Sabtu, 02 April 2011

FENOMENA TERORISME DI INDONESIA BAGIAN I

Pada tahun 2000–an teror bom menunjukkan peningkatan drastis dalam perkembangan terorisme di Indonesia , berbagai tudingan dan pembelaan mewarnai wacana demokrasi di tengah tengah masyarakat. Tajuk Rencana di Harian Pikiran Rakyat tanggal 11 September 2004 memuat tulisan tentang Pengakuan Pelaku Bom , demikian sebagian cuplikannya ; “ Ledakan bom Bali , 12 OKtober 2002, menjadi legitimasi pertama bagi Indonesia sebagai “sarang teroris’ yang dikendalikan oleh “Jamaah Islamiyah” atau “Al-Qaeda”. Kemudian menyusul bom JW Marriot, 8 Agustus 2003. Legitimasi itu ditindaklanjuti dengan penangkapan beberapa tokoh Islam garis keras,beberapa diantaranya telah dijatuhi hukuman “.


Di awal tahun 2003 Komisaris Jenderal Erwin Mapasseng, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengatakan bahwa jaringan terorisme itu tidak ada , yang ada adalah teror bom yang terjadi sejak tahun 2000 – 2003 ( 57 kali perisiwa peledakan di Indonesia dan jumlah terbesar di Jakarta 37 kali ). Yang ada hanya kelompok pelaku pengeboman Bali bukan jaringan terorisme, demikian katanya.

Ketua tim Investigasi Bom Bali juga meyampaikan pernyataan senada , Inspektur Jenderal I Made Pastika membeberkan terdapat 3 bagian kelompok terorisme ; Kelompok Separatis GAM , Kelompok Radikal yang melakukan serangkaian pengeboman dengan cara membalas dendam, dan kelompok Partikelir / kelompok Pribadi. Mengaitkan kelompok pelaku Bom Bali dengan Jamaah Islamiyah membutuhkan penyidikan dan penyelidikan lebih lanjut , demikian imbuhnya.


Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyampaikan pandangannya tentang terorisme di Asia Tenggara yang dimuat pada Majalah Far Eastern Economic Review edisi terakhir di bulan Desember 2002. Lee berujar, “ Seandainya pun jaringan terorisme di belakang Bom Bali dapat ditangkap semuanya , itu hanya satu sel dari kelompok radikal yang ada di Indonesia “. Investigasi yang dilakukan melalui Internet , menurut Lee menunjukkan bahwa di Indonesia ada sekitar seratus kelompok atau sel serupa yang sama radikalnya dengan jaringan pengebom Bali.

Pengamat Intelijen AC Manullang juga berkomentar bahwa pelaku terorisme berada dalam berbagai simpul , dan aksi aksi mereka masih akan terjadi selama kondisi politik tidak stabil, justru dengan kondisi seperti itu mereka akan bermain, tegasnya. Ia juga meyakini ada permainan Intelijen Asing yang bisa jadi menggunakan simpul simpul terorisme di dalam negeri.

Direktur Internasional Crisis Group ( ICG ) Sidney Jones mengatakan jaringan terorisme yang belakangan melaksanakan aksinya bukanlah jaringan baru. “ Jika melihat modus operandinya dan target yang dituju, jelas Jamaah Islamiyah. Tidak ada kelompok lain di Indonesia yang bisa melakukan pengeboman seperti itu, ujar Sidney.

Pemerintah Amerika Serikat turut mengambil langkah langkah yang Kontroversial dalam meredam aksi terorisme pasca tragedi September 11 2001 . Jamaah Islamiyah ( versi Foreign Terrorist Organization – FTO/ Organisasi Teroris Asing ) yang di Indonesia identik dengan Majelis Mujahidin Indonesia ( MMI ) pimpinan Ustad Abu Bakar Ba’asyir ( ABB ) tidak luput jadi sasaran, dan Majelis Mujahidin Indonesia masuk daftar jaringan terorisme Internasional “ versi Bush ” .

Ada baiknya kita mungkin tidak terlalu penting untuk menanggapi pernyataan pihak asing dalam menyikapi kondisi keadaan Indonesia dikaitkan dengan maraknya aksi terorisme yang mengakibatkan banyak warga asing yang menjadi korban. Kita juga merasa bahwa pihak barat dengan para sekutunya memiliki kepentingan tertentu di Asia Tenggara , termasuk Indonesia ; ( penguasaan jalur selat Malaka , minyak , perluasan pangkalan militer, dan lain lain ) .


Beberapa media cetak maupun elektronik seperti Koran Tempo , Kompas , Republika , Metro TV , dan SCTV menampilkan berita maupun mengadakan wawancara terhadap Fredrerick Burks ( mantan pegawai di Deplu AS ) di penghujung tahun 2004 sampai dengan awal tahun 2005. Burks mendadak menjadi tokoh yang perlu untuk dibicarakan selama beberapa bulan, dia juga tampil menjadi saksi dalam sidang kasus terdakwa Ustad ABB pada bulan Januari 2005 di Gedung Departemen Pertanian , Jakarta. Selain itu dia juga banyak diundang sebagai pembicara dalam beberapa diskusi di dalam negeri ( Diskusi yang diadakan Pusat Penelitian Politik Indonesian for Middle East Studies ISMES – 14 Januari 2005 dengan tema Mengungkap Kebohongan Bush ). Burks mengungkapkan adanya intervensi pemerintah AS dalam berbagai kasus terorisme di berbagai negara temasuk Indonesia.

Sekali lagi mari kita menyelesaikan permasalahan di dalam negeri melalui konteks hukum dan budaya yang ada di negara ini. Kita juga meragukan Investigasi melalui internet sebagaimana yang diungkapkan oleh Lee Kuan Yew karena kita juga semua tahu internet adalah “ sampah “ ( tempat orang membuang berbagai berita ). Sebelumnya kita juga menduga ada teori konspirasi bahwa CIA berada dibelakang Bom Bali , Ustad ABB juga langsung mengadakan konferensi pers di Pondok Pesanten Al – Islam , Solo pada tanggal 14 Oktober 2002 – 2 hari setelah Bom Bali. Dalam jumpa pers itu ia mengatakan peristiwa Bom Bali merupakan usaha AS untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.

Terlepas dari semua kontroversi di atas , perlu menjadi sebuah “ Renungan “ bahwa para pelaku teror bom yang sudah tertangkap adalah saudara-saudara kita yang memiliki pemikiran yang sangat tidak sesuai dengan masyarakat lain pada umumnya , bahkan dengan bangga dan tanpa penyesalan sedikitpun kelompok Amrozy , Imam Samudera mengakui bahwa merekalah yang melakukan peledakan Bom Bali. Mereka dikelompokkan sebagai Kelompok Radikal , melakukan teror bom yang dianggap sebagai sacramental act ( tindakan suci ) untuk sebuah tujuan yaitu menginginkan pelaksanaan pemerintahan dengan menggunakan Syari’at Islam dan sebagai pelampiasan dendam atas kebijakan luar negeri AS , mereka menganggap bahwa kelompoknya selalu benar dan orang lain adalah menyimpang, sesat dan jahat sehingga harus diluruskan termasuk dengan cara cara kekerasan.
Noordin M top dan DR Azhari dua Master mind of terorism di indonesia


Harus diyakini bahwa tindakan terorisme yang dilakukan dapat memberi “ efek domino “ ke bidang lainnya, kearah perekonomian dimana investor dan turis akan takut untuk masuk , perdagangan akan mengalami hambatan yang nantinya akan membuat rusak tatanan ekonomi , kemudian jutaan pekerja kehilangan pekerjaan , marak pembunuhan dan tindakan kriminal lain , semakin sulit untuk mendapatkan kedamaian , kehidupan sosial akan menjadi kacau , bahkan negara ini bisa hancur karena ketergantungan ekonomi yang kronis karena semua milik negara dijual kepada pihak asing. Pertanyaannya , “ Apakah kita akan mendukung atau menolak aksi terorisme tersebut ? “

Terorisme Religi lebih banyak mendominasi pergulatan teror di Indonesia pada tahun 2000–an sekalipun terdapat beberapa kelompok Partikelir dan Etnonasionalis. Sebagai contoh teror bom yang dilakukan oleh oknum polisi yang frustasi, AKP Anang Sumpena ( Peledakan Wisma Bhayangkara di Kompleks Mabes Polri - Jakarta Selatan pada tanggal 3 Februari 2003 ) maupun teror yang dilakukan kelompok GAM, dimana masih ada pembunuhan , peledakan bom , penculikan dan penyanderaan yang dilakukan terhadap guru, kepala desa , wartawan maupun warga sipil lainnya . Teror yang menimbulkan korban jiwa tertinggi selama perkembangan terorisme di Indonesia adalah Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 , tercatat 202 orang tewas dan mencederai 209 orang lainnya ( Wikipedia Indonesia ).

Benarkah terorisme religi sudah menjadi idiologi bagi kelompok radikal ? Apakah aksi teror yang mereka lakukan merupakan sebuah” divine ” ( perintah Tuhan ) yang harus dijalankan ? Beberapa kali seyum manis Amrozy ditonton masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Tidak ada penyesalan sedikitpun di wajahnya, tidak tampak juga rasa bersalah menghinggapi dirinya. Demikian juga rekan seperjuangannya Imam Samudera yang beberapa kali menyatakan bunuh saja saya saat diwawancarai dan yang paling aktual disiarkan di Liputan 6 Sore SCTV - 17 Agustsus 2005 , Imam menyatakan dirinya tidak mengikuti upacara HUT ke 60 RI di LP Krobokan , Bali karena meyakini Indonesia belum merdeka. Merdeka baginya adalah jika umat muslim di Indonesia sudah bisa menjalankan syari’at Islam, dan baginya kematian di dunia bukan menjadi suatu hal yang menakutkan , dia setiap saat sudah siap untuk dihukum mati , karena keyakinannya akan masuk Surga. Tidak waraskah mereka , tentunya tidak juga karena jika mereka gila tentunya saat ini mungkin mereka ada di tempat lain. Orang-orang yang mempunyai pemahaman agama tidak sempit tentunya akan bergumam, “ Koq begitu ya “.

Dalam perkembangannya , berdasarkan pengalaman Bom Bali membuat polisi memiliki informasi mengenai jaringan pelaku pengeboman lainnya sehingga pengeboman Hotel JW Marriot ( 8 Agustus 2003 ) , Bom Kedubes Australia ( 9 September 2004 ) dapat terungkap sekalipun hanya sebatas “ Pelaku Lapangan “ saja. Simpul Simpul terorisme di Indonesia sudah mulai terurai , Mabes Polri juga sudah menyinggung peran Jamaah Islamiyah dalam kegiatan terorisme di Indonesia. Catatan penangkapan para pelaku terorisme di Indonesia ( sumber : beragam sumber ) ;

a. Dany als Taufik Bin Abdul Halim, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada tanggal 9 Agustus 2001 – Pelaku peledakan Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001 ).

b. Abbas ditangkap di Tasikmalaya pada tanggal 11 September 2001 - Pelaku peledakan Bom Atrium Senen ( 1 Agustus 2001 ).

c. Umar Al Faruq warga Yaman , ditangkap bulan Juni 2002 di Bogor dan dikirim ke dikirim ke Pangkalan Udara di Bagram, Afghanistan atas permintaan Pemerintah Amerika – diduga sebagai operator Al- Qaeda di Asia Tenggara.

d. Ustad Abu Bakar Ba’asyir Ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 18 Oktober 2002 – dikaitkan dengan pengakuan Umar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman Bali.

e. Amrozy ditangkap di Jawa Timur pada tanggal 5 November 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 Oktober 2002 ).

f. Imam Samudera als Abdul Aziz ditangkap di pelabuhan Merak pada tanggal 26 November 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober 2002 )

g. Ali Gufron als Muklas als Huda Bin abdul Haq als Sofyan ditangkap di Klaten pada tanggal 3 Desember 2002 – Pelaku peledakan Bom Bali ( 12 0ktober 2002 ).

h. Hambali als Cecep Nurjaman als Riduan Isamudin ditangkap di Thailand pada tanggal 12 Agustus 2003 – diduga sebagai otak serangkaian pemboman di Indonesia.

i. Jabfar ( WN malaysia ) ditangkap di ds Grinsing Batang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Pebruari 2004, berdasarkan keterangan dari Jabfar ditangkap Amran bin Mansur als Andi Saputra – Pelaku peledakan Bom Marriot ( 5 agustus 2003 )

j. Iwan Darmawan als Rois ditangkap di Bogor beserta 3 orang rekannya ( Hasan als Purnomo als Agung , Sogir Als Anshori , Apuy als Saipul Bahri, pada tanggal 5 November 2004 – Pelaku peledakan Bom Kuningan ( kedubes Australia 9 September 2004 )

Berbagai jenis senjata rakitan dan asli yang disita pihak kepolisian dari daerah konflik.


PENGUNGKAPAN YANG TIDAK TUNTAS


Dalam Reportase yang dilakukan oleh Agus Sopian bersama Taufik Andre sepanjang November 2003 banyak Clue ( petunjuk) tentang perjalanan terorisme di Indonesia yang dituangkan dalam tulisan Jejak petualang terpidana kasus teror bom di Jakarta ( Taufik Bin Abdul Halim als Dany – terpidana kasus peledakan bom Atrium Senen , 1 Agustus 2001 ). Dari pengakuannya Dany menceritakan perjalanan hidupnya yaitu dia berasal dari Malaysia , pemegang Identity Card ( KTP ) A. 2997604, tercatat tinggal di Jalan Intan, Johor. Lahir 21 Maret 1975. Awalnya Dany adalah korban peledakan bom yang kakinya harus diamputasi, namun berkat kepiawaian aparat kepolisian ( Brigadir Jenderal Hamim Soeriamidjaja – Kepala Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian dan AKBP Carlo Brix Tewu – Kepala Divisi Anti Teror dan Bom Direktorat Reserse Kepolisian Polda Metro Jaya ), maka dalam hitungan hari dia dicurigai polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Selama proses penyidikan Dany akhirnya “bernyanyi” jaringan teman-temannya ( Abbas ditangkap pada 11 September 2001 ). Dalam reportase ini Dany juga menceritakan seputar aktivitasnya sewaktu memperdalam ilmu agama di Karachi, Pakistan dan mengikuti latihan militer di Jalalabad, Afghanistan. Pertemuan dia dengan Hambali , kaitan kegiatan teror yang dilakukan dengan Imam Samudera maupun aktivis radikal lainnya , serta keterlibatannya dalam konflik Maluku.

Yang dilakukan Agus Sopian adalah sebuah reportase , namun tergambar beberapa aktivitas dan pelaku terorisme di Indonesia. Pasca Bom Atrium 1 Agustus 2001 Atrium kembali diguncang bom pada 23 September 2001, disusul peledakan gereja pada malam Natal 2001 , Bom Bali , Bom JW Marriot dan Bom Kedubes Australia. Pertanyaannya kenapa aparat kepolisian sepertinya tidak tuntas dalam mengungkap simpul simpul terorisme terhadap tersangka Dany, padahal saat itu ia menjalani proses penyidikan selanjutnya proses hukum, dan “ bukan reportase “(catatan ; Carlo Tewu salah satu polisi “Rising Star” dijajaran kepolisian mengikuti jejak seniornya Goris Merre).

Penanganan kasus terorisme akan lebih baik deteksi dini untuk cegah dini, karena lebih baik mencegah daripada mengobati / menanggulangi. Dengan tidak mengandai andai, mungkin juga karena kita tidak terlibat langsung sehingga kita tidak memahami seluk beluk pengungkapannya, namun perlu jawaban terhadap semua itu.

Adakah karena sifat kegiatan terorisme yang menggunakan sistim sel , underground, atau karena koordinasi antar jajaran intelijen yang tidak cantik. Atau akibat tradisi bai’at yang membuat para pelaku terorisme bertahan tutup mulut, atau ada faktor lain ? Kita hanya bisa menduga duga , dan kenyataannya Imam Samudera dkk masih melakukan teror bom yang terparah sepanjang sejarah, setelah setahun lebih Dany tertangkap.

Penulis tetap menaruh rasa bangga dan respek terhadap institusi kepolisian Indonesia, dimana pengungkapan kasus teror bom dapat dilaksanakan dan menangkap para pelakunya. Dalam bukunya Anton Tabah mengemukakan bahwa Polri mendapat banyak pujian dari negara luar bahkan bantuan dalam berbagai bentuk mengucur ke negara kita setelah terungkapnya Bom Bali dengan menggunakan Sciencetific Crime Investigation ( SCI ) - investigasi dengan syarat syarat tindakan ilmiah. Polri juga telah berhasil meningkatkan kerja sama berbagai bidang dengan negara negara ASEAN, Eropa, Amerika ( pemalsuan uang, kejahatan terhadap kemanusiaan, Ekstradisi, Jakarta Center For Law Enforecement Coorporation-JCLC, Transnational Crime-TNC, Terbentuknya ASEAN Security Comunity dan lain-lain ), semua bangga terhadap prestasi tersebut.

Semua kasus dapat diungkap namun tidak tuntas, karena dari beberapa aksi terorisme di Indonesia pasca Bom Bali, para pelakunya terindikasi pernah menjalin hubungan / kenal dengan pelaku teror sebelumnya, serta tidak pernah diungkap / ditangkap aktornya.

Bom yang diledkkan oleh teroris di Kedutaan besar australia


Sebuah buku yang layak untuk dibaca yaitu Terorisme Ancaman Tiada Akhir yang ditulis oleh Wawan H. Purwanto memuat asumsi faktor mempengaruhi dalam pengungkapan terorisme di Indonesia adalah sebuah kekuatan politik yang disebut Middle Way atau Middle Ground yang dimiliki oleh NU dan Muhammadiyah. Bila kedua organisasi ini bersuara “ Pemerintah melakukan penangkapan orang orang yang diduga teroris itu sebagai order asing ”, maka otomatis mengendurkan upaya preventif di bidang keamanan. Jika ini yang terjadi maka ada hambatan lembaga negara yang independent ( bebas intervensi ) dalam menuntaskan kasus terorisme yang sangat berbahaya.


Penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian lebih kepada dugaan mereka yang terindikasi melakukan kegiatan teror dan tidak memandang agama, jabatan, maupun statusnya, karena tindakan melawan hukum yang menjadi pertimbangan. Jika pengungkapan kasus terorisme pada umumnya hanya terbatas eksekutor saja maka bayangan terorisme akan selalu menghantui masyarakat karena aktor aktor yang mendesain terorisme sesungguhnya mungkin ada ditengah tengah kita.


OTOIMUNITAS DAN MENUMBUHKAN
SEMANGAT MILITANSI


Selama ini kita mendengar otoimunitas ( menghilangkan kekebalan sendiri - bunuh diri ) dilakukan oleh warga Palestina menghadapi Israel dengan bom bunuh dirinya. Dalam peradaban Jepang kita juga mendengar istilah harakiri ( bunuh diri demi sebuah kehormatan – tradisi Ninja ) dan Kamikaze ( pasukan berani mati – penyerangan Pearl Habour ) serta bunuh diri yang paling menakjubkan yaitu dilakukan 21 orang yang terkait dengan kelompok Al – Qaeda setelah sebelumnya membajak pesawat dan menabrakkan ke gedung kembar World Trade Center.

Di dalam negeri, terdapat salah seorang korban yang tewas dalam peledakan Bom Kedubes Australia yang dipercayai sebagai seorang pengebom berani mati adalah Heri Golun alias Heri Kurniawan dengan menggunakan van mini jenis daihatsu. Heri berhasil diidentifikasi melalui test DNA. Pada peledakan Hotel JW Marriot korban tewas yang diduga kuat juga melakukan bom bunuh diri adalah Asmar Latin Sani. Selain itu sinyalemen dari Imam Samudera bahwa Iqbal yang melakukan bom bunuh diri ketika meledakkan Paddy’s Club di Bali sudah menjadi jihad , dan umat muslim yang terbunuh dalam tragedi itu, jika mereka ikhlas , menurut Imam Samudera, Insya Allah akan masuk surga. Sebuah fenomena baru yang agak menakutkan hadir di bumi pertiwi.

Jacques Derrida ( Ahli Filsafat Perancis ) menyampaikan proses otoimunisasi merupakan tingkah laku ganjil di mana suatu mahluk hidup , dengan cara kuasi – bunuh diri sendiri , bekerja menghancurkan proteksinya – perlindungannya sendiri , mengimunisasikan diri melawan imunitasnya sendiri.

Efek buruk otoimunitas adalah tidak dapat dicegah jatuhnya korban ( militer / sipil ). Orang orang akan membangun sebuah pertahanan, di sisi lain muncul perang atau terorisme. Penindasan dilakukan baik dari arti psikologis maupun politis ( militer , ekonomi ) . Hal ini tentunya akan menampilkan pembalasan pembalasan dan kontra terorisme yang sah yang berlanjut dan mungkin saja tak berkesudahan.

Dalam ilmu kedokteran pelaku terorisme – bunuh diri dianggap penderita “ psikopat agresif “ . Gangguan psikologis yang parah membuat pelaku aksi teror menjadi manusia yang kehilangan nurani, bersifat kejam, agresif, sadistis, dan tanpa ampun. Seluruh perasaan takut seolah dibunuh habis, termasuk kematian atas dirinya sendiri, apalagi orang lain.

Apakah keperluan bunuh diri di Indonesia ? Apakah sekedar masalah gaya atau sudah membudaya ? Dengan meningkatnya perkembangan teknologi, saat ini bom dapat diledakkan dari jarak jauh – remote control, maupun mengunakan timer ( waktu ). Tingkat security ( pengamanan ) di Indonesia tidak seperti di Israel , yang melakukan sistim pengamanan berlipat dan didukung oleh teknologi dan peralatan deteksi yang super canggih. Sekali lagi untuk apa bom bunuh diri dilakukan di Indonesia dalam kondisi seperti ini ? Ataukah ada kemungkinan pelaku teror tersebut ikut tewas karena kecerobohan seperti yang terjadi pada Dany – kaki diamputasi , menjadi korban saat melakukan pengeboman di Atrium Senen.

Penulis lebih condong kepada yang terakhir, nothing perfect crime ( tidak ada kejahatan yang sempurna ). Namun jika bom bunuh diri itu benar-benar terjadi di Indonesia , sedemikian radikalismenya kelompok itu yang sudah mencapai tingkat puncak dan berbahaya. Mungkin menjadi hukum alam, bukan untuk menakut nakuti disampaikan bahwa “ Kejahatan ( terorisme ) akan selalu satu langkah di depan aparat keamanan , namun yakinlah tidak ada kejahatan yang sempurna, karena dari ketidaksempurnaan itulah terungkapnya sebuah kejahatan “.

Dibalik kesemuanya tersirat satu didaktika ( hal yang berkaitan dengan pendidikan ) dalam proses pendidikan para pelaku teror. Seorang teman pada masa remajanya menganggap Golkar menjadi sebuah “Icon” (sesuatu yang “suci“) dan partai politik lain adalah suatu hal yang tabu pada saat itu. Apakah Golkar hampir menjadi sebuah idiologi pada eranya ? Selama hampir 30 tahun Golkar mendominasi perpolitikan dalam negeri, dan mayoritas masyarakat menjadi tokoh maupun simpatisannya. Beragam metoda dilakukan untuk menanamkan “ simbol simbol “ Golkar dari generasi ke generasi.

Sementara itu di sisi lain sesuatu yang memprihatinkan muncul, karena setelah 60 tahun Indonesia merdeka ” marak “ orang orang yang tidak lagi bangga sebagai bangsa Indonesia, bahkan paham kebangsaan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan semakin ke arah yang semakin menyedihkan.

Sebelum seorang perajurit diterjunkan ke medan tempur, dia harus dididik dan dilatih untuk memiliki kemampuan dan keterampilan maupun semangat militansi yang kesemuanya bertujuan untuk memenangkan pertempuran. Pada situs http://www.kompas.com terdapat penekanan “ menumbuhkan semangat militan “ yang dituangkan dalam artikel Wacana Didaktika Indonesia. Sedemikian halnya dalam proses perekrutan maupun pendidikan yang dilakukan sebuah lembaga non formal, beragam latihan dan pembekalan harus dilalui oleh para pelaku teror sebelum melakukan aksinya.

Akibat dari ledakan bom di Hotel mariot pada tahun 2003menunjukkan bahwa teroris semakin bekerja dengan rapi dan terorganisir


Dilihat dari aksi aksi teror yang cukup “spektakuler”, dapat dikatakan lembaga
pendidikan yang mendidiknya telah berhasil dalam menjalankan misi pendidikannya yaitu menjadi seorang teroris yang hebat. Lembaga pendidikan tersebut sukses dalam menumbuhkan keberanian dan kemauan yang berlebihan – bunuh diri yang konyol bagi kebanyakan orang. Proses Pembai’atan menjadi semacam wisuda untuk mengukuhkan keberanian dan kemauan yang membuat orang berpikir tidak sehat.

Lembaga-lembaga pendidikan formal di negara kita memiliki tujan filsafati luhur , tidak untuk mendidik teroris. Namun sejauh ini terasa pendidikan kita lebih ke tuntutan normatif saja, tumbuh bersemai karena melihat semua orang pada umumnya masuk sekolah. Proses pendidikan kita tidak membuat semua peserta didik memahami idealisme di balik tujuan pendidikan sekalipun hasilnya ada yang menjadi para cendikiawan yang bermoral.

Dunia pendidikan rasanya harus tertantang untuk adu strategi dan metode mengarahkan kesadaran individu atas pilihan pilihan hidupnya. Lembaga pendidikan dinilai akan gagal dan betapa ironisnya jika mereka yang telah dididik bertahun tahun mengenyam pendidikan bervisi “ kemanusiaan “ lalu memutuskan menjadi seorang pembunuh orang orang yang tidak berdosa termasuk membunuh dirinya sendiri.

Jika camp latihan teroris mampu mengarahkan para lulusan sekolah bervisi kemanusiaan menjadi pembunuh dengan semangat militan ( agresifitas yang berlebihan ) bahkan membuat mereka sanggup melakukan bunuh diri dimana semua agama mentabukan hal tersebut , setidaknya lembaga lembaga pendidikan yang ada sekarang dapat mengambil sisi “ menumbuhkan semangat militansi ” yaitu militansi kemanusiaan , dimana hasilnya akan membuat orang akan mati matian dalam sikap dan perilakunya berpihak pada nilai nilai dan tujuan kemanusiaan, dengan tidak melakukan idiologisasi etnis , religi , komunis, maupun kapitalis – imperialis , mungkin cukup ideologisasi nilai nilai kemanusiaan.

Sekarang tinggal kita memilih, kepada siapa kita harus berguru / menimba pengalaman dalam rangka menumbuhkan semangat militansi kemanusiaan , karena semua “ ilmu pengetahuan tidak ada yang tidak berguna namun harus tepat digunakan untuk apa “.


MAYORITAS - MINORITAS

Pada umumnya kelompok radikal adalah yang berasal dari kelompok “ minoritas ” karena ada aspirasi yang tidak terakomodir dari pemerintah. Mereka melakukan tindakan untuk menekan pemerintah agar tidak terjadi diskriminasi ( pembedaan ) terhadap komunitasnya contoh ; tuntutan persamaan hak dalam politik , ekonomi , status sosial dan lain lain.

Di luar negeri terdapat kelompok minoritas yang melakukan penekanan terhadap pemerintah, dalam perlawanannya mereka dan tidak sedikit yang memperoleh dukungan dari etnisnya. Pejuang pembebasan ETA , IRA , EOKA, Macan Elam Tamil adalah sebagian kecil dari kelompok minoritas tersebut.

Di dalam negeri terdapat juga kelompok yang merasa termarjinalisasi ( terpinggirkan ). OPM , GAM merasakan ketimpangan dalam pembangunan di wilayahnya dan aspirasi dari kelompoknya banyak yang tidak dipenuhi oleh pemerintah RI. Mereka juga adalah kelompok minoritas di wilayah NKRI ( sebagian kecil etnis Aceh , dan sebagian kecil etnis Papua ).

Negara Indonesia masuk menjadi anggota Organization of the Islamic Conference ( Organisasi Konfrensi Islam - OKI ) ( negara negara yang populasi umat Muslim besar di dunia ), menunjukkan bahwa jumlah umat muslim mayoritas ( lebih banyak ) dari umat beragama yang bukan muslim. Selanjutnya para pelaku teror adalah saudara saudara kita yang kebetulan menganut agama Islam.

Apakah kelompok yang menginginkan diberlakukan Syari’at Islam maupun kelompok radikal yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya merupakan kelompok “mayoritas “ ? Apakah mereka kelompok “ minoritas “ yang juga merasa bahwa pemerintah RI tidak menghiraukan aspirasi yang mereka kemukakan ?

Pada situs redaksi@islamlib.com terdapat artikel “ Seratus Kelompok Radikal “ oleh Denny JA, Phd demikian isinya ; “ Di Indonesia , kelompok radikal itu, sungguhpun jumlah organisasinya sudah lebih dari seratus, hanya minoritas. Jauh lebih banyak kelompok Islam yang moderat dan liberal. Agama Islam sebagaimana agama besar lainnya bahkan ideologi besar sekalipun , selalu diwarnai keberagaman interpetrasi. Ada interpetrasi yang paling liberal di sebelah kanan , ada kelompok moderat mayoritas di tengah dan ada kelompok radikal di sebelah kiri yang juga minoritas “.

Realitas penduduk Indonesia yang kurang lebih berjumlah 220 juta jiwa yang terdiri lebih dari 300 suku dan 5 agama yang diakui pemerintah adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Melihat keberadaan kelompok radikal jika dibandingkan dengan realitas yang ada , secara jumlah sudah pasti minoritas. Kelompok mereka terlihat besar salah satu faktornya adalah media massa. Kaum teroris melihat media massa adalah jalan terbaik mencapai popularitas, dalam rangka menarik perhatian khalayak. Media massa sering kali menjadi titik pusat kegiatan kaum teroris , mereka mempublikasikan secara gratis , menjadikannya sebagai topik terhangat yang pada akhirnya memberikan interpretasi beragam bagi pemirsanya.

Selain itu adanya pejabat, tokoh tokoh agama yang melakukan tindakan yang membuat publik memiliki interpetrasi ( pemikiran ) beragam. Sebagai contoh Hamzah Haz saat menjabat Wapres RI mengunjungi Ja’far Umar Talib dan Ustad ABB saat mereka dalam proses hukum. Adalah perbuatan mulia untuk mengasihi sesama, namun tindakan tesebut bisa menimbulkan kesan di sebagian orang bahwa ada tokoh panutan yang melindungi tokoh tokoh garis keras yang memiliki ikatan agama sama.

Dengan tidak berniat memihak kepada siapapun, kesan itu sedikit terhapus ketika melihat ada lagi tokoh agama NU , Gus Dur yang memiliki pemikiran berbeda dan berani mengkritisi manuver politik yang dilakukan Wapres saat itu. Tidak adil jika memojokkan umat muslim secara keseluruhan yang mengaitkan dengan terorisme , ini adalah pemahaman yang kerdil.

Seperti yang sudah disampaikan pada definisi terorisme bahwa terdapat juga kelompok teroris yang secara spesifik bukan beragama muslim, jadi tidak bisa menggeneralisasikan ( menyamaratakan ) seorang pelaku terorisme dengan orang orang yang mungkin memiliki ikatan historis, religi , maupun keturunan yang terkait / sama dengannya. Yang paling penting adalah semua elemen bangsa ini harus menyatukan pandangan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan moral untuk menolak segala bentuk terorisme karena tidak sejalan dengan nilai nilai kemanusiaan. Sebab bukan karena Islam terorisme itu ada , hanya saja kebetulan para pelaku teror tersebut ada yang beragama Islam.


TERORISME DALAM KONFLIK KOMUNAL


Peluang adalah sebuah ruang / kondisi yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan keadaan yang seiring dengan pemanfaatannya. Komposisi masyarakat Indonesia yang heterogen ( beragam ) adalah potensi yang dapat dimanfaatkan menjadi multi keadaan. Bangsa ini berdiri atas platform ( panggung ) multi etnik,multi agama, dan multi budaya serta karakteristik geografis berupa negara kepulauan adalah memiliki peluang yang besar munculnya “ friksi” ( gesekan ) komunal.
Konflik komunal berkembang cepat dan luas karena kondisi masyarakat yang rentan terhadap upaya provokasi ( struktur masyarakat heterogen, krisis ekonomi yang belum pulih, dan tingkat pendidikan serta kesadaran berpoltik yang belum maju ). Awal konflik komunal ditandai dengan bangkitnya pertentangan identitas bisa dengan melihat latar belakang sejarah suku, agama, ras dan antar golongan ataupun kesenjangan sosial ekonomi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Dari perbedaan tersebut akan muncul dua kelompok berbeda, satu pihak dirasa mengeksklusivekan diri ( lain dari yang lain ), dipihak lain merasa termarjinalisasi ( terpinggirkan). Isu agama dan etnik menjadi senjata yang digunakan sebagai alat, dan terbukti mujarab. Sejumlah data konflik komunal yan pernah terjadi di Indonesia ; ( sebagian besar data diambil dari Church and Human Right Persecution in Indonesia )


Setelah konflik berlangsung dalam waktu tertentu, maka akan bermunculan persoalan persoalan lanjutan / baru maupun seperti ; miskoordinasi, disinkronisasi antar aparat pemerintah / keamanan maupun instansi instansi yang ada ,

bahkan bisa menjadi disintegrasi – konflik vertikal. Lebih parah lagi terdapat indikasi pihak pihak tertentu yang memiliki keinginan untuk “ melanggengkan konflik “ karena menguntungkan bagi diri maupun kelompoknya. Pihak yang terakhir ini tidak lagi berdiri untuk kapasitas konflik komunal ( bukan karena SARA ) karena sasarannya bisa siapa saja , yang penting konflik bisa tetap berlanjut karena menguntungkan – materi. Pada saat konflik lanjutan yang berlangsung cukup lama inilah akan muncul terorisme. Kita bisa melihat data konflik sebelumnya, dari sekian banyak konflik komunal hanya di Poso dan Ambon yang marak terjadi aksi teror.

Seperti halnya pada semua konflik komunal yang terjadi, awal konflik biasanya penyerangan yang dilakukan secara sporadis menggunakan berbagai jenis senjata tajam, senjata rakitan, bom rakitan dan dalam perkembangannya bermunculan senjata organik. Pola ini terus berlanjut, aksi saling membalas dilakukan, masing masing pihak membangun kekuatan untuk mempertahankan diri maupun menonjolkan diri.

Korban korban kembali berjatuhan , kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum mengalami kerusakan dalam skala besar menyebabkan lumpuhnya kegiatan pemerintahan , terhambatnya kegiatan pelayanan masyarakat, serta terbengkalainya penyelenggaraan pendidikan, semuanya sangat tidak diharapkan. Pemerintah mengambil langkah langkah penyelesaian konflik komunal secara komprehensif ( mensinergikan bermacam pendekatan ) namun pelaksanaannya cenderung tambal sulam – konsep hebat , pelaksanaan ter/dihambat.


Dirasakan penyelesaian konflik komunal lebih mengedepankan penyelesaian politis daripada penegakan hukum dan keamanan. Perjanjian demi perjanjian dibuat ( Malino I, II ), ikrar dan ikrar dikumandangkan, pertemuan pertemuan digagas dari berbagai elemen untuk menghentikan aksi penyerangan “Bar Bar “ ( bangsa yang tidak memiliki prikemanusiaan ). Semua pendekatan tersebut bermanfaat, namun tetap ada kekurangan karena penggunaan kekerasan masih terus berlanjut yang diwujudkan dalam aksi lain yaitu terorisme. Penyerangan antar kampung secara terbuka dapat diredam , terorisme yang mengemuka diantaranya ;

• Maraknya peledakan bom rakitan maupun yang memiliki daya ledak tinggi, serta ancaman akan adanya bom juga dilancarkan untuk menimbulkan ketakutan. Teror bom adalah yang banyak paling digemari , karena tidak sukar untuk membuatnya, perencanaan dan persiapan yang tidak ruwet, jumlah personil sedikit ( 1-2 orang ) dalam melakukan aksi, mudah dioperasionalkan, dan resiko tertangkap lebih kecil, serta dampaknya tidak kalah mengerikan.

• Banyak pembunuhan misterius, korban berjatuhan dibunuh dengan menggunakan senjata tajam maupun senjata api.

• Terjadi penyerangan secara misterius, dilakukan pada waktu gelap dan pelaku menghilangkan identitas, aksi dilakukan dengan cepat jika perlu melakukan pembakaran kampung untuk menghilangkan jejak. ( penyerangan kampung Soya – 25 Januari 2003, peristiwa Poso Pesisir – 10 Oktober 2003, dan lain lain ).

• Adanya penculikan terhadap tokoh tokoh yang dipandang berpengaruh di komunitasnya untuk membangkitkan aksi dari warganya. ( penculikan Pdt Jokran di dsn Labuan,P. Buru- 2 Desember 2004 ).

Jika aksi teror dilakukan berkelanjutan dan bersekala “ massif “ ( besar besaran ) dapat menginternasionalkan permasalahan lokal, pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi permasalahan dalam negeri oleh dunia internasional ( mengundang Komisi HAM, Tim Monitoring, LSM ). Sekalipun demikian terorisme yang terjadi pada konflik komunal umumnya “ bersifat lokal “ dalam arti sasaran konflik biasanya di sekitar wilayah konflik, dampak yang ditimbulkan cenderung untuk mempengaruhi reaksi dari warga setempat – meskipun terdapat pelaku teror dari luar daerah, dan tujuan yang diinginkannya terkait dengan kepentingan kepentingan lokal ( kebijakan pemerintah, sikap para tokoh formal / informal, maupun reaksi dari ormas ormas yang ada ).


Namun hal ini bukan berarti penyebab terjadinya konflik komunal semua karena faktor lokal, karena yang dimaksud penulis adalah terorisme pada konflik komunal yang timbul saat konflik komunal yang berkepanjangan.

Pemicu dari konflik komunal yang berkepanjangan adalah tindak pidana inter-etnik yang tidak ditangani dengan tuntas – seolah olah ada pembiaran, dan adanya pihak pihak ( masyarakat, oknum pejabat negara ) yang memanipulasi insiden untuk memobilisasi, maka tindak pidana individual berubah menjadi tindak pidana kolektif atas nama kepentingan etnik secara umum.

Muhamad Ali ( pengarang buku Teologi Pluralis – Multikultural ) menambahkan bahwa Enterpreneur Politik – petualang petualang politik , memainkan peran manipulatifnya, memanfaatkan simbol simbol agama ( mesjid, gereja, jihad, dan evangelisme ) untuk menggerakkan massa memperbesar konflik etnik maupun agama.

Radikalisasi agama dan etnik terjadi pada saat saat kemerosotan ekonomi , disintegrasi sosial, atau ketidak pastian negara ( khususnya pelaksana pemerintahan ), dimana terdapat sekelompok orang yang tertindas, terpinggirkan, miskin maka mereka akan mencari tatanan politik alternatif maupun figur yang dapat memuaskan mereka.

Efek dominonya adalah jika berkepanjangan akan muncul lagi “separatisme” maupun “ terrorisme “. Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan penegakan hukum dan keamanan yang mengandung nilai “ netralitas “ yang didukung pendekatan lainnya ( komprehensif ).


KETERLIBATAN PIHAK ASING


Sebelum kita mencari pihak asing mana saja yang diduga terlibat dalam aksi teror terlebih dahulu kita menyamakan persepsi siapa yang dimaksud dengan pihak asing. Tidak diharapkan anggapan bahwa, setiap orang yang berambut pirang adalah pihak asing, sementara orang luar yang berambut hitam dianggap tidak. Setiap negara memiliki aturan untuk menentukan kewarganegaraan seseorang, dan azas yang dianut berbeda beda sehingga ada kalanya seorang bisa memiliki lebih dari satu kewarganegaraan. Azas “ ius sanguinis “ adalah menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan / hubungan darah dari orang tua, sedangkan azas “ ius soli “ kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan tempat lahir.


Selanjutnya ada juga warga asal Indonesia yang ditangkap/ditembak diluar negeri atas dugaan terlibat terorisme ( Hambali – dituduh sebagai pimpinan JI Asia Tenggara dan Al Ghozi – melarikan diri dari penjara Camp Crème setelah divonis 17 tahun karena memiliki bahan peledak terkait pemboman stasiun kereta api di Manila dan tertembak di kawasan Pigcawayan, Philipina ), apakah mereka dikatakan pihak asing ? Secara singkat yang disebut dengan pihak asing adalah orang, kelompok, negara yang “ secara hukum tidak diakui sebagai warga negara Indonesia “.

Keterlibatan pihak asing di Indonesia tidak dapat ditinjau hanya pada keterlibatan langsung dalam aksi teror, karena teror juga tidak terjadi “ serta merta “ ada suatu proses yang mengawalinya. Sejak kemenangan Amerika di masa Perang Dingin – USSR ( Sovyet ) jatuh 1989, AS menjadi negara “Dewa” karena dunia dipaksa untuk menjalankan / mengakomodir perintah/ pilihannya. Tidak ada yang bisa mendiktenya , siapa yang berani menentang maka akan merasakan akibatnya.

AS di dalam perannya sebagai kekuatan teknosains ( ilpengtek ), kapitalis ( pemilik modal ), militer ; menyimbolkan tata dunia , legitimasi hukum internasional , diplomasi dan kekuatan media. Tata dunia didasarkan pada kekokohan , keandalan , dan kredibilitas kekuasaan Amerika. Mengekspos kerapuhan kekuasaan adidaya berarti mengekspos kerapuhan dunia. Bahkan sebuah lembaga dunia tempat bernaung ratusan negara – PBB tidak kuasa menentangnya.

Cukup sering kita mendengar standar ganda – Moral double standar policy pada kebijakan luar negerinya, yaitu mengusung isu HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup kepenjuru dunia namun dalam penerapannya tidak sama untuk semua negara, bahkan publik dibohongi tentang situasi negaranya ( mengumandangkan anti nuklir, sedangkan AS melanjutkan program nuklir ). Kampanye anti terorisme pasca 9/11 dengan melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak, serta kebijakan terhadap konflik Israel-Palestina dianggap memihak Israel, semuanya secara tidak langsung “ berdampak “pada bangsa ini, dimana platform NKRI heterogen seperti sudah diulas pada matriks/acuan yang disampaikan sebelumnya.


Sejauh ini terdapat seorang warga asal Yaman yaitu Umar Al Faruq- operator Al Qaeda di Asia Tenggara, yang ditangkap di Bogor pada bulan Juni 2002 dan diserahkan ke pemerintah Amerika. Versi Central Intelligent Agency - CIA ( Badan Intelijen AS ) Umar Al Faruq mengakui memiliki hubungan dengan beberapa warga Indonesia yang terlibat aksi terorisme, termasuk Abu Bakar Ba’asyir.

Nasir Abbas, ( mantan petinggi Al – Jamaah Al – Islamiyah wilayah dakwah Mantiqi Tsalsi III ) adalah WN Malaysia yang ditangkap aparat polri di Bekasi pada 18 April 2003, ia tidak terlibat dalam peristiwa teror bom di Indonesia namun dijatuhi hukuman 10 bulan penjara karena menggunakan identitas palsu memasuki Indonesia. Selain itu tedapat beberapa WN Malaysia yang ditahan karena terlibat dalam aksi terorisme di Indonesia diantaranya Amran bin Mansur als Andi Saputra , Jabfar ( terlibat peledakan Bom Hotel JW Marriot ) dan Nor Misuari ( pelaku peledakan Bom Gereja St Anna ).

Kenyataannya terdapat juga orang asing yang melakukan kegiatan “ intelijen “ - jurnalistik, penelitian, di wilayah wilayah konflik yang jika dihukum hanya dikenakan sanksi penyalahgunaan visa. Diantaranya ; Lesly mc Culloh – WN Amerika ditangkap di Aceh, Seyam Reda- WN Jerman keturunan Mesir dipidana 10 bulan karena melakukan kegiatan jurnalistik di sejumlah wilayah pada tahun 2002.

Pada tahun 1999 Lord Avebury - salah seorang anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris menyampaikan perlunya mendorong rakyat Papua agar secepatnya mewujudkan pembentukan sebuah badan bersama yang representatif dari berbagai kelompok rakyat. Ia mendorong penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua dan memperjuangkan hak haknya ditingkat internasional, demikian disampaikan di sidang Parlemen Inggris, Juli 1999. Yang paling aktual yaitu menjelang ditanda tanganinya Memorandum of Understanding – MoU ( nota kesepahaman ) RI – GAM di Helsinki, pada akhir Juli 2005 dua orang anggota kongres AS ; Donald M Payne dan Eni FH Faleomavaega mengajukan RUU HR-2601 State Departement Authorization, berisikan dukungan kebebasan untuk Papua.

Hasil investigasi yang dilakukan aparat kepolisian terdapat sejumlah warga negara Indonesia yang ditangkap karena terlibat aksi teror, mengaku ada yang pernah mengikuti pendidikan di perkemahan perkemahan militer Afghanistan, Libiya, dan Philipina. Dalam buku Membongkar Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas juga mengungkapkan banyak WN Indonesia yang mengikuti pendidikan militer di Pabbi - Pakistan , Towrkham - Afghanistan , maupun Mindanao – Philipina. Di tempat itu mereka mengikuti beragam latihan kemiliteran, termasuk cara cara melakukan teror sehingga banyak kalangan yang menyebut tempat tersebut sekolah mendidik teroris.

Dampak terhadap negara kita dari kebijakan AS dan sekutunya adalah meningkatnya anti Amerika yang diwujudkan dengan aksi demonstrasi dan terorisme pada sekelompok orang. Mereka terpanggil untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap “ perbuatan suci “ karena sesama saudaranya di belahan lain didhalimi. Dalam bukunya Imam Samudera menyampaikan ”Sipil bangsa bangsa penjajah yang pada asalnya tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan yang melampaui batas, yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah “. Apa yang ia dan teman temannya lakukan di Bali , tak lain adalah bentuk reaksi perlawanan terhadap bangsa penindas ; Amerika dan sekutunya – Bangsa yang publik umum memahami sebagai biang teroris.

Perbedaan pemahaman yang diyakini oleh Imam Samudera dkk dimaklumi dalam demokrasi, tapi adalah tidak benar dan disayangkan jika nilai nilai kemanusiaan yang diyakini oleh semua orang langsung hilang dengan melakukan aksi terorisme , dilakukan di dalam negeri yang mengorbankan bangsa sendiri.

Akibat banyaknya orang asing yang hadir di wilayah wilayah konflik dan luput dari pengawasan aparat, maka tidak sedikit diantara mereka yang melakukan kegiatan “spionase” ( mata mata ). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya pengawasan tersebut antara lain :

• Peraturan keimigrasian dimana pendataan dan pemeriksaaan terhadap WNA yang masuk ke wilayah RI hanya dilakukan ditempat pertama kali mendarat. Sedapat mungkin dibuat pengecualian untuk wilayah konflik.

• Banyaknya lembaga lembaga internasional di wilayah konflik yang melakukan tugas tugas kemanusiaan namun beberapa pekerjanya melakukan kegiatan berbeda.

• Kemampuan dan jumlah aparat terbatas untuk melaksanakan pengawasan. Pelaporan kunjungan orang asing hanya dilakukan para pengelola hotel/penginapan ke aparat kepolisian setempat, sedangkan yang membaur di rumah rumah penduduk tidak.

• Kewenangan untuk melakukan pendataan dan pemeriksaan sepenuhnya di pihak imigrasi dan bea cukai, kecuali dalam hal–hal keadaan tertentu atau tertangkap tangan .

• Lemahnya koordinasi yang dilakukan oleh aparat terkait, sebatas mengumandangkan program, pelaksanaan jauh dari harapan. Badan koordinasi intelijen daerah ( Bakorinda ) maupun komunikasi intelijen daerah ( Kominda ) tidak lebih dari kegiatan protokoler yang dilakukan tiap bulannya.

• Ada kecenderungan pemeriksaan orang asing hanya dititik beratkan di Bandara, sedangkan untuk pelabuhan laut dan pintu pintu masuk lainya kurang mendapat perhatian dan pengawasan yang serius.

Betapa janggalnya jika terdapat orang asing yang mengaku sebagai “turis” di wilayah konflik, apakah melihat para korban yang berjatuhan dianggap sebagai “rekreasi” ? Orang bodoh juga mengerti itu tidak benar. Disamping itu , penjatuhan hukuman terhadap orang asing yang menyalahgunakan visa di wilayah konflik dirasakan ringan. Hal ini membuat mereka tidak takut melakukan pelanggaran di negara kita, “ semua bisa diatur “demikian gambarannya. Apakah karena aparat keamanan yang tidak mampu mengungkap kegiatan intelijen pihak asing tersebut, atau karena sedemikian hebat pengacaranya, ataupun keputusan hakim yang sarat dengan pertimbangan hukum.

Perlu diketahui, peraturan pertama dalam melaksanakan tugas intelijen adalah jangan pernah tertangkap, jika tertangkap dianggap mati. Sekedar mengingatkan seorang warga Indonesia pernah ditahan oleh FBI pasca tragedi 9/11, yaitu Agus Budiman karena diduga sebagai penghubung M. Atta ( salah seorang dari 19 pembajak pesawat ), lalu ia ditahan selama 8 bulan tanpa proses hukum kemudian akhirnya dilepas setelah tidak ditemukan bukti yang cukup – “mengagumkan ” bagi sebuah negara yang menyebut dirinya menjunjung tinggi HAM.

Sebaiknya negara kita tetap menjunjung tinggi hukum dalam menyelesaikan semua permasalahan. Penyataan para pejabat luar yang menginginkan self determination di beberapa wilayah yang sedang dilanda konflik telah memacu sekelompok orang untuk tetap melakukan perjuangan separatisme . Mereka meningkatkan perlawanan bersenjata maupun aksi teror lainnya dalam rangka menunjukkan eksistensi karena diyakini kemerdekaan sudah di depan mata.

Keterlibatan pihak asing dalam pengungkapan kasus terorisme di Indonesia juga memegang peran yang tidak sedikit. Mabes Polri bekerjasama dengan Interpol Disaster Victims Identification-DVI Standing Committtees ( Badan yang melakukan identifikasi korban ) baik dari negara Prancis dan Australia, serta pengungkapan jaringan pelaku teror maupun pencarian terhadap Daftar Pencarian Orang ( DPO ) dengan negara lainnya.

Pihak Asing juga melakukan intervensi pada peradilan Indonesia, dimana pemerintah AS meminta agar Ustad ABB disidang di negaranya. Dubes Amerika untuk Indonesia Ralph Boyce , Dubes Australia David Ritchie , Anggota Parlemen Eropa Hartmurt Nassauer berturut turut ” bertandang “ ke Markas PBNU di Jakarta dengan alasan bersilaturahmi sehubungan sebelumnya ketua PBNU Hasyim Muzadi menyatakan tidak ada Jamaah Islamiyah ( JI ) di Indonesia. Namun sesaat setelah silaturahmi tersebut, Hasyim Muzadi mengeluarkan statement ( pernyataan ) NU menentang segala bentuk aksi terorisme, dan semua pihak sepakat Islam tidak identik dengan terorisme.

Dari uraian di atas yang menunjukkan keterlibatan pihak asing secara langsung tidak terlalu mengemuka. Jika diurai aktivitas pihak asing tersebut diatas, terdapat mata rantai yang saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Salah satu prinsip yang harus dipegang dalam intelijen adalah “ tidak ada kejadian yang kebetulan, semua yang terjadi merupakan rancangan dari sebuah skenario, sekalipun ada suatu kejadian tampak seperti kebetulan, berarti bukan karena kebetulan “.

Terungkaplah sudah gambaran keterlibatan asing dalam perkembangan terorisme di Indonesia, ada yang baik , ada juga yang bertentangan, demikian juga dengan kehidupan, masyarakatlah yang menilai bagian mana yang pantas untuk diberi dukungan.

Konflik komunal mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat seperti terlihat dalam gambar.



AGAMA DAN KEKERASAN

Seorang ilmuwan penemu teori relativitas ( hukum fisika yang secara teori manusia dapat kembali ke masa lalu ) Albert Einstein mengungkapkan keprihatinannya, karena perkembangan ilmu pengetahuan berdampak pada perkembangan teknologi banyak digunakan untuk “ perang “ sehingga mengakibatkan banyak korban jiwa. Semua orang menginginkan perdamaian, namun jika penyelesaian konflik secara politik mengalami kebuntuan, maka perang adalah kelanjutannya.

Ditengah tengah keprihatinannya Einstein mengungkapkan “ Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh “. Sebuah kalimat yang penting dihayati, tidak cuma untuk didengar. Keyakinan Einstein bahwa hanya agama yang dapat mengendalikan keserakahan, hawa nafsu buruk yang tidak menjunjung nilai nilai kemanusiaan sangat kuat. Dari kalimat tersebut tersirat pemanfaatan ilmu pengetahuan yang tidak memiliki semangat “penyejukan dan perdamaian “ yang tercantum di agama, maka ilpengtek akan menjadi buta. Dimana nilai nilai filsafati luhur berubah menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia termasuk mahluk hidup yang ada di sekitarnya. Ditegaskan bahwa yang disampaikan Einstein adalah agama, bukan agama tertentu.

Topik ini sedemikian menariknya karena jarang / tabu pembahasan yang mengaitkan agama dengan kekerasan, mungkin karena begitu suci dan kudusnya sebuah agama. Melihat maraknya aksi terorisme yang dilakukan orang orang yang mengklaim dirinya agamais, penulis mengajak khalayak untuk mencari jawaban apakah betul saat ini “ agama kehilangan sisi kemanusiaan“ ?

Ada baiknya terlebih dahulu perlu diketahui tipe agama yang dibagi dua oleh Imanuel Kant ( ahli filsafat asal Jerman – seorang moralist ) . Yang pertama adalah “ agama pemujaan saja“ yang mengajarkan orang berdoa dan tidak meminta orang beriman untuk mencari jalan keluar dari dosa dengan mengupayakan hidup bermoral. Tipe agama yang kedua adalah “ agama moral “ yang menentukan bahwa individu memperbaiki diri sendiri dengan bertindak atas moralnya sendiri . Sedangkan dari sisi teologi diungkapkan bahwa agama ada dua macam, yaitu ; agama Wahyu yang datang dari Allah dan agama yang muncul karena manusia mencari Allah.

Pada matriks ( acuan ) sebelumnya sejarah terorisme menunjukkan motif agama - Sekte Sicarii dan Assasins, telah lebih dulu tampil sebagai motivasi bagi tindakan teror dibandingkan motif motif politik, anarkisme, etnonasionalis dan marxisme. Selanjutnya motif agama secara bergantian muncul dalam gelombang terorisme sampai dengan saat ini.

Pada jaman penjajahan kita melihat agama dimanipulasi untuk tujuan tujuan politik dan ekonomi kolonial. Agama ( Kristen ) diletakkan di bawah subordinasi negara, subordinasi idologi dan politik. Akibatnya agama menjadi mandul, tidak memiliki fungsi kritis dan kontrol terhadap realitas yang ada, campur tangan politik/ pemerintah dalam agama, dapat menimbulkan kekerasan pada diri manusia.


Di Sulawesi Selatan pernah ada Perang Asselengseng ( pengislaman oleh kerajaan), dimana ketika Raja Gowa, Sultan Alauddin menerima Islam – 1605 ia mencoba menyebarkan Islam di kalangan raja raja lainnya seperti ; Bone, Soppeng dan Wajo. Tetapi ketika mereka tidak mau mengikuti ajaran tersebut, maka Sultan Gowa memusuhinya meskipun tidak terjadi perang besar besaran. Hal itu terjadi ketika agama dijadikan “ nation politik “ ( politik negara ).

Di masa sekarang manusia beragama sudah kehilangan kekuatan moral – morality force, karakter keimanan yang dibangun bukan untuk menyayangi mahluk hidup lainnya tapi justru membunuh dengan segala macam cara. Kesucian hanya dilihat di tempat tampat peribadatan, di luar manusia seolah olah diizinkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keimanan.

Pada konflik komunal agama dijadikan alat untuk memotivasi masyarakat menyerang sesamanya. Ketika “ Allahu Akbar” dikumandangkan manusia kehilangan akal sehatnya ( common sense ), tiada rasa takut menyakiti sesamanya, demikian saat alunan lagu “ Laskar Kristen Majulah “ berkumandang, nilai nilai kemanusiaan yang tumbuh didirinya seketika hilang, bentrokan tidak terhindari dan korban berguguran. Satu pihak menganggap “ Mati Syahid “ dan pihak lain menyatakan “ Mati Martir “.

Sedemikian hebatnya manusia mempengaruhi manusia lain “ memotivasi agama “ untuk merubah prilaku orang beragama menjadi buas terhadap sesamanya, “ bukan agama yang mempengaruhi manusia sehingga kehilangan jati diri sebagai manusia yang beragama ”. Pertanyaannya kenapa manusia dapat dirubah prilakunya melalui motivasi agama ?

Ada baiknya terlebih dahulu dikaji kenapa manusia beragama ? Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara ciptaan lainnya tetap merasa memiliki kelemahan / kekurangan di dalam diri dan kehidupannya, membuat dirinya mencari sesuatu yang dapat menjadi solusi dari kehidupannya. Berikutnya manusia meyakini bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya yang dapat memberikan ketenangan tempat mereka menyandarkan diri dari semua pergulatan dalam kehidupannya.

Charles kimbal ( pakar sejarah dan perbandingan agama samawi – penulis buku Kala Agama Jadi Bencana ) memberi beberapa tanda , yang menjadi penyebab utama agama “bisa menjadi jahat “ ; Pertama , “ adanya klaim klaim kebenaran “. Klaim yang bersifat mutlak ini menjadi pondasi iman , didalam struktur keagamaan sendiri. Bersamaan dengan itu , klaim ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi . Perdebatan penafsiran , apalagi perbedaan pemahaman keimanan, mengakibatkan agama tidak toleran. Maka muncul istilah istilah bid’ah ,kafir , heterodoks ( menyimpang dari kepercayaan resmi ) dan sebagainya. Kimbal menegaskan “ ketika penafsiran penafsiran tertentu terrhadap klaim klaim kebenaran itu dipahami secara rigid ( kaku ) dan literal ( harfiah-kontekstual ), dan sebagai satunya satunya kebenaran yang menuntut keseragaman , maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama.
Kedua , “ ketaatan buta kepada pemimpin dan keagamaan sendiri “ . Agama tidak pernah menentang intelek dan kebenaran manusia, karenanya berhati hatilah terhadap gerakan agama yang bertentangan dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelektual , meniadakan integritas individual para pemeluknya dengan cara menuntut ketaatan buta terhadap pemimpin karismatik mereka.
Ketiga , Agama mulai gandrung merindukan zaman ideal , lalu bertekad merealisasikan pada zaman sekarang.
Keempat , Jika agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan berbagai cara, dinilai sebagai kekorupan agama yang terkait dengan penyalahgunaan komponen komponen agama yang hakiki, seperti ruang dan waktu yang sakral, komunitas dan institusi keagamaan.
Kelima , Menjadikan komponen religiusnya hanya sebagai sarana untuk menjadi tujuan , penerbitan tulisan / simbol oleh agama tertentu yang dipandang tidak sesuai dengan apa yang mereka imani, karena itu agama lain dianggap mencemarkan agama mereka.

Selanjutnya ada argumen seperti ini ; “ Setiap orang dan setiap negara berhak membela diri terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang tidak sah dan adil. Dalam negara hukum dan demokratis tuntutan yang wajar terhadap pihak lain disalurkan melalui pengadilan dan lembaga-lembaga konstitusional. Kalau jalur-jalur ini tidak bekerja efektif, orang menjadi putus-asa dan cenderung main hakim sendiri dan/ atau memikirkan gerakan melawan dengan menggunakan kekerasan “. Argumen tersebut adalah “ hukum logika “ yang digunakan oleh manusia sebagai pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan, dan jauh berbeda dengan ajaran agama.

Derrida mengklaim bahwa “ tidak selalu ada, tidak pula seharusnya ada, “sesuatu” suatu hal yang satu dan dapat diidentifikasi, yang identik dengan dirinya sendiri, yang entah religius atau tak religius oleh semua orang disepakati untuk disebut agama “. Penafsiran Derrida ini menimbulkan perdebatan karena menganggap agama merupakan ciptaan Romawi kuno yang diapropiasi ( diajarkan / dikembangkan ) oleh Kristianitas.

Jurgen Habernas ( ahli filsafat Jerman ) menyatakan kekerasan merupakan komunikasi yang terdistorsi ( terhambat/terganggu ) dan ada di tiap masyarakat. Terlepas dari perdebatan tersebut dalam agama terkandung nilai nilai “ dogmatis “ ( ajaran mutlak, harus dilaksanakan ) – “ religare “ ( mengikat, menyimbolkan utang antara manusia dengan Allah) dan jika dimanipulasi untuk kepentingan politik, dibuat ideologisasi melahirkan sebuah pemahaman yang sempit, fanatisme berlebihan, hilangnya sendi sendi normatif ( kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan ) terhadap prilaku seseorang.

Agama hendaknya tidak saling mengkooptasi ( memuat pilihan ) dengan idiologi dimana idiologi juga berjalan paralel dengan mobilisasi politik. Sejarah sudah membuktikan bahwa agama menjadi kehilangan kekritisan, dan dapat merubah pemahaman manusia terhadap agama. Ketika Karen Amstrong berupaya mencari Tuhan ia juga mengungkapkan bahwa dalam aktivitas manusia lainnya “ agama dapat disalahgunakan “, dan ini yang cenderung dilakukan dewasa ini – terdapat dalam buku Sejarah Tuhan.

Gejala modern, percaturan idiologi dan agama didasarkan pada klaim masing masing. Pada sisi agama menekankan makna manusia dan kehidupan seutuhnya yaitu “ keimanan ”- penyerahan ikhlas dan bebas kepada Yang Maha Rahim dan hati yang terbuka kepada sesama manusia. Kebenaran agama tidak berupa suatu sistem ajaran saja yang rapi atau kekuatan golongan, melainkan kebenaran yang terpancar dalam perbuatan-perbuatan kasih sayang. Sementara Idiologi hanya berbicara “ status Quo “ - bagaimana mempertahankan susunan politik dan kekuasaan yang ada. Kritik idologi atas agama biasanya agama dituduhkan terlalu abstrak, tidak operasional, dan agama dianggap sebagai lembaga yang mengambang di masyarakat karena tidak memiliki jawaban langsung terhadap masalah masalah masyarakat ( realitas sosial ).

Ini merupakan salah satu masalah khusus hubungan antara ideologi dan agama. Ada orang atau kelompok orang yang menjadikan agama yang mereka anut itu suatu ideologi. Maksudnya, agama dipergunakan untuk membentuk kekuatan duniawi suatu umat, partai atau bahkan suatu negara agama ( Iran sejak Khomeini ). Agama digunakan untuk membela kepentingan sendiri, atau untuk membina kekuasaan atas sesama manusia. Kalau agama menjadi suatu ideologi, maka kebebasan orang beriman tidak penting lagi. Yang penting adalah sikap dan pengakuan lahiriah yang seragam. Orang biasa dijadikan tergantung pada pimpinan dan jangan mulai berpikir sendiri.

Tekanan sosial, uang, koneksi, mass media dan indoktrinasi di gunakan seperti juga argumen apapun yang mendukung ideologi keagamaan itu supaya diterima tanpa menyelidikan kebenarannya. Alasan paling sering mengapa agama suatu kelompok masyarakat merosot menjadi ideologi adalah kelemahan hidup rohani dan ketakutan terhadap sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman yang tidak sanggup ditangkis dengan keyakinan rohani. Ideologi jangan menurut sifat-sifat yang dimiliki oleh agama, misalnya sifat mutlak, dipercayai, kuatnya unsur perasaan dan lain sebagainya – Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila .

Kemudian muncul pertanyaan baru kenapa terjadi idiologisasi agama ? Mungkin cara pembinaan umat untuk kehidupan beragama yang dilakukan selama ini perlu ditinjau kembali. Pemeluknya terjebak pada persoalan kuantitas, bukan kualitas keimanannya. Manusia hanya menghayati agama sekedar ritual / kepercayaan belaka, tetapi dirinya kehilangan fungsi dalam kehidupan pribadi dan masyarakat ( terasing terhadap realitas kehidupan masyarakat ). Manusia menguasai ilmu pengetahuan agama tetapi cenderung tidak melaksanakan. Umat dididik untuk menggunakan simbol simbol keagamaan tanpa mengajarkan makna dari simbol simbol itu. Ironisnya aspek aspek moral dan spiritual diabaikan kemudian simbol simbol “ dibungkus “ dalam sebuah jargon ( kekuasaan mutlak ) yaitu agama.

Fenomena ini yang tampak pada masa sekarang, sehingga terjadi manusia membuat agama menjadi sebuah idiologi maupun dimanipulasi untuk mendukung kepentingan kelompoknya. Orang-orang yang beriman menghormati sepenuhnya keyakinan sesama manusia yang mungkin berlainan agama atau kepercayaan. Jadi, agama seharusnya bersih dari “ ideologisasi “ yang merupakan perwujudan kepentingan golongan dan tidak jarang menjurus ke fanatisme.

Penulis menyederhanakan causa ( penyebab ) dari semua uraian di atas yaitu “ Pemahaman Agama yang Sempit ”. Agama tidak ada yang mengajarkan kekerasan, Islam megajarkan “ Kepekaan dan Kasih Sayang, Kristen mengajarkan “ Kedamaian dan Cinta Kasih “, Hindu mengajarkan “ Ahimsa dan Maitri – tidak menyakiti sesama – kasih sayang sesama manusia “ dan Budha mengajarkan “ Metta-cinta kasih, Karuna-belas kasihan, Mudita-turut bergembira atas kegembiraan orang lain, Upekkha-keseimbangan batin dan pikiran ”.

Agama tidak kehilangan sisi kemanusiaan, karena umat beragama yang tidak jujur kepada Tuhan maupun terhadap realitas sosialnya, sehingga membuat seolah olah agama yang kehilangan sisi kemanusiaan. Semua agama adalah benar menurut keyakinan masing masing ( tidak ada agama yang salah , tidak ada klaim hanya agamanya yang benar ) dan tidak ada agama yang memuat ajaran melakukan kekerasan maupun menghilangkan penghargaan terhadap hak hak manusia lainnya.


PEMAHAMAN AGAMA YANG
“ TIDAK “ SEMPIT


Untuk mencegah agar kekerasan menggunakan motivasi agama tidak menggelora, perlu penekanan pada manusia , agar memahami agama tidak sepenggal sepenggal sehingga terhindar dari “ interpretasi yang keliru “. Kewajiban setiap umat beragama untuk memberitakan agama kepada pihak lain cenderung disalahartikan, adakalanya menjurus ke arah pemaksaan karena menganggap dosa jika tidak sanggup mengislamkan maupun mengkristenkan orang lain. Ini merupakan kesalahan besar, dan harus diluruskan. Pada semua agama yang menjadi hal penting adalah Syi’ar agama ataupun pekabaran injil, serta dalam melakukan hal tersebut tidak pernah tertulis dengan “ ujung pedang “ melainkan dengan kedamaian, cinta kasih dan kasih sayang.

Akhir akhir ini banyak pihak pihak yang menginginkan diterapkannya syariat Islam sebagai satu satunya jalan untuk mengatasi kebuntuan politik dan krisis ekonomi yang melanda negara kita. Di lain pihak banyak juga kalangan yang meragukan syariat Islam bisa diterapkan sebagai hukum positif mengingat kondisi masyarakat yang heterogen maupun faktor historis lahirnya bangsa Indonesia. Selanjutnya penulis mencoba menggambarkan pemahaman tentang 3 hal yang selama ini memiliki interpretasi yang “ kurang tepat “ di kalangan umat non muslim, dan diartikan sebagai sesuatu yang “ mutlak dicapai “ dengan cara apapun bagi kelompok radikal, yaitu ; syariat Islam , Jihad , dan Khilafah.

Syariat Islam , kata syariat berasal dari akar kata syar’ah menunjuk pada skema, jalan dan alur. Artinya Allah menurunkan hanya satu akidah ( ikatan ) tapi jalan untuk mencapai kesana bisa berbeda menurut para rasul – Nya. Dalam Al – Quran disebutkan Syariat ; Musa adalah Keadilan , Syariat Yesus adalah Kedamaian dan Cinta Kasih, Syariat Nabi Muhammad adalah Kepekaan dan Kasih Sayang. Beberapa pemikir Islam seperti Dr. Ali Jumat ( Mesir ), Dr. Yusuf Kardawi ( Qatar ), dan M. Abid Al Jabiry ( Maroko ) mendefinisikan syariat sebagai pranata nilai yang komprehensif yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia serta mahluk lain ( muamalah ). Ia mempunyai perhatian terhadap “ Kemaslahatan Umat “ ( al – maslahat al – ‘ammah ) – (kemaslahatan : kebaikan , kemakmuran), bukan hanya “ kemaslahatan Tuhan “, melainkan juga bagi manusia seantero alam, apapun agama, ras, dan sukunya.

Jihad , akhir akhir ini jihad sering dipahami dan dimanipulasi oleh kelompok Islam garis keras yang menyatakan asli jihad dalam Al Qur’an mempunyai perang melawan orang orang kafir dan menghancurkan fasilitas dan kepentingan negara negara barat dengan berbagai cara , meski dengan jalan bunuh diri. Padahal perang sebenarnya sebagian kecil dari arti jihad, jihad sendiri memiliki arti yang sangat luas , jihad dalam bahasa Arab berarti “ sungguh sungguh “, ” berjuang “ atau “ berusaha keras “. Sedangkan Perang Suci bila diterjemahkan dalam bahasa Arab adalah “harbun muqaddasatu“ atau al – harbu al – muqaddasatu. Jihad bukan berkonotasi perang , karena perang dalam bahasa Arab adalah “ Harb “ atau “ Qital ”.

Pemahaman jihad menurut istilah “ syara ” ( hukum ) adalah berusaha sungguh sungguh mencapai tujuan yang diridhai Allah. Orang yang berperang di jalan Allah untuk mencapai kemenangan bisa berarti jihad, orang yang belajar bersungguh sungguh untuk memperoleh ilmu pengetahuan (pendidikan ,hukum, ekonomi , dan lain lain ) juga diartikan jihad . Jihad diartikan perang hanya dalam kondisi tertentu, seperti kondisi negara diserang musuh , menghadapi ancaman separatisme / pemberontakan – “ bughat “.

Bom bunuh diri bukan jihad karena bunuh diri merupakan dosa besar ( dilarang oleh agama ). Berperang di jalan Allah tidak identik dengan membunuh orang kafir , karena kategori kafir menurut syara ada dua yaitu ; kafir dzimmi ( yang memiliki perjanjian untuk dilindungi dan diamankan dari hak haknya sebagai manusia ) dan kafir harbi ( orang / kelompok yang membuat kerusakan ). Hak hak umat yang harus diamankan / dilindungi diantaranya ;

• Memeluk dan tidak dipaksa meninggalkan agamanya masing masing. “ tidak ada paksaan dalam beragama “ ( al – baqarah : 256 ).

• Menjalankan agamanya masing masing. Nabi bersabda biarkan orang orang Yahudi dan Nasrani beribadah di tempat-tempat ibadahnya masing masing. ( al – hadist ). Semua tempat tempat ibadah harus dilindungi.

• Mendapat perlindungan harta dan kehormatannya.

Khilafah , dalam Islam mengandung makna yang sangat luas, dalam beberapa ayat pada Al Qur’an mengandung arti menggantikan , mewariskan memimpin dan memakmurkan bumi . Dari beberapa makna khilafah dalam Al Qur’an tidak ada satupun ayat yang menyatakan arti sebuah “sistim pemerintahan“. Oleh karena itu dalam Islam tidak menegenal bentuk bentuk pemerintahan tertentu, sebab bentuk pemerintahan adalah urusan duniawi yang Rasulullah bersabda ; “ Kamu lebih mengetahui urusan duniamu “. Bentuk negara apapun seperti presidensil, kerajaan dan parlementer diakui dalam Islam asalkan pembentukannya dilakukan melalui jalur Syura’ ( musyawarah ). Sebaliknya rakyat memiliki kewajiban untuk mematuhi perintah Ulil Amri ( pemerintah ) selama tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat dan memaksa rakyatnya untuk meninggalkan agama Islam.

Dari pemahaman di atas, sesungguhya tidak ada yang perlu dikuatirkan oleh siapapun, karena tidak ada maksud untuk melakukan pemaksaan kehendak terhadap umat manapun juga. Sekali lagi , sekalipun ada kelompok yang mengartikan berbeda, itu terjadi karena memahami dengan sepenggal sepenggal, tidak integral komprehensif (kesatuan bulat dan utuh), menunjukkan “ kesempitan “.

Berikutnya penulis mencoba memberikan gambaran tentang ideologi “ Fasis “ yang dikembangkan oleh Benitto Mussolini di Itali pada tahun 1920 – an . Idiologi Fasis diadopsi oleh Adolf Hitler ( prajurit jerman pendiri partai NAZI ) yang menjalankan kekuasaan secara diktator, yaitu ;

• Idiologi fasis mendasari pahamnya pada kebencian dan fanatisme berlebihan untuk mendukung sebuah sistim yang otoriter dan kekuasaan yang absolute. Untuk meraih kekuasaannya mereka biasa menggunakan cara cara kekerasan, baik kekerasan secara pisik juga secara psikis melalui teror dan intimidasi.

• Idiologi Fasis selalu berorientasi pada kekuasaan yang mutlak dan absolut dan mengontrol ketat kehidupan orang orang yang dibawahnya.

• Idiologi Fasis mengidentifikasikan musuh adalah mereka yang menginginkan perbedaan, toleransi, dialog, dan konsep demokrasi karena idiologi fasis menginginkan penyeragaman.

• Idiologi fasis menanamkan semangat kebencian kepada musuh, semangat kebencian digunakan untuk membangun semangat militansi pengikutnya.

• Kaum fasis menganut paham bahwa mereka adalah satu satunya kelompok yang paling benar dan dunia akan lebih baik bila kekuasaan mutlak berada di tangan mereka. Segala bentuk kritik akan dianggap sebagai pembangkangan yang harus ditumpas.

• Kaum fasis memasung pikiran para pengikutnya agar menganggap semua tindakannya benar, oleh karena itu mereka memperbolehkan melakukan segala cara untuk kepentingan kelompoknya sekalipun itu bertentangan dengan nilai nilai moralitas dan keagamaan.

Sesungguhnya seperti apakah penjabaran agama yang sedang kita anut saat ini ? Jika gambaran pemahaman dan penjabaran nilai nilai spiritual ( keagamaan ) yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan idiologi fasis diatas, maka saatnya kita intropeksi diri dengan merenungkan gambaran tentang Hitler, Mussolini, termasuk diri sendiri. Selamat mencoba .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar