Sabtu, 02 April 2011

Menangkal Terorisme di Indonesia dengan Soft Approach

This struggle is an ideological and religious struggle and the clash of civilizations.” (Osama bin Laden, 1998). “This is not American fight. And what is at stake is not just Americas freedom. This is the world fight. This is civilizations fight”. (George Walker Bush, 2001)
Bak gayung bersambut semenjak tragedi ultimate sudden attack pada tanggal 11 September 2001, perang melawan terorisme terus-menerus dikumandangkan oleh Amerika dengan memulai penyerbuannya ke Afghanistan pada Oktober 2001, disusul invasinya ke Irak pada Maret 2003, kemudian dilanjutkan dengan pengejaran Osama Bin Laden.
Bahkan, sampai sekarangpun Amerika “klenger” menghadapi para pelaku pengeboman WTC tersebut. Dalam perang asimetris ini, yang terlibat bukan hanya Amerika dan teroris, tapi juga rakyat sipil yang setiap saat bisa menjadi korbannya. Peperangan melawan terorisme ini juga telah menjelma menjadi isu global yang berdampak pada ranah kebijakan politik di seluruh penjuru dunia.
Apa yang Terjadi di Indonesia?
Berakhirnya pemerintahan Soeharto diikuti dengan kembalinya para alumni Afghanistan dan Mindanao Selatan ke tanah air. Untuk menghindari penangkapan pada masa pemerintahan Soeharto, kebanyakan dari mereka tinggal di Malaysia maupun Filipina Selatan. Dalam konflik di Poso pada Desember 1998 dan di Ambon pada pertengahan Januari 1999, para alumni tersebut kembali membangun jaringan di Indonesia bahkan juga membuka camp pelatihan militer di Poso maupun Maluku.
Sejak peristiwa ultimate sudden attack di atas, jaringan teroris di Indonesia yang tadinya aktif memprovokasi konflik antaragama akhirnya putar haluan. Kegiatan menyebarkan kebencian terhadap Amerika dan sekutunya menjadi semacam prime goal. Sejak itu, hingga saat ini serangan teroris tidak terkait langsung dengan isu dalam negeri, melainkan lebih merupakan bagian dari perang jihad universal Osama bin Laden melawan Amerika dan sekutunya.
Tragedi Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tercatat sebagai salah satu insiden teror yang menelan korban sipil terbesar di Indonesia, menewaskan 184 orang serta menyebabkan 300 orang lebih luka-luka. Tertembaknya Dr.Azahari Husin dalam operasi pemberantasan terorisme oleh Densus 88 di Jawa Timur, menandai babak baru perkembangan aksi teror di negeri ini. Masyarakat mendapatkan bukti yang konkret bahwa "Teroris" itu betul-betul ada. Azahari maupun Noordin M. Top merupakan model utuh manusia dalam definisi teroris yang dikeluarkan Amerika Serikat. Azahari tokoh yang memiliki kecerdasan, ekstremis, pelaku pengeboman, dan terkait jaringan terorisme global.
Dan sekarang apa yang terjadi di Aceh sebagai ladang Moronya indonesia, telah terbentuk opini bahwa perburuan teroris di Indonesia berkembang dari gerakan individu menjadi gerakan kelompok dalam jumlah besar. Pertanyaan yang timbul sekarang, kenapa terjadi di Indonesia?
Yes. Indonesia, the world’s most populous Muslim country, is a vast archipelago with porous maritime borders, a weak central government, separatist movements, corrupt officials, a floundering economy, and a loosely regulated financial system— all characteristics which make it fertile ground for terrorist groups. While Indonesia is known as a secular, tolerant society that practices a moderate form of Islam, radical Islamists have gained momentum. U.S. officials and terrorism experts worry about al-Qaeda using Indonesia as a base for a Southeast Asian front in its campaign against “infidels” Jews, and the United States. Indonesia resisted international pressure to crack down on local militants suspected of al-Qaeda ties until a devastating October 2002 attack on a Bali nightclub— and the simultaneous bombing of a U.S. consular office on the island— which killed more than 200 people, most of them foreign tourists. To its credit, since October 2002 the Indonesian government has cooperated with U.S. and Australian officials in their attempts to disrupt terrorist networks in Southeast Asia.
(Source: http://www.cfr.org/publication/9361/ )
Begitulah salah satu jawaban dari orang asing, lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia sendiri?
Ketika saat ini dikumandangkan ke seluruh dunia bahwa terorisme merupakan tindakan jahat yang bertentangan dengan norma agama manapun, termasuk Islam di Indonesia, sebagian masyarakat mengumandangkan takbir saat menyambut kedatangan jenazah beberapa teroris yang ditembak mati oleh tim Densus 88, seperti halnya menyambut pahlawan yang gugur di medan perang. Bahkan ketika melihat salah satu teroris terbunuh di rumahnya terpasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Pahlawan Islam”, dan sebagian pelayat juga menyebut-nyebut bahwa si jenazah telah mati syahid.
Jihad dan Teroris
Fenomena tersebut di atas membuktikan masih terdapat masalah yang cukup krusial dalam upaya pemberantasan terorisme, antara lain menyangkut soal definisi dan persepsi mengenai jihad dan terorisme. Masyarakat dunia menganggap bahwa teroris melakukan tindak kejahatan, namun sebagian kalangan secara tegas meyakini teroris sebagai mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah). Kenyataan inilah yang terjadi di negeri kita sekarang. Kedua pendapat ini tak akan pernah bertemu karena keduanya jelas saling berseberangan arti, yang satu menganggap teroris, namun satunya lagi mengganggap jihad. Sedangkan jihad sendiri mengandung pengertian berperang di jalan Allah yang sama artinya dengan perang melawan keadilan.
Makna jihad yang relatif disepakati adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk melawan penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan – kapanpun dan dimanapun — demi membela / melindungi orang-orang yang tertindas – siapa pun mereka (Chaiwat Satha Anand, "Islam tanpa Kekerasan", 1998:12).
Sedang pengertian terorisme dari berbagai sumber lebih dari 100 macam arti dan di antaranya adalah terorisme merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak-banyaknya.
Dalam sebuah buku "Fatwa on Suicide Bombings and Terrorism" yang dikeluarkan oleh Minhaj ul Quran United Kingdom 2010, seorang ulama Pakistan Shaykh ul Islam Dr. Muhammad Tahir Ul Qadri yang menetap di Inggris mengatakan bahwa, barangsiapa yang melakukan bom bunuh diri dan penyerangan terhadap warga sipil maka ia telah keluar dari Islam atau menjadi kufur: “Suicide bombings and attack againts civilian targets are not only condemned by Islam but render prepetators totally out of the fold of islam, in other words, to be unbelievers”.
Menangkal Teroris di Indonesia
Tidak semua kekerasan dapat dipadamkan melalui tindak kekerasan seperti halnya penangkalan terhadap teroris dimana gerakan jihad bom para teroris tersebut seakan "mati satu, tumbuh seribu, patah tumbuh, hilang berganti".
Ketika tulisan ini saya buat pada malam hari sambil menonton acara televisi tentang perburuan teroris di Aceh, saya sempat beradu argumen dengan pimpinan perburuan di sana, seorang kolega saya, yang kita sebut saja bernama Jo. Inilah kutipannya:
Saya: Jo, apa yang bisa mencegah berkembangnya teroris di Indonesia?
Jo: Program deradikalisasi itu yang perlu diteruskan oleh Pemerintah. Baca bukunya Kombes Pol Dr.Drs Petrus Golose, MM tentang deradikalisasi dan bukunya Kombes Pol Tito Karnavian MM tentang Poso di situ tergambar jelas dan gamblang tentang terorisme di Indonesia dan upaya-upaya penanggulangannya.
Terus saya lanjutkan dengan bertanya,
Saya: Jadi kita harus memiliki semacam kebijakan politik yang bersifat Counter Terrorism itu?
Jo: Counter terrorism itu hanya di gunakan untuk unit-unit taktikal, tidak tepat kalau digunakan untuk kebijakan politik.
Saya: Lalu apa dong istilahnya untuk kebijakan politik?
Jo: Menangkal terorisme dengan soft approach.
Diskusi di atas saya lanjutkan dengan pemikiran bahwa penanganan legal formal yang selama ini dilakukan oleh Polri terhadap tindak pidana teroris telah mengangkat citra Polri tidak hanya di tingkat nasional tetapi tetapi juga internasional. Majalah Newsweek pun menyatakan bahwa Amerika Serikat harus belajar dari Indonesia karena sampai saat ini dalam memburu pelaku WTC saja Amerika dibikin kewalahan. Banyak orang beranggapan bahwa teroris identik dengan Islam, dan ini pernyataan yang salah karena hanya kebetulan pelaku-pelakunya di Indonesia adalah kebanyakan orang Islam. Agama manapun tidak ada yang mengajarkan tentang kekerasan, membunuh dengan seenaknya.
Penanganan teroris di Indonesia lebih Soft dibanding dengan Amerika tersebut juga dikatakan oleh Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones yang mengatakan bahwa: "Indonesia lebih baik dalam me-manage terorisme dan dampak-dampaknya ketimbang negara lain, termasuk Amerika sekalipun."(kapanlagi.com)
Perbedaannya dengan Amerika adalah bahwa Indonesia mampu mengadili para pelaku terorisme lebih terbuka dibandingkan dengan Amerika yang menerapkan pengadilan tertutup. Seperti halnya sekarang di Guantanamo sampai saat ini masih ada korban penangkapan akibat terorisme yang sudah enam tahun di sana tanpa diadili.
Menangkal teroris dengan pendekatan Soft Approach ternyata akan membawah dampak yang lebih baik dari pada dengan kekerasan. Tindakan soft approach ini dimulai dengan memeriksa para pejuang dari Afghanistan maupun dari negara lain yang akan memasuki wilayah Indonesia. Kerjasama aparat Kepolisian dengan aparat terkait perlu ditingkatkan sehingga tidak ada kesan bahwa mudah sekali para teroris memasuki wilayah Indonesia baik melalui darat, laut dan udara.
Pemerintah harus mampu merangkul Pondok Pesantren maupun ormas Islam dalam mengontrol masuknya ideologi yang keliru dalam memaknai jihad dan menghalalkan cara untuk membunuh orang lain dengan alasan tertentu. Diperlukan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah melalui Departemen Agama, bahwa para teroris bukanlah produk agama karena semua agama mengajarkan kebaikan.
Penangkalan dini yang lebih penting adalah kepedulian setiap warga negara akan dampak yang ditimbulkan oleh terorisme tersebut. Kerjasama ini diperlukan antara lain dengan tokoh masyarakat, Kepolisian dan Majelis Ulama. Dengan mengingat korban yang masih hidup dan juga terhadap keluarga korban terutama yang telah dieksekusi khususnya anak-anak dan keluarganya, berbagai cara harus dilakukan untuk menyadarkan bahwa tindakan teroris itu tidak dibenarkan oleh agama manapun, sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan, warga sipil maupun bangsa lain.
Penilaian negatif dan kecurigaan terhadap kinerja Kepolisian maupun instansi terkait perlu segera dicarikan solusi dan tidak perlu dibesar-besarkan. Apabila dibiarkan, hubungan aparat dengan sebagian umat Islam akan semakin meruncing. Untuk menciptakan dan mewujudkan perdamain tidak hanya tugas aparat namun seluruh instrumen komponen bangsa termasuk umat Islam
Kesimpulan
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melaksanakan Soft Approach dengan pendekatan komprehensif dalam mencegah dan menuntaskan terorisme itu. Soft Approach merupakan suatu pendekatan yang mungkin akan bisa menjawab pertanyaan mengapa terorisme itu muncul di Indonesia dan bagaimana cara untuk menghadapinya.
Soft Approach tidak akan bisa dijalankan oleh aparat Kepolisian saja yang berada pada Combat Area yang berhadapan langsung dengan teroris namun perlunya kerja sama dengan instansi lain, seperti: tokoh masyarakat, ormas Islam, pondok pesantren, Lembaga Pemasyarakatan, Majelis Ulama, Kementrian Sosial, Bank dan lembaga keuangan yang lainnya serta TNI.
Diperlukan suatu proses untuk memahami pengalaman yang membentuk pola pikir mereka. Back Mind mereka yang berkaitan dengan perlawanan kekerasan diperoleh dari pengalaman di wilayah konflik. Oleh karena itu dengan adanya pengalaman baru yang didapat bukan dari medan perang, tetapi dari Social Life tempat manusia dapat berinteraksi secara terbuka dan inklusif, mereka bisa mendapatkan pemahaman yang benar tentang jihad dan terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar