keanekaragaman ). Dan ini dapat terwujud jika umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan “ perbedaan ajaran “ karena masih banyak “ persamaan “ yang bersifat membangun komitmen kemanusiaan.

Diperlukan pendekatan dialog antar agama melalui pendekatan persuasif dan dialogis bukan bertujuan untuk menyamakan keyakinan semua agama melainkan pengakuan tiap tiap orang beragama mempunyai keyakinan yang teguh dan mutlak terhadap ajaran agamanya. Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat ditolak , pluralitas adalah bagian dari hukum alam yang harus dilaksanakan – ikhlas atau tidak, juga merupakan sebuah rahmat yang harus diterima karena merupakan kehendak Tuhan.Satu hal yang menjadi“ kecemasan “ adalah manakala pluralisme tidak mendapat tempat di negara ini akan memugkinkan untuk terjadinya “ disintegrasi “.



PENANGGULANGAN TERORISME


Terorisme dapat terjadi dimana saja, sasarannya bisa siapa saja tanpa mengenal berasal dari komunitas mana. Di wilayah wilayah konflik ( horizonal, vertikal ) terorisme acapkali terjadi, tetapi di daerah aman konflik, aksi teror juga muncul dan menelan korban yang tidak sedikit. Terorisme juga beroperasi di negara negara yang berada dalam kondisi lemah – state Authority, karena kejahatan transnasional ( lintas negara ) menikmati lingkungan dengan penegakan hukum yang rendah, korupsi, dan juga memungkinkan cara cara kekerasan – Indonesia termasuk negara state authority. Namun pada negara negara kuat – adidaya, terorisme bisa terjadi apabila negara tersebut dinilai tidak adil dan melakukan atau mendukung penindasan terhadap bangsa lain, seperti Amerika, Inggris, dan Israel.

Kesimpulan kecil adalah ; sesungguhnya tidak ada tempat yang aman dari tindak terorisme, sehingga diperlukan suatu “penanggulangan terorisme “. Dalam kesempatan ini penulis lebih tertarik menggunakan kata menanggulangi, sebab mengandung makna upaya yang dilakukan sebelum, saat terjadi, maupun sesudahnya.

Secara displin ilmu ,“ gerilya “ dihadapi dengan “ lawan gerilya “, namun terorisme tidak bisa dihadapi dengan lawan / anti terorisme yang identik dengan konsep yang terdapat dalam gerilya lawan gerilya. Di dalam negeri terdapat pasukan yang memiliki spesialisasi spesifik / kekhususan dibandingkan pasukan pada umumnya yang dikembangkan di tiap tiap matra ( AD , AL , AU , dan Polri ).

Pasukan khusus ini rata-rata memiliki standar kemampuan kemampuan hampir sama yaitu ; pasukan udara ( para ) , komando, terjun bebas tempur ( combat free fall ), selam tempur ( scuba diver ), perang kota, pertempuran jarak dekat ( close quarter combat ), perang hutan, intelijen, klandesten, pembebasan sandera, dan anti teror.Karena tuntutan tugas yang tinggi, perekrutan dilakukan secara selektif, dan latihan dilakukan secara khusus serta intensitas yang tinggi, untuk selalu siap setiap saat melaksanakan tugas tugas khusus.

Kelebihan dibanding pasukan lainnya adalah mobilitas tinggi, persenjataan khusus, dan organisasi spesifik yang ramping. Satuan -81 penanggulangan teror ( Sat – 81 Gultor ) ada di matra AD, Detasemen Jala mangkara ( Denjaka ) terdapat di AL, Detasemen Bravo 90 ( Den Bravo 90 ) ada di AU, dan di kepolisian pada kepemimpinan Kapolri Da’i Bachtiar telah dibentuk Detasemen khusus -88 Anti Teror ( Densus -88 Anti Teror ).

Melihat perkembangan saat ini , kita melihat aksi terorisme terus berlangsung di negara kita, peran satuan anti teror “ belum bisa terasa “ karena tugas mereka lebih difokuskan untuk mengatasi suatu aksi teror ( pembajakan , penyanderaan, sabotase, dan lain lain ), sehingga lebih diperlukan suatu upaya pencegahan mengantisipasitindakan terorisme dengan melakukan pendeteksian dini dan pencegahan dini melalui “ perspektif intelijen” maupun penyelesaian terhadap “ akar permasalahan “. Sebab teror tidak bisa hanya diatasi melalui lawan / anti teror.

PERSPEKTIF INTELIJEN
James Douglas Clayton yang diperankan oleh Colin Farrel adalah seorang ahli komputer pencipta program teknologi tanpa kabel - Spartacus , menyampaikan asumsinya tentang Badan Intelijen Amerika ( CIA ) ketika dirinya mau direkrut oleh Walter Burke ( Al Pacino ) - seorang ahli perekrutan CIA. Berikut dialog mereka dalam filem “ Recruit “ yang diproduksi oleh Touchstone Picture and Spyglass Entertainment ;
James Clayton ; “ Yang kutahu tentang CIA adalah mereka cuma sekelompok pria kulit putih gemuk yang tertidur saat kita memerlukan mereka “.
Walter Burke ; “ Apa yang sama sekali kamu tahu, bahwa kamu tidak tahu, apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang tampak seperti kenyataannya ”.

Dari dialog tersebut penulis ingin memberi gambaran tentang aparat intelijen dan tugas tugasnya. Cukup sering masyarakat memberi penilaian negatif terhadap kinerja aparat intelijen ; intelijen tidur , intelijen kecolongan , intelijen impoten / lemah , bahkan intelijen dianggap “ biang “ jika terjadi tindak terorisme. Sebagai petugas intelijen hal tersebut adalah lumrah adanya, karena jika menghayati ” moto intelijen ” ( Berhasil tidak dipuji , Gagal dicaci maki – bahkan bisa diinterogasi , Hilang tidak dicari , Mati tidak diakui ) , sesungguhnya dalam pelaksanaan tugas tidak akan pernah ada pujian. Kiranya moto tersebut tidak membuat pesimis malah sebaliknya semakin memacu untuk memilih kebenaran, karena kejahatan / musuh ada di mana mana.

Seperti pada diktat diktat pelajaran intelijen maupun buku buku intelijen lainnya, pada umumnya pengertian intelijen ada tiga perspektif yaitu ; Intelijen sebagai organisasi , Intelijen sebagai kegiatan , Intelijen sebagai pengetahuan / produk intel , berikut ini sekilas penggambaran tentang intelijen yang sebagian besar diambil dari buku Intelijen Teori, Aplikasi, dan Modernisasi yang ditulis oleh Y. Wahyu Saronto dkk.

Sejak manusia melangkahkan kakinya di muka bumi, manusia telah melakukan usaha usaha untuk menjaga keamanan diri dan kehidupannya. Usaha usaha itu dapat dikatakan telah mempelajari teknik intelijen. Pengambilan keputusan oleh seseorang mengenai gerakan langkah dan kegiatannya telah didahului oleh pertimbangan yang baik dan buruk , menguntungkan atau merugikan , dan pemilihan alternatif yang paling baik dengan resiko sekecil kecilnya.

Dalam pertimbangan pemilihan alternatif yang paling baik itulah terlebih dahulu perlu ada informasi tentang lingkungan sekitar atau informasi tentang tujuan yang ingin dicapai dan kemauan sendiri. Selanjutnya segala macam informasi itu dinilai tentang kuantitas maupun kualitasnya, dikaitkan dengan kepentingan / tujuan yang ingin dicapai. Bisa saja informasi yang didapat kurang sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya , bahkan mungkin juga informasi itu menjerumuskan / jebakan.

Oleh karena itu informasi yang ada perlu dipilah pilah , dikelompokkan dan selanjutnya dinilai untuk dijadikan alternatif pengambilan keputusan dengan tindakan yang dilakukan. Dalam lingkup yang lebih besar, misalnya perusahaan organisasi maupun negara pasti memiliki tujuan tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan perencanaan yang baik agar usaha mencapai tujuan tersebut dapat terlaksana dengan cepat dan tepat. Perencanaan meliputi siapa yang melakukan , bagaimana cara melakukan , apa alat atau sarana yang digunakan, berapa biaya yang dibutuhkan dan target apa yang diinginkan, yang pada akhirnya melahirkan keputusan. Dalam menyusun perencanaan diperlukan informasi yang cukup untuk diolah , dinilai, ditetapkan sebagai alternatif dan kemudian memilih alternatif yang terbaik guna disusun menjadi rencana yang akan dilaksanakan.

Melihat hal tersebut dapat disimpulkan , intelijen sebetulnya “ telah dilakukan orang dalam kegiatannya sehari hari “ dan sudah dilakukan sejak manusia ada di bumi. Hanya saja , manusia umumnya tidak menyadari bahwa kegiatan yang seperti diuraikan di atas didasari pada kegiatan intelijen. Kemudian tidak banyak pula orang yang mau melakukan evaluasi mengenai keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatannya sehari hari , sehingga banyak orang berulang ulang melakukan kesalahan yang membuat kegagalan dalam hidupnya. Proses intelijen diperlukan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan , baik dalam aktivitas seseorang secara individu maupun kelompok.

Istilah intelijen berasal dari kata intelegensia yang artinya kecerdasan, bahwa pekerjaan intelijen membutukan kecerdasan pada banyak aspek ( emosional, pengetahuan, spiritual ). Selain itu intelijen diartikan juga sebagai informasi oleh sebagian orang. Kata intelijen terkadang dijumpai bergandengan dengan kata lainnya seperti ; taktik intelijen, intelijen ekonomi , strategi intelijen, intelijen ilmiah, intelijen taktis, intelijen strategis dan lain lain. Ini yang membuat definisi intelijen beragam pada perspektif intelijen, sehingga penggunaan kata intelijen terkadang berubah bisa berarti operasi intelijen, bisa berarti hasil dari operasi kemudian diproses – pemilahan, penilaian, pengidentifikasian dan penganalisaan sehingga menghasilkan informasi / produk intelijen, dan juga dapat diartikan organisasi yang melaksanakan operasi.

Terdapat beberapa definisi tentang intelijen. Ada yang mengartikan intelijen sebagai pengetahuan informasi yang harus dipenuhi oleh pejabat pemerintahan ( sipil , militer ) yang bertugas menjadikan keamanan nasional. Ada pula yang mengartikan ; intelijen adalah proses mendapatkan segala hal yang harus diketahui sebelum melakukan pekerjaan, dan itulah yang sebelumnya harus diketahui dalam rangka menyelesaikan semua masalah, untuk keperluan mengatur rencana pekerjaan. Definisi ini berasal dari Komite Penelitian Kegiatan Intelijen ( Komite Pengaturan administrasi Aparat Pemerintah ) yang dipimpin Herbert Haufer yang kemudian dikenal dengan nama Komite Haufer, komite ini didirikan Pemerintah AS pada tahun 1955.

Arhur Redford, seorang pejabat Pentagon ( Departemen Pertahanan AS ) menambahkan ; penyampaian keputusan atau bentuk pekerjaan harus dilakukan oleh seorang yang bertanggung jawab. Ketika informasi itu tidak sempurna, hal itu tidak akan jelas. Sementara intelijen yang baik meminimalisasi sulitnya menyampaikan keputusan atau membuat keputusan.

Kamus militer AS mendefinisikan intelijen sebagai kumpulan; penilaian, analisis, penjelasan, dan penafsiran dari semua yang mungkin didapat dari informasi tentang berbagai macam hal dari negara asing atau kawasan operasi , dan merupakan keharusan dalam sebuah perencanaan.

Ladias Farago seorang wartawan asal Magar berpendapat ; intelijen berarti kemampuan memahami dan menilai informasi yang didapat oleh manusia dengan cara cara wartawan. Definisi lainnya pada Kamus Besar Bahasa 1991 ; Intelijen adalah orang yang bertugas mencari keterangan ( mengamat amati ) seseorang ;dinas rahasia.

Washington Platt mendefinisikan intelijen sebagai suatu penjelasan mempunyai makna ,yang diambil dari informasi yang telah dipilih , dinilai dan ditafsirkan , yang pada akhirnya penjelasan tersebut dijadikan betul betul penting , khususnya dalam hal politik kenegaraan.

Sementara itu Ensiklopedia Britanica mengemukakan intelijen adalah mengumpulkan informasi tentang musuh , bahkan sampai koalisinya, atau tentang negara yang netral dan juga pengamanan rahasia yang khusus pada negara sendiri.

Kebalikan intelijen adalah suatu pengamanan rahasia yang khusus pada suatu negara itu sendiri . Meskipun intelijen selalu memperhatikan perang dan pembelaan saja, tetapi juga menghimpun informasi diplomasi, ekonomi, industri dan pengamanan informasi tersebut.

Dari sisi pengertian , intelijen terbagi menjadi dua tingkatan; pertama , makna umum ialah mencakup kemampuan mempelajari dan memanfaatkan eksprimen , dan bereaksi secara tepat terhadap situasi. Kedua , makna khusus ( secara profesi ) ialah tugas dan kewajiban kewajibannya telah terbatasi secara jelas, karena intelijen merupakan suatu bentuk operasi dan aktivitas. Intelijen adalah aktivitas yang berkesinambungan guna mengeliminir semua hambatan sehingga dapat menggambarkan langkah langkah yang dimungkinkan untuk yang akan datang ( intelijen ramalan ) berdasarkan fakta fakta yang sebelumnya /ada ( intelijen dasar, aktual ).

Tugas intelijen meliputi upaya untuk menggagalkan hingga meniadakan ancaman terhadap kedaulatan negara , keselamatan bangsa, dan integrasi wilayah negara , melalui pengamatan secara terus menerus dan bersifat sistematik ( teratur ) terhadap potensi potensi yang bisa menimbulkan ancaman dalam bentuk dini. Intelijen dalam suatu negara dimaknai dalam tiga penampilan yaitu ;

• Intelijen sebagai organisasi – organization ; sifat keberadaan intelijen merupakan organisasi dinas rahasia, dalam pengertian berada di bawah permukaan dan sulit dilihat dengan mata biasa, tersembunyi dari pengamatan publik .

• Intelijen sebagai aktivitas – activity ; suatu aktivitas tertutup , suatu clandestine activity ( aktivitas tersembunyi ), atau covert action ( aksi menyamar ). Aktivitas ini mencakup kegiatan kegiatan sifat rutin dan operasi operasi intelijen yang bersifat temporer dan dibatasi waktu. Bentuk aktivitas intelijen dilakukan pada tiga pilar utama, penyelidikan , pengamanan , penggalangan. Penyelidikan merupakan ujung tombak aktivitas intelijen , karena hasil penyelidikan akan diakumulasikan menjadi sebuah intelijen sebagai pengetahuan ( produk intelijen ). Atas dasar pengetahuan intelijen yang ada , dilakukan upaya upaya pengamanan dan penggalangan untuk melakukan berbagai strategi preventif dan untuk mengeliminir ancaman. Pada waktu bersamaan, akumulasi pengetahuan intelijen dijadikan acuan bagi semua instansi dan pihak terkait di luar instansi intelijen , baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka melakukan upaya eliminasi ancaman intelijen tentang pengetahuan ( produk suatu analisis ).


Intelijen sebagai pengetahuan ( produk suatu analisis ) – knowledge ; suatu pengetahuan yang spesifik , intelijen mengetahui hal hal yang terjadi mendahului orang lain dalam produk intelijen. Sebuah ungkapan yang sering disampaikan yaitu intelijen harus lebih dahulu mengetahui apa yang dipikirkan seseorang, dapat mendengar sesuatu sebelum orang mengucapkan , dapat melihat apa yang orang lain belum melakukan. Dengan demikian produk intelijen negara dapat mengantisipasi setiap kemungkinan adanya ancaman – to make better anticipation, mengambil langkah langkah strategis – to make better strategic , dan membuat perencanaan kebijakan nasional yang lebih baik – to get better planning.

Dari semua uraian di atas tidak terlihat sesuatu yang “ menakutkan “ dari makna maupun tugas tugas intelijen. Intelijen merupakan perencanaan yang teratur dan dipelajari dengan memanfaatkan segala sarana yang ada agar memperoleh aneka informasi dengan bantuan “ masyarakat “ lalu mengolahnya selanjutnya disusun laporan yang memuat perkiraan perkiraan yang akan terjadi, pada saat yang tepat demi menjamin keselamatan dan keamanan nasional , serta bekerja melawan intelijen lawan guna mencegah masuknya masuknya bahaya pada negara dalam bentuk apapun. Penulis ingin menegaskan bahwa nafas intelijen ada di “ informasi “ yang diperoleh dari masyarakat saat melaksanakan kegiatan intelijen - penyelidikan.

Manakala terjadi teror bom di suatu tempat , petugas intelijen melaksanakan investigasi, dan mencoba melaksanakan elisitasi – wawancara intelijen, terhadap masyarakat, ketika ditanya sebagian besar masyarakat menjawab “seng tahu bapa, seng ada bapa “ ( seng : tidak – Ambon ) sambil mengangkat kedua tangannya , padahal ada “ sesuatu “ yang disimpan di bawah ketiaknya. Intelijen akan mengalami kesulitan apabila masyarakat menyembunyikan sesuatu yang selayaknya tidak patut untuk disimpan.

Dalam kehidupan sehari hari masyarakat juga telah melakukan aktivitas yang berkaitan dengan intelijen, inilah yang sering disebut dengan “ intelijen minded “. Tergambar jelas bahwa kegiatan intelijen tidak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat, perspektif intelijen yang telah disampaikan semoga bermanfaat bagi masyarakat dalam mendukung tugas aparat intelijen.

UPAYA MENANGGULANGI

Sebuah moto yang digunakan oleh “ The Baku Bae Peace Movement “ ( Pergerakan Damai Baku Bae – koalisi LSM di Maluku) yaitu ; “ Kedamaian adalah hak dan Perdamaian adalah usaha yang tidak pernah berhenti “. Penulis merasa perlu menyampaikan penggambaran moto ini karena secara implisit mengandung makna yang dalam tentang keterlibatan semua pihak untuk mengantisipasi / mencegah terorisme. Kedamaian merupakan keadaan / kondisi damai sedangkan perdamaian adalah segala perbuatan dalam rangka mewujudkan kedamaian. Menunjukkan bahwa perdamaian adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat dalam mewujudkan kedamaian di seluruh wilayah NKRI .

Banyak kalangan menilai bahwa tindakan terorisme internasional merupakan reaksi terhadap moral double standar policy – standar ganda politik luar negeri AS dan sekutunya. Klaim Amerika sebagai tatanan dunia bersandar pada posisi yang lemah, sehingga berimplikasi terhadap negara negara yang berada di bawah naungan tatanan tersebut. Kebijakan global inilah yang memicu kejahatan transnasional – terorisme melakukan aksinya tidak hanya di negara AS dan sekutunya, tapi tejadi juga di negara negara lain yang terdapat kepentingan dan warga negara AS serta sekutunya, termasuk Indonesia.

Solusi yang ditawarkan yaitu mengajak masyarakat internasional untuk mendesak AS dan sekutunya untuk bertindak adil dalam menjalankan politik luar negerinya baik dalam hubungan internasional dan bilateral, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah layakkah negara Indonesia untuk melakukan hal tersebut, sementara kondisi perekonomian masih sangat labil, permasalahan kebangsaan yang tak kunjung selesai, diantaranya ; separatisme, konflik komunal, kesenjangan ekonomi, kesenjangan status sosial, serta percaturan politik yang penuh “ persaingan ”.

Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berkeinginan menyampaikan pandangannya tentang upaya yang “ dapat ” dilakukan oleh pemerintah beserta perangkatnya dan seluruh elemen masyarakat untuk meredam aksi aksi terorisme melalui penyelesaian akar permasalahan dan upaya penanggulangan lainnya, dalam rangka memperbaiki sedikit tiang tiang penyangga NKRI yang sudah “ rapuh “- atau mungkin juga ada yang patah. Pemikiran tersebut seperti yang dituangkan sebagai berikut ;

1. Pemberantasan Korupsi , munculnya separatisme berawal dari ketimpangan ekonomi, ini yang didengungkan oleh sekelompok orang yang cepat mendapat dukungan dari etniknya. Ketimpangan ekonomi terjadi karena banyak pejabat yang korupsi. Dana dana yang dikorupsi kala satu dolar masih dibawah Rp 2.000 mencapai jumlah triliunan rupiah ( Eddy Tansil, Dewi Tahir, Free Port – setelah 20 tahun melakukan eksplorasi baru terungkap jika menambang emas, dan lain lain ), itu baru sebagian kecil dari data yang diketahui publik – belum yang tidak diketahui. Setelah krisis moneter korupsi tetap berlanjut jumlahnya beragam, mencapai triliunan rupiah tetap ada. Konflik vertikal / separatisme yang berkepanjangan menjadi riskan untuk aksi teror, karena teror adalah kepanjangan dari perang yang tidak dilakukan secara terbuka. Semua elemen bangsa harus memiliki komitmen dan spirit untuk memberantas korupsi.

2. Mengkaji kembali perimbangan perekonomian antara pusat dan daerah ( UU No. 33 tahun 2004 ), untuk merespon “ Kesepakatan Helsinki “ yang banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, sangat bijak jika pemerintah melakukan kajian terhadap perimbangan perekonomian antara pusat dan daerah. Berbagai elemen mengkuatirkan dampak dari kesepakatan tersebut, karena dapat memicu wilayah wilayah lain yang memiliki potensi SDA akan meminta hak yang sama / menyerupai. Kapasitas penulis bukan sebagai pihak yang menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun dapat menjadi catatan keinginan dari daerah daerah untuk meningkatkan perekonomian dengan menggunakan potensi di wilayahnya merupakan sebuah realitas. Jika nantinya tidak bisa terakomodir mengakibatkan komunikasi yang terdistorsi, dan tidak menutup kemungkinan akan muncul fenomena baru “separatisme yang berujung untuk tidak memisahkan diri “ .

3. Pendekatan holistis ( sistim keseluruhan sebagai satu kesatuan) dan Kultural melalui Dialog , kelompok radikal yang minoritas, tidak dapat hanya dihadapi dengan pendekatan represif, dengan cara cara polisionil. Pada matriks pencerahan telah disinggung metoda dialog, tetapi dalam hal ini akan lebih efektif serta untuk menghindari “ ekses negatif “, kelompok radikal harus diisolasi pengaruhnya dari kalangan Islam sendiri, yang datang dari pemahaman dan tradisi yang berbeda. Pendekatan melalui cara cara polisionil dan represif belaka , sesungguhnya berimplikasi terhadap umat muslim yang mayoritas, karena akan muncul pemahaman yang beragam dari pendekatan tersebut yang bisa tidak bersesuaian dengan mereka.

4. Terobosan Bidang Hukum , perlu dilakukan beberapa amandemen terhadap hukum yang terkait terorisme dan rangkaian kegiatan yang mendukung aksi terorisme antara lain ; korupsi , kepemilikan senjata dan muhandak ilegal yang digunakan untuk terorisme , penyalahgunaan visa yang dilakukan orang asing di wilayah konflik / melakukan kegiatan intelijen, maupun aksi para pelaku terorisme . Hukuman yang diberikan terhadap para pelaku tersebut selama ini beragam, karena interpretasi aparat penegak hukum juga beragam. Di sini celah hukum yang dapat “dimanfaatkan ” karena yang ada hukuman maksimal, pada kesalahan yang sama dapat terjadi vonis yang berbeda. Penulis menggarisbawahi terobosannya yaitu ; hukuman maksimal yang diberikan adalah “ penjara seumur hidup “ dan minimal “ 60 tahun “ penjara. Jalannya persidangan tidak perlu berlarut larut karena bisa menjadi “ polemik “ di masyarakat, pada persidangan yang “ketiga “ sudah jatuh vonis. Untuk menghindari interpretasi beragam dari hakim pengadilan dapat menggunakan “ juri “ , diambil dari beberapa elemen masyarakat yang tidak cacat hukum. Penjatuhan vonis cukup pada pengadilan “ tingkat pertama “ ( Pengadilan Negeri ), tidak berlanjut ke pengadilan tingkat berikutnya. Serta tidak ada pemberian “ grasi “ sekalipun pucuk pimpinan negara mengalami pergantian. Terobosan ini mungkin dianggap terlalu muluk dan ruwet, tapi pada keyakinan, masih dapat dilakukan.

5. Meninjau RUU Intelijen , di dalam negeri ada beberapa kalangan yang menganggap jika RUU intelijen disahkan muncul kekuatiran berimplikasi terhadap pelanggaran HAM. Secara halus dikuatirkan jika “dimanipulasi“ untuk kompetisi elit, maupun ketakutan ditangkapnya tokoh tokoh LSM garis keras. Adalah wajar jika muncul perbedaan pendapat, tetapi sangat disayangkan juga jika aksi terorisme masih berlanjut dan korban kembali berjatuhan karena tidak maksimalnya upaya deteksi dini maupun cegah dini. Penulis melihat terdapat indikasi bahwa ketakutan publik bukan terhadap undang undangnya , melainkan lebih kepada pelaksananya. Oleh sebab itu perlu dilakukan sosialisasi untuk memperoleh dukungan lebih dari segenap komponen bangsa ini. Sedikit gambaran tentang UU yang mengatur tugas tugas intelijen di negara luar antara lain ; Internal Security Act ( ISA ) – Malaysia ; Undang undang khusus keamanan dalam negeri yang membolehkan pihak berwajib menahan siapa saja yang dicurigai tanpa melalui prosedur resmi pengadilan dan pasca 11 September 2001 pemerintah Amerika mengeluarkan USA Patriot Act (UU aksi Patriot ). UU ini memberi kewenangan yang lebih besar bagi CIA , FBI untuk melaksanakan tugas intelijen. Aparat intelijen US memiliki akses besar untuk melakukan pengawasan lalu lintas berita melalui internet, penyadapan telepon, catatan kesehatan seseorang, bahkan dapat menginterogasi seseorang yang diketahui tidak memiliki komitmen untuk kejahatan sekalipun dalam batas pembicaraan ( wacana ).

6. Menghambat Konflik Komunal , awal konflik komunal adanya tindak pidana inter etnik yang tidak diselesaikan secara tuntas. Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan adalah “penegakan hukum yang netral “, dalam arti sanksi diterapkan kepada yang melanggar hukum oleh aparat yang berwenang. Konflik komunal harus segera ditangani agar tidak berkepanjangan, karena terorisme dan polemik lainnya hadir di konflik komunal yang berkepanjangan. Para pejabat pemerintah beserta instrumen pelaksana undang undang, hendaknya tidak perlu “ takut “ terhadap sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendak dengan cara cara inkonstitusional, karena negara memiliki perangkat yang berkompeten untuk mengatasi kelompok kelompok tersebut.

7. Koramil dan Polsek sebagai ujung tombak Aparat keamanan , Aparat Desa dan Pimpinan RT / RW ujung tombak di Pemerintahan , ditujukan pada kegiatan maupun sarana prasarana yang mendukung. Para pelaku teror melaksanakan perencanaan persiapan sebelum melakukan aksi berada di tengah tengah masyarakat , belum pernah terdengar dalam melakukan perencanaan di tengah hutan maupun di tengah laut. Bom yang tidak sengaja meledak, penangkapan para pelaku teror banyak terjadi di pemukiman padat penduduk. Diperlukan “sinergitas” antara aparat keamanan termasuk pemerintah, misalnya ; dalam pendataan pendatang baru, pembuatan KTP, dan pengawasan orang asing serta pendataan terhadap orang orang yang dicurigai. Di wilayah wilayah tertentu terutama desa / dusun terpencil, terdapat prekrutan prekrutan terhadap para pemuda desa yang selanjutnya dikirim ke luar daerah dengan dalih memperdalam ilmu agama, ini perlu pengawasan dengan mensinergikan peranan aparat terutama di tingkat desa / dusun. Memanfaatkan teknologi informasi ( I T ) perlu digagas sampai di tiap kecamatan, yang dapat digunakan bersama oleh aparat keamanan dan pemerintah, karena informasi begitu deras mengalir pada masa ini. Sangat disayangkan jika sebuah kejadian di wilayah terpencil, lebih dulu diketahui oleh para pengusaha di Jakarta daripada aparat yang ada di wilayah.

8. Memaksimalkan Peran Kominda / Bakorinda , beberapa waktu yang lalu Panglima TNI dimintai respon terhadap peran TNI dalam penanggulangan terorisme oleh Komisi I DPR – RI pada saat dengar pendapat. Terdapat solusi yang ditawarkan yaitu pembentukan “ task force “ ( satuan tugas ) sampai di tingkat kabupaten, karena selama ini TNI tidak mengambil peran langsung, terbatas memberi masukan di bidang intelijen saja. Terlalu naif jika muncul anggapan bahwa TNI mencoba mengambil kembali peran peran polisionil yang bukan lagi kewenangannya. Penekanan dari argumen ini adalah membuat batasan yang jelas dalam proses lanjut penyelesaian kasus terorisme. Kominda / Bakorinda dapat dimaksimalkan dengan membuat landasan hukum serta pembagian peran masing masing satuan kemudian mensinergikan pelaksanaan tugas (penyelidikan), agar “ tidak berjalan sendiri sendiri “. Dibutuhkan kerelaan hati untuk tidak “saling menutupi “ informasi yang perlu diketahui dan menghindari persaingan tidak sehat dalam melaksanakan penyelidikan. Secara sederhana penulis mencoba memberi gambaran bahwa ada banyak hal yang diketahui oleh intelijen kepolisian, namun tidak oleh intelijen TNI maupun aparat intelijen lain, demikian sebaliknya. Fenomena ini juga terjadi pada institusi intelijen yang lebih tinggi.

9. Tanggung Jawab Tokoh Informal , dalam masyarakat ketimuran faktor keteladanan / panutan masih memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat. Tokoh agama dimasyarakat memiliki nilai tersendiri karena memiliki karisma lebih daripada tokoh masyarakat biasa. Mereka adalah tokoh yang dianggap menyampaikan “ kebenaran Ilahi “ yang bersifat mutlak. Dalam masyarakat modern peran ulama /pemuka agama dalam membentuk wawasan dan sikap keberagaman umat masih sangat penting khususnya di Indonesia. Fungsi pencerdasan dari lembaga agama perlu segera dilaksanakan , karena tokoh tokoh agama tidak saja diharapkan untuk menyampaikan ajaran ajaran agama, lebih dari itu diharapkan mampu untuk menjabarkan ajaran tersebut menjadi sikap untuk menciptakan kedamaian dan keteduhan dalam umatnya, manakala bangsa ini disusupi wabah anti kemanusiaan – terorisme.

PENUTUP

Ketika bencana alam gempa tektonik dan gelombang tsunami melanda Aceh yang menelan korban kurang lebih 100.000 jiwa dan menghancurkan ribuan bangunan, seluruh rakyat Indonesia terkesima, haru, dan membuat banyak orang “ disadarkan “ untuk memaknai bahwa manusia sungguh tidak ada apa apanya untuk menentang kehendak Ilahi. Penulis mengambil hikmah yang selama ini mungkin tidak populer bahkan hampir tidak ada lagi yaitu Kesetiakawanan Sosial, seketika marak menyusup ke relung sukma semua anak bangsa tanpa memandang dia siapa. Bahkan negara negara luar yang selama ini dianggap memusuhi bangsa ini, menghaturkan bela sungkawa yang tiada terkira. Di mana mana bermunculan solidaritas dengan mengumpulkan berbagai bantuan materi maupun tenaga relawan untuk saudara saudara kita yang sedang dilanda musibah. Sedemikian hebatnya “virus” kesetiakawanan menyebar sampai orang yang selama ini dianggap “ fakir miskin “ juga tergerak hati untuk memberi bantuan. Mudah mudahan tidak berhenti, rasa kesetiakawanan, jangan hanya muncul karena “ melihat kuantitas “ jatuhnya korban.

Pada akhirnya, upaya untuk menanggulangi terorisme bukan semata mata tugas sekelompok orang yang secara penugasan bertanggung jawab untuk mengamankan negara. Menanggulangi terorisme merupakan tugas mulia seluruh warga negara tanpa terkecuali. Semua pihak harus mengambil peran, termasuk tokoh tokoh informal maupun kaum intelektual, karena kita tidak harus menunggu jatuh korban yang lebih besar dikala kita mampu untuk mencegahnya. Sebagai manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan selayaknya kita memahami kebaikan dan kejahatan. Kehadiran kita di tengah tengah masyarakat semata mata karena kita memilih sisi kebaikan. Jangan pernah mengatakan “ tidak bisa ” untuk mencegah terorisme, sebab yang ada hanya “ tidak ingin “. Keinginan ( Willing ) adalah kata kuncinya. Dimana ada kemauan maka terdapat 1001 macam jalan, dan ketika tidak ada keinginan maka akan hadir 1001 macam alasan.

HABIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar